Connect with us

Kabar

Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini dan Masa Depan

Published

on

Diskusi budaya "Melihat Kembali Jejak Chairil, Rendra, Hardi, dan Kita" di Teater Kecil TIM, Rabu (10/1/2023) malam/foto: istimewa

JAYAKARTA NEWS— Selalu ada pola-pola dari masa ke masa untuk menyeimbangkan kekuasaan. Dari kalangan seniman misalnya ada tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Japi Tambayong (Remy Sylado), Radhar Pancadahana dan lain-lain. Oleh pakar sastra Jawa Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (29 Januari 1906 – 8 Juli 1995), tokoh-tokoh seperti itu disebut Kalangwan, yang dijadikan judul bukunya.

“Moralitas dari orang-orang Kalangwan itu sangat otonom. Tidak berdasarkan kebenaran agama atau kekuasaan.

Ciri-ciri Kalangwan selalu otonom.  Konsep diri mereka, ego.  Dalam puisi-puisi Chairil Anwar atau buku Pramudya Anantatoer, pemberian kata aku memiliki dua arti: aku tentang diri  sendiri atau yang bernakna kolekvitas,” para Budayawan Taufik Rahzen dalam Diskusi Budaya bertajuk “Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini & Masa Depan: Melihat Kembali Jejak Chairil, Rendra, Hardi, dan Kita” di Teater Kecil TIM, Rabu (10/1/2023) malam.

Selain Taufik Rahzen, diskusi yang dipandu oleh penyair Amien Kamil ini juga menampilkan pembicara wartawan senior Bre Redana dan perupa Arahmaiani. Duskusi juga dihadiri oleh seniman Butet Kartaradjasa, penyair Jose Rizal Manua, budayawan Isti Nugroho, politikus Miing Deddy Gumelar. Diskusi diadakan oleh kelompok semiman dan budayawan untuk merespon perkembangan sosial politik masa kini.

Selain penjelasan di atas, Taufik Rahzen menambahkan,  bagi para kalangwan,

keindahan adalah bagian dari tempat mereka berada. Meskipun berbeda-beda, bai Kalangwan kebenaran selalu satu.

“Dari dulu masyarakat Nusantara selalu bertegangan antara dua ini. Antara kekuasaan dan agamawan. Para budaywan dan seniman selalu mengambil jalan keindahan. Tidak terlalu peduli dengan kekuasaan,” kata Taufik.

Mengenai sikap dan karya-karya yang dilahirkan oleh WS Rendra maupun Hardi, menurut wartawan senior Bre Redana, tidak terlepas dari pengaruh perguruan silat tempat mereka berlatih, yakni Perguruan Bangau Putih.

Di mata Bre Redana, Hardi adalah seorang pelukis yang kritis sekaligus kompromostis. “Dia bisa memaki-maki pemerintah, tetapi bisa menjual lukisannya kepada orang yang dimaki-maki,” kata Bre.

Sedangkan WS Rendra banyak memasukan pengaruh perguruan Bangau Putih yang menerapkan filsafat Taoisme. “Drama Mas Willlly Kisah Perjuangan Suku Naga,  tokoh-tokohnya adalah personifukasi suhu Subur Rahardja, yang menikah dgn wartawan Amerika Louise Ansberry.”

Perupa Arahmaiani mengatakan, WS Rendra adalah orang yang sangat mempengaruhi sikap dan pola pikirnya. Setelah ia dipenjara dan dikeluarkan dari ITB tahun 1983, ia bertemu WS Rendra.

“Waktu mau tidur saya dikasih dua buku oleh Mas Willy. Salah satunya Kitab Pararaton. Saya tertarik tentang budaya dan tradisi. Apalagi jaman Diktator Soeharto saya melihat tradisi budaya Jawa dipelintir oleh penguasa,” kata wanita perupa ini.

“Tahun 94 saya pameran di tempat Ray Sahetapy. Ada sekelompok orang datang mengatakan darah saya halal. Karena karya saya Lingga Yoni. Akhirnya saya harus melarikan diri, karena kelompok semacam ini tidak bisa diberi penjelasan,” tambahnya.

Memurut Arahmaini, yang bisa mempersatukan kelompok-kelompok saat ini, hanya isyu tentang lingkungan. Isyu lain masih sulit.***(agus s)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *