Kolom
Al-Mas’udi: Sang Pionir Geografi dan Sejarah Abad Pertengahan

JAYAKARTA NEWS – Di antara berbagai ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah memberikan kontribusi berharga bagi peradaban dunia, nama Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas’udi mungkin tidak sepopuler Ibn Sina, al-Khawarizmi, atau Ibn Khaldun.
Namun, sosok yang hidup pada abad ke-10 Masehi ini merupakan salah satu intelektual paling terkemuka dalam sejarah peradaban Islam klasik. Karya-karyanya yang komprehensif dan metode penelitiannya yang inovatif telah membuatnya dijuluki sebagai “Herodotus Arab”, merujuk pada kesamaannya dengan sejarawan terkenal Yunani kuno.
Al-Mas’udi lahir di Baghdad sekitar tahun 896 Masehi dan wafat di Fustat (Kairo Lama), Mesir pada tahun 956 Masehi. Selama hidupnya yang relatif singkat, ia telah melakukan perjalanan yang luas, meneliti berbagai budaya dan masyarakat, serta menghasilkan karya-karya monumental yang mencakup berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, geografi, agama, politik, dan budaya. Pendekatan multidisiplinernya dalam penelitian dan penulisan menjadikan al-Mas’udi sebagai pelopor dalam historiografi Islam dan geografi sosial.
Latar Belakang dan Masa Muda
Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas’udi dilahirkan di Baghdad, yang saat itu merupakan pusat intelektual dan politik Kekhalifahan Abbasiyah. Ia berasal dari keluarga Arab yang mengklaim keturunan dari Abdullah ibn Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber nama keluarganya “al-Mas’udi”.
Baghdad pada akhir abad ke-9 dan awal abad ke-10 M berada di bawah pemerintahan Khalifah al-Mu’tadid (892-902 M) dan al-Muktafi (902-908 M), yang merupakan masa di mana kota tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad telah menjadi institusi ilmiah terkemuka, tempat berbagai karya Yunani, Persia, India, dan Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Suasana intelektual inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi minat al-Mas’udi terhadap ilmu pengetahuan sejak usia muda.
Tidak banyak catatan tentang pendidikan formal al-Mas’udi. Namun, dari karya-karyanya yang menunjukkan pengetahuan yang luas tentang berbagai disiplin ilmu, dapat disimpulkan bahwa ia menerima pendidikan yang baik dan komprehensif. Ia mempelajari hukum Islam (fiqh) menurut mazhab Syafi’i, teologi Islam (kalam) dari perspektif Mu’tazilah, sejarah, geografi, astronomi, dan sastra.
Sebagai seorang Syiah moderat, al-Mas’udi juga tertarik pada pemikiran teologi Mu’tazilah yang rasional. Meskipun pada masanya aliran Mu’tazilah tidak lagi menjadi doktrin resmi negara seperti pada masa Khalifah al-Ma’mun, pemikiran rasional aliran ini tetap mempengaruhi pendekatan al-Mas’udi dalam karyanya yang cenderung analitis dan kritis.
Perjalanan dan Eksplorasi
Salah satu aspek paling menakjubkan dari kehidupan al-Mas’udi adalah perjalanan ekstensifnya yang mencakup hampir seluruh dunia Islam dan beberapa wilayah di luarnya. Perjalanan ini dimulai pada usia dua puluhan dan berlanjut sepanjang hidupnya. Motivasi al-Mas’udi untuk melakukan perjalanan bukan hanya didorong oleh keingintahuan intelektual, tetapi juga oleh keinginannya untuk memverifikasi informasi secara langsung dan mengumpulkan pengetahuan baru.
Al-Mas’udi memulai perjalanannya sekitar tahun 915 M. Ia mengunjungi Persia (Iran modern) dan menjelajahi wilayah Khurasan dan Fars. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke wilayah Kerman dan Sistan, lalu ke Sind (sekarang bagian dari Pakistan). Selama perjalanan ini, ia mempelajari geografi fisik wilayah tersebut serta mengamati adat istiadat penduduk setempat.
Dari Subkontinen India, al-Mas’udi kemudian berlayar ke Ceylon (Sri Lanka modern) dan mungkin juga mengunjungi beberapa bagian China dan Asia Tenggara, meskipun klaim ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan modern. Yang pasti adalah bahwa ia memiliki pengetahuan yang cukup rinci tentang perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia, Laut China Selatan, dan perairan di sekitarnya.
Sekitar tahun 916 M, al-Mas’udi kembali ke Timur Tengah melalui rute laut, mengunjungi Oman dan pantai timur Afrika. Ia menjelajahi wilayah yang sekarang dikenal sebagai Somalia, Kenya, dan Tanzania, mencatat perdagangan antara Afrika Timur dan dunia Islam serta pengamatan tentang masyarakat lokal.
Setelah itu, perjalanan al-Mas’udi membawanya ke Yaman, Hijaz (termasuk Mekah dan Madinah), Suriah, dan Palestina. Ia juga melakukan perjalanan ke wilayah Byzantine di Asia Kecil (Turki modern) dan mungkin juga ke Armenia dan Azerbaijan. Di wilayah Kaukasus, ia bertemu dengan berbagai kelompok etnis dan mempelajari tradisi serta bahasa mereka.
Pada saat-saat yang berbeda, al-Mas’udi juga mengunjungi Mesir, Libya, dan beberapa bagian Afrika Utara hingga ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Maroko. Selama perjalanan di Mediterania, ia mempelajari sejarah dan budaya Byzantium serta memperoleh informasi tentang wilayah Eropa, meskipun tidak ada bukti bahwa ia pernah mengunjungi daratan Eropa secara langsung.
Yang membedakan al-Mas’udi dari banyak pelancong dan geografer Muslim lainnya adalah bahwa perjalanannya tidak hanya bermotif religius (seperti haji) atau komersial, tetapi terutama didorong oleh pencarian ilmu pengetahuan. Ia mengumpulkan informasi dengan berbicara langsung dengan penduduk lokal, para penguasa, dan cendekiawan di tempat-tempat yang ia kunjungi. Ia juga mencatat pengamatannya tentang geografi fisik, iklim, flora dan fauna, sistem politik, praktik keagamaan, dan adat istiadat sosial.
Karya-Karya Monumental
Al-Mas’udi dikenal telah menulis lebih dari 20 karya dalam berbagai bidang ilmu, meskipun sebagian besar karyanya kini hilang. Hanya dua karya utama yang bertahan hingga saat ini dalam bentuk lengkap: “Muruj adh-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar” (Padang Rumput Emas dan Tambang Permata) dan “Kitab at-Tanbih wa al-Ishraf” (Buku Peringatan dan Revisi).
1. Muruj adh-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar
“Muruj adh-Dhahab” adalah karya terpenting al-Mas’udi yang ditulis sekitar tahun 947 M. Karya ini terdiri dari 30 jilid yang berisi informasi berharga tentang sejarah dunia dari penciptaan hingga masa al-Mas’udi sendiri. Yang membuat karya ini istimewa adalah cakupannya yang luas, tidak hanya membahas sejarah Islam tetapi juga sejarah Persia, Romawi, Yunani, India, Yahudi, dan berbagai bangsa lainnya.
Dalam “Muruj adh-Dhahab”, al-Mas’udi memadukan pengetahuan sejarah dengan informasi geografis, etnografis, dan ilmiah. Ia mencatat sejarah dinasti-dinasti politik, tetapi juga membahas kepercayaan keagamaan, struktur sosial, praktik budaya, dan bahkan topik-topik ilmiah seperti astronomi, meteorologi, dan geologi. Pendekatan komprehensif ini menjadikan karyanya lebih dari sekadar buku sejarah, tetapi juga ensiklopedia pengetahuan tentang dunia yang diketahui pada masanya.
Salah satu aspek revolusioner dari “Muruj adh-Dhahab” adalah penggunaan metode kritis dalam menyajikan sejarah. Al-Mas’udi tidak hanya mengandalkan sumber-sumber tertulis tetapi juga menggunakan pengamatan langsung dan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Ia juga berusaha membandingkan berbagai versi kejadian dan kadang-kadang menawarkan pendapatnya sendiri tentang kebenaran relatif dari laporan-laporan yang bertentangan.
2. Kitab at-Tanbih wa al-Ishraf
Karya kedua al-Mas’udi yang masih ada adalah “Kitab at-Tanbih wa al-Ishraf”, yang ditulis pada tahun 956 M, tidak lama sebelum kematiannya. Karya ini merupakan semacam ringkasan dan revisi dari karya-karyanya sebelumnya, dengan fokus pada koreksi beberapa informasi yang ia anggap tidak akurat dalam tulisan-tulisannya terdahulu.
“At-Tanbih” mencakup topik-topik seperti kosmologi, geografi dunia, kronologi sejarah umat manusia, dan daftar dinasti-dinasti penguasa. Meskipun lebih singkat dan kurang detail dibandingkan “Muruj adh-Dhahab”, karya ini tetap menjadi sumber penting untuk memahami pendekatan historiografi al-Mas’udi dan pandangan dunianya secara keseluruhan.
3. Karya-Karya yang Hilang
Selain dua karya utama di atas, al-Mas’udi diketahui telah menulis beberapa karya monumental lain yang sayangnya tidak bertahan hingga saat ini. Karya-karya tersebut termasuk:
– “Akhbar az-Zaman” (Berita tentang Waktu): Diperkirakan terdiri dari 30 jilid, karya ini mungkin merupakan sejarah universal terperinci dari awal dunia hingga masa al-Mas’udi.
– “Kitab al-Awsat” (Buku Tengah): Karya ini tampaknya merupakan versi ringkas atau menengah dari “Akhbar az-Zaman”.
– “Kitab al-Qadaya wal-Tajarub” (Buku Masalah dan Pengalaman): Karya ini kemungkinan berisi refleksi al-Mas’udi tentang pengalaman dan pengamatannya selama perjalanan.
– “Sirr al-Hayat” (Rahasia Kehidupan): Beberapa referensi menyebutkan bahwa karya ini berkaitan dengan ilmu alam dan biologi.
Para sejarawan modern hanya mengetahui tentang karya-karya yang hilang ini dari referensi al-Mas’udi sendiri dalam “Muruj adh-Dhahab” dan “at-Tanbih”, serta dari kutipan oleh penulis-penulis Muslim lain yang hidup setelahnya.
Kontribusi Ilmiah dan Intelektual
Kontribusi al-Mas’udi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sangat beragam dan mencakup berbagai disiplin ilmu. Berikut adalah beberapa bidang penting di mana pemikiran dan karyanya memberikan pengaruh signifikan:
1. Historiografi
Al-Mas’udi membawa pembaruan penting dalam penulisan sejarah Islam. Berbeda dengan sejarawan sebelumnya yang cenderung fokus pada sejarah Islam dan mengorganisasi narasi mereka secara kronologis atau berdasarkan isnad (rantai periwayatan), al-Mas’udi mengembangkan pendekatan tematik dan komparatif. Ia mengintegrasikan sejarah politik dengan sejarah budaya, sosial, dan intelektual, menciptakan narasi yang lebih komprehensif dan kontekstual.
Metode historiografi al-Mas’udi juga mencakup evaluasi kritis terhadap sumber-sumber informasi. Ia tidak hanya menerima laporan-laporan sejarah begitu saja tetapi berusaha memverifikasinya melalui perbandingan dengan sumber-sumber lain dan pengamatan langsung ketika memungkinkan. Pendekatan ini menjadikannya salah satu pelopor metode kritis dalam historiografi Islam.
2. Geografi
Kontribusi al-Mas’udi dalam bidang geografi tidak kalah pentingnya. Ia tidak hanya mendeskripsikan fitur-fitur fisik wilayah yang dikunjunginya tetapi juga menganalisis hubungan antara lingkungan geografis dan kehidupan manusia, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Pendekatan ini menjadikannya salah satu pelopor apa yang kemudian dikenal sebagai “geografi manusia” atau “geografi sosial”.
Al-Mas’udi juga memberikan kontribusi penting dalam kartografi. Meskipun peta-peta yang mungkin telah dibuatnya tidak bertahan hingga masa kini, deskripsi geografisnya sangat rinci dan akurat untuk zamannya, memungkinkan peta-peta dibuat berdasarkan informasi yang ia berikan.
3. Etnografi dan Antropologi
Aspek yang paling menonjol dari karya al-Mas’udi adalah perhatiannya yang besar terhadap keragaman budaya dan masyarakat manusia. Ia mencatat dengan detail adat istiadat, kepercayaan, praktik sosial, dan sistem politik berbagai kelompok etnis yang ia temui selama perjalanannya. Dalam melakukan hal ini, ia sering berusaha memahami praktik-praktik tersebut dalam konteks budaya mereka sendiri, menunjukkan tingkat objektivitas dan toleransi yang luar biasa untuk zamannya.
Pengamatan etnografis al-Mas’udi mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan dan praktik keluarga, ritual keagamaan, pakaian, makanan, musik, dan bahasa. Misalnya, ia mencatat dengan rinci praktik-praktik keagamaan masyarakat Hindu di India, kepercayaan animisme di Afrika Timur, dan tradisi orang-orang Turki dan Slavia. Pendekatan komprehensif ini menjadikannya salah satu pelopor awal dalam studi antropologi budaya.
4. Ilmu Alam
Meskipun dikenal terutama sebagai sejarawan dan geografer, al-Mas’udi juga memiliki minat yang besar terhadap ilmu alam. Dalam karyanya, ia membahas fenomena astronomis seperti gerhana dan pergerakan benda-benda langit, fenomena meteorologis seperti angin dan hujan, serta fenomena geologis seperti gunung berapi dan gempa bumi. Ia bahkan membahas topik-topik dalam bidang zoologi, botani, dan mineralogi.
Yang menarik adalah pendekatan al-Mas’udi terhadap ilmu alam yang cenderung empiris dan rasional. Ia sering mengkritik penjelasan-penjelasan mistis dan supranatural, lebih memilih untuk mencari penyebab alami dari fenomena-fenomena tersebut. Dalam beberapa kasus, ia bahkan melakukan semacam “eksperimen” sederhana untuk memverifikasi teorinya, seperti ketika ia mencoba memahami pembentukan garam dengan menguapkan air laut.
5. Teologi dan Filsafat
Sebagai seorang Muslim yang dipengaruhi oleh pemikiran Mu’tazilah, al-Mas’udi juga memiliki kontribusi dalam bidang teologi dan filsafat. Ia membahas berbagai aliran pemikiran dalam Islam, seperti Sunni, Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah, serta berbagai argumen teologis yang mereka kembangkan. Ia juga memperlihatkan pengetahuan yang baik tentang filsafat Yunani, terutama pemikiran Aristoteles, dan upaya-upaya para filsuf Muslim untuk menyelaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam.
Meskipun ia sendiri cenderung simpatik terhadap pemikiran rasional Mu’tazilah, al-Mas’udi berusaha menyajikan berbagai perspektif teologis dan filosofis secara adil dan objektif, menunjukkan kecenderungannya pada pluralisme intelektual dan toleransi terhadap perbedaan pendapat.
Al-Mas’udi dalam Konteks Sejarah
Al-Mas’udi hidup pada masa yang sering disebut sebagai “Zaman Keemasan Islam”, tetapi juga pada masa ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai mengalami fragmentasi politik dan penurunan kekuasaan. Baghdad, tempat kelahirannya, masih merupakan pusat intelektual utama dunia Islam, tetapi kekuasaan politik efektif Khalifah Abbasiyah semakin terbatas. Berbagai dinasti regional mulai muncul dan mengklaim otonomi, seperti Samaniyah di Persia timur, Buwayhiyah di Persia barat dan Irak, dan Fatimiyah di Afrika Utara.
Situasi politik yang fragmentaris ini memungkinkan al-Mas’udi untuk mengunjungi berbagai pusat kekuasaan dan mengamati sistem politik yang berbeda-beda. Ia menyaksikan langsung bagaimana Kekhalifahan Abbasiyah yang dahulu perkasa kini harus berbagi kekuasaan dengan dinasti-dinasti lain, beberapa di antaranya bahkan mengklaim legitimasi keagamaan yang bersaing (seperti Fatimiyah yang merupakan dinasti Syiah Isma’iliyah).
Di sisi lain, fragmentasi politik ini tidak menghentikan pertukaran budaya dan intelektual di seluruh dunia Islam. Al-Mas’udi bisa bepergian dengan relatif aman melalui wilayah-wilayah yang dikuasai oleh berbagai dinasti, dan di mana-mana ia menemukan komunitas cendekiawan dan intelektual yang aktif. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada perpecahan politik, masih ada semacam kesatuan budaya dan intelektual di dunia Islam pada masa itu.
Konteks historis ini penting untuk memahami perspektif global dan komparatif al-Mas’udi. Pengalamannya mengunjungi berbagai pusat kekuasaan dan budaya memungkinkannya untuk membangun pandangan yang lebih nuansa tentang politik, masyarakat, dan sejarah, dibandingkan dengan cendekiawan yang hanya tinggal di satu lokasi. Ini juga menjelaskan mengapa ia bisa bersikap relatif toleran terhadap perbedaan keagamaan dan kultural, karena ia telah menyaksikan sendiri keragaman dunia Islam dan di luarnya.
Warisan dan Pengaruh
Sumbangan terbesar al-Mas’udi mungkin adalah dalam mengembangkan pendekatan multidisipliner terhadap studi sejarah dan masyarakat. Dengan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu – sejarah, geografi, etnografi, ilmu alam, teologi, dan filsafat – ia menciptakan model baru untuk memahami dunia manusia dalam kompleksitasnya. Pendekatan holistik ini mempengaruhi banyak cendekiawan Muslim yang datang setelahnya.
Beberapa sejarawan dan geografer Muslim terkemuka secara eksplisit mengakui pengaruh al-Mas’udi dalam karya mereka. Al-Muqaddasi, geografer abad ke-10, menyebut al-Mas’udi sebagai salah satu inspirasi utamanya. Ibn Khaldun, sejarawan dan sosiolog abad ke-14 yang terkenal dengan karya monumentalnya “Muqaddimah”, juga mengutip al-Mas’udi sebagai salah satu otoritas utama dalam sejarah.
Bahkan di luar dunia Islam, karya-karya al-Mas’udi akhirnya mendapat pengakuan. Pada abad ke-19 dan ke-20, para orientalis Eropa mulai menerjemahkan dan mempelajari karya-karya al-Mas’udi, mengakui kontribusinya yang signifikan dalam perkembangan historiografi dan ilmu-ilmu sosial. Beberapa sejarawan modern bahkan membandingkannya tidak hanya dengan Herodotus tetapi juga dengan tokoh-tokoh seperti Plutarch dan bahkan pelopor antropologi modern seperti Franz Boas, karena pendekatan etnografisnya yang terperinci dan relatif objektif.
Tahun-Tahun Terakhir dan Warisan
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, al-Mas’udi menetap di Mesir, yang saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ikhshidid, sebuah dinasti Turki yang berkuasa sebagai wakil nominal Kekhalifahan Abbasiyah. Di Fustat (Kairo Lama), ia menulis “Kitab at-Tanbih wa al-Ishraf”, yang menjadi karya terakhirnya.
Al-Mas’udi meninggal dunia di Fustat pada bulan September 956 M pada usia sekitar 60 tahun. Makamnya diperkirakan berada di Kairo, meskipun lokasi pastinya tidak diketahui dengan jelas.
Warisan intelektual al-Mas’udi tetap hidup melalui karya-karyanya yang bertahan dan pengaruhnya terhadap generasi cendekiawan berikutnya. Metode risetnya yang inovatif, perspektif globalnya yang luas, dan pendekatan multidisiplinernya terhadap studi sejarah dan masyarakat tetap relevan bahkan dalam konteks akademik modern. Ia mungkin tidak seterkenal beberapa ilmuwan Muslim lainnya, tetapi kontribusinya terhadap perkembangan historiografi, geografi, dan etnografi sangat signifikan dan pantas mendapatkan pengakuan yang lebih luas.
Catatan Akhir
Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas’udi merupakan salah satu cendekiawan Muslim paling orisinal dan berpengaruh pada abad pertengahan. Kombinasi antara perjalanan ekstensifnya, rasa ingin tahu intelektualnya yang tak terpuaskan, dan kemampuannya untuk mengintegrasikan berbagai bidang pengetahuan membuatnya menjadi pelopor dalam pengembangan metodologi penelitian sejarah dan sosial yang lebih komprehensif dan kritis.
Sebagai “Herodotus Arab”, al-Mas’udi tidak hanya berkontribusi pada pengembangan historiografi Islam tetapi juga pada pemahaman kita tentang dunia yang luas dan beragam pada abad ke-10 M. Melalui catatan-catatannya tentang berbagai masyarakat, budaya, praktik keagamaan, dan sistem politik, ia memberikan jendela berharga ke masa lalu yang tanpanya pemahaman kita tentang periