Connect with us

Buku & Sastra

Pembacaan Cerpen Dikemas  dalam Pertunjukan Teater

Published

on

Pembacaan cerpen dikemas dalam pertunjukan teater

Oleh Rakhmat Supriyono

Acara “Sastra Bulan Purnama” yang digelar di Museum Sandi Kotabaru Yogyakarta, Sabtu (27 April 2024), tampak beda dari biasanya. Pasalnya, kali ini menyuguhkan pembacaan 11 cerpen oleh penulisnya dengan cara yang tidak lazim.

Sebelas cerpen diambil dari buku kumpulan cerpen “Namaku Luka” yang memuat 25 karya cerpenis perempuan, oleh Ana Ratri dirajut menjadi satu fragmen cerita yang saling terkait. Diawali Ninuk Retno Raras membacakan cuplikan cerpennya berjudul “Kain Batik Ibu.” Apa istimewanya selembar kain batik yang sedang kudekap di dada? Selembar kain batik tua bermotif Sidomukti yang membuat tubuhku gemetar. Antara hangat sekaligus dingin menyatu perasaan tak menentu….

Buku Kumpulan Cerpen dari 25 penulis perempuan.

Sesaat kemudian Ana Ratri muncul dari kerumunan penonton dengan vokal cukup kuat karena selain penulis dan sutradara, ia adalah penggiat teater lulusan ASDRAFI. Ana Ratri dengan nada jenaka membacakan potongan cerpennya berjudul  “Sandal Lili”. Tarjo dan Parti adalah sepasang suami istri yang baru dua bulan menikah dijodohkan orang tua mereka.

Dua bulan purnama berlalu dengan syahdu meski tanpa bulan madu. Pagi itu ada yang spesial. Parti membelikan sandal Lili buat suami tercintanya. Tarjo mengambil cutter untuk membuat ukiran di atas sandal itu. Ditulisnya kata “Suami” pada sandal sebelah kiri dan “Parti” pada sandal sebelah kanan.

Ketika Tarjo dapat panggilan kerja di Jepang, ia berpesan pada Parti, Sandal ini aku tinggal saja, aku ngga mau dia hilang. Tolong simpankan untuk saya sandal ini, hanya Suami Parti yang boleh memakainya, pesan Tarjo sebelum berangkat ke negeri Sakura.

Lima tahun berlalu terasa begitu cepat. Sebuah mobil minibus hitam memasuki kampung urung berhenti di depan rumah Parti. Mobil sarat muatan itu diminta oleh penyewanya menuju masjid.

Beberapa warga yang sempat menatap wajah penyewa mobil dengan tatapan aneh. Seperti takut atau perasaan apa yang tidak dipahami. Penyewa mobil keluar dari masjid dan hendak memakai sepatunya. Seketika keringat dingin mengucur di tubuhnya. Jantung terasa meledak.

Ana Ratri, penganyam cerita dan sutradara

Bola matanya nanar seperti hendak meloncat keluar. Berulang-ulang dia tajamkan matanya seolah tak percaya atas apa yang dilihatnya. Kepalanya digelayuti tanda tanya yang besar sekali. Apa yang sudah terjadi? Siapa gerangan memakai sandal Lili “Suami Parti?”

Tepuk tangan penonton untuk Ana Ratri masih riuh ketika Menik Sithik memulai ceritanya, “Bukan Sebuah Derita”. Penulis kelahiran Sragen yang kini menetap di Yogyakarta ini mengisahkan balada klasik, mahasiswi bernama Marissa yang mengalami kehamilan akibat hubungan dengan kekasih pilihannya.

Marissa menumpahkan segenap kepedihannya pada Frans, teman kuliah sekaligus tempat berbagi cerita tentang apa saja. Pada saat Marissa menganggap semua derita itu hanya masa lalu, justru dia dihadapkan pada permintaan sang sahabat yang mengoyak kembali batinnya.

“Terimakasih, Frans, dan maafkan aku yang tak bisa memenuhi harapanmu” Kugandeng tangan bocah laki-laki itu, melangkah meninggalkan taman kota yang sudah mulai diterangi lampu-lampu jalan.

Meninggalkan lelaki yang masih duduk sendiri dengan segala yang dipikirkannya. Sekilas di seberang jalan, aku melihat sekelebat sosok laki-laki lain melintas meninggalkan tempat di mana dia berdiri sebelumnya. Malam menelan bayangannya.

Nunung Rieta dan Menik Sithik

Cerpenis berikutnya adalah Nunung Rieta membaca potongan cerita “Yenna”. Masih tema percintaan sepasang anak muda. Hari itu Yenna menangis tersedu di dalam dekapan Frans setelah memberitahukan adanya kehidupan di dalam perutnya, benih cintanya bersama Frans. Tragedi terbangun ketika Frans dipertemukan dengan ibunya, yang tak lain adalah ibunya Yenna.

Selaku penganyam cerita, Ana Ratri coba mendramatisir alur cerita. Tokoh Frans pacar Yenna dengan Frans teman Marissa dibuat seolah orang yang sama. Ketegangan sempat terjadi sebelum diklarifikasi oleh Nunung Rieta bahwa tokoh Frans yang ia tulis bukanlah orang yang sama dengan Frans rekaan Menik Sithik.

Lagi-lagi Ana Ratri menunjukkan kepiawaiannya dalam merajut cerita. Cerpen “Pohon Mangga Ajaib” karya Sonia Prabowo dijadikan induk dari semua cerita. Sonia mempersonifikasikan pohon mangga yang buahnya kelewat lebat sehingga saling senggol, sibuk berceloteh dan bergosip. Sosok-sosok mangga itu setiap hari bergunjing, penuh sarkas dan satire.

Ana Ratri kemudian menggesekkan cerita sebelumnya dengan cerpen Maria Widhy Pratiwi bertajuk “Kamar 305”. Cerpen yang sedikit absurd dan surealistik. Maria Widhy kerap menggiring pembaca ke atmosfer horor dan misteri.

Suatu hari ketika Nana dan Berto sedang berdua di tepi pantai, Berto bercerita bahwa ia merasa sudah mengenal Nana lama. Kemudian ia bercerita bahwa dulu sekali entah kapan, ia merasa pernah ditolong oleh Nana di suatu tempat.

Ketika tubuh Berto melayang ia sempat melihat tulisan di daun pintu angka 305. Saat itu Nana terkejut. Ia shock dan ketakutan dengan cerita pengalaman Berto di waktu lampau . Lalu Nana berlari meninggalkan Berto. Ia tidak mau kembali kepadanya lagi.

Tak kalah misteriusnya cerpen “Perempuan di Bangku Panjang” karya Yuliani Kumudaswari. Semalam, satu pasien di bangsal ini kembali meninggal. Pak Eman lelaki paruh baya di ranjang terujung. Rasa duka kehilangan merebak bersama rumor Ranjang Bergoyang.

Ya, setiap ada pasien yang meninggal, ranjangnya diguncang oleh kekuatan tak terlihat  malam sebelumnya. Dan anehnya, setiap terdengar derit per ranjang yang berguncang, tak ada satu pun – baik pasien maupun penunggu – yang berani mengintip. 

Keanehan lain, perempuan itu, perempuan yang selalu duduk menunduk di bangku panjang di lorong bangsal, muncul di hari  yang sama ketika seorang pasien dinyatakan meninggal.

Ninuk, Sonia, Novi, Chacha

Pembaca berikutnya adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Novi Indrastuti. Judul cerpennya “Solusi Dalam Mimpi”. Pertemanan Vania dan Manda sangat akrab selama beberapa tahun. Namun Manda punya karakter suka menzalimi orang lain. Sifatnya yang ambisius, merasa dirinya tinggi, dan suka menyepelekan orang lain. Di awal pertemuan, Manda menunjukkan sikap manis, penuh perhatian, dan suka menolong Vania.

Manda mulai berulah dengan memplagiasi karya Vania pada sebuah media yang cukup prestisius. Di samping itu, saat Vania mempunyai ide untuk mengadakan kegiatan “Pelatihan Penulisan Kreatif”, Di saat Vania pergi melakukan riset ke Korea Selatan, Manda segera mengimplementasikan kegiatan “Pelatihan Penulisan Kreatif” itu dengan mencantumkan nama Manda sebagai penggagas acara.

Vania bingung solusi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya dengan Manda. Di satu sisi, Vania tidak ingin melukai perasaan Manda, tetapi di sisi lain Vania telah banyak dirugikan oleh kelakuan sahabatnya itu.

Penyelesaian apapun akan berakibat renggangnya hubungan persahabatan. Begitu rumit sebuah hubungan persahabatan yang tanpa didasari ketulusan dan kejujuran. Betapa sulitnya mencari kawan sejati yang benar-benar tulus.

Vania merasa sangat lelah secara psikis hingga akhirnya tertidur dalam kegalauan. Barangkali mimpi bisa memberikan inspirasi dan solusi.

Savitri Damayanti, penulis berlatar pendidikan Sastra UGM Yogyakarta coba menceritakan “Pangon”. Pangon adalah sebutan bagi penggembala sapi di desanya. Kanti gadis manis putri Pak Bayan tidak pernah mengira kalau Kang Ranto, pangon kesayangan bapak adalah kakak laki-lakinya dari ibu yang berbeda.

Bapak sebagai Jagabaya adalah sosok yang sangat terhormat di hatinya. Kanti baru sadar kalau ternyata mamak adalah perempuan kuat yang mampu mengulum dalam diam semua luka hatinya akibat ulah bapak selama ini. 

Kanti makin tidak habis pikir lagi, ketika bapak dan mamak bersekongkol menjodohkan dirinya dengan Kang Ranto hanya demi supaya harta bapak tetap utuh.

Apakah Kanti tidak bisa menentukan nasibnya sendiri, atau harus pasrah pada takdir karangan bapak dan mamak? Jalan hidup bukanlah jalan cerita yang ditentukan oleh manusia, orangtua adalah perantara bukan pembuat skenario kehidupan anak-anaknya…..

Penulis dan pemain teater senior Ami Simatupang mengakhiri semua cerita dengan penuturan tentang “Mbah Atmo”. Seorang lelaki tua lugu berprofesi sebagai pembuat kasur tradisional yang terbuat dari kain kasur diisi kapuk randu. Keluguannya sering menjadi sasaran keusilan para pemuda tetangganya.

Suatu saat tanpa sengaja ia menemukan sepotong emas dalam kantung kapuk yang membuatnya ditahan semalam di Polres. Polisi tidak berhasil menemukan bukti kejahatan sehingga Mbah Atmo dibebaskan esok harinya.

Seluruh warga, terutama keluarga, sempat cemas dan sedih yang mendalam saat Mbah Atmo diciduk polisi. Keluarga dibantu warga merayakan kepulangan Mbah Atmo dengan menggelar pesta syukuran.

“Ibu-ibu… Mbah Atmo syukuran… ayo kita ke sana sekarang…!” Ajakan Ami Simatupang diikuti oleh semuanya. Para penulis hebat berjalan meninggalkan panggung.

Bincang Kata

Sebelum pembacaan cerpen, terlebih dahulu penyair dan wartawan senior Mustofa W. Hasyim memberikan pengantar bertajuk “Bincang Kata”. Dikatakan oleh Mustofa, telah terjadi kontinyuitas kreatif para penulis perempuan dari generasi yang dimunculkan oleh majalah keluarga (Kartini, Femina, Sarinah, Nova, dll).

Berlanjut, pada generasi yang dibesarkan oleh komunitas (Forum Lingkar Pena, Komunitas Cerpen Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia) kemudian juga ditumbuhkan oleh berbagai lomba penulisan cerpen dan novelette, novel atau roman dan diteruskan oleh generasi terbaru yang menumbuhkan dirinya sendiri lewat mambaca karya sastra online dan offline. Adanya kontinuitas gerak penulisan kreatif ini patut disyukuri dan disambut gembira.

Lebih jauh Mustofa menyampaikan adanya kedewasaan bersikap para penulis perempuan ketika berjumpa atau menghadapi masalah hidupnya. Jiwa mereka makin matang ketika dipanggang oleh panasnya masalah yang menghampiri mereka.

Semoga ini mencerminkan kecenderungan sosial masyarakat kita yang makin dewasa dan matang bersikap meski di medsos dihajar oleh buzzer, provokator dan para pengeruk duit di tengah kegaduhan konflik wacana dengan menampilkan konten yang mendidihkan emosi. Mustofa berharap semoga kontinuitas gerak kreatif dalam sastra terus terjaga dengan sentausa.

Semua Hebat

Sutirman Eka Ardhana, wartawan senior yang telah puluhan tahun menggeluti sastra dan literasi menyambut gembira dengan peluncuran buku kumpulan cerpen cerpenis perempuan ini.

Menurut Eka, launching buku kumcer “Namaku Luka” pada acara Sastra Bulan Purnama yang menghimpun karya 25 cerpenis perempuan di Museum Sandi Yogyakarta ini tampak jauh berbeda dan lebih berkesan dibanding launching-launching sebelumnya. Karena dalam launching buku ini, penggalan-penggalan cerpen di dalamnya tak sebatas dibaca oleh penulis-penulisnya, tapi juga telah dijadikan tampilan tontonan semi teater yang menarik. 

Unsur seni pertunjukannya begitu kental, bahkan pengunjung tak hanya sekadar jadi penonton saja, tapi juga telah dilibatkan menjadi bagian dalam pertunjukan itu. Walau pun mungkin penontonnya sendiri tak merasa dilibatkan, dan tak merasa kalau telah dijadikan pemeran pembantu. Cerpen-cerpen di dalam buku kumcer “Namaku Luka” itu hebat-hebat, yang ditulis oleh penulis-penulis hebat juga. Dan yang pasti pembacaan penggalan cerpen-cerpen itu telah dikemas dalam pertunjukan yang tak kalah hebatnya. Pokoknya, semua hebat.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *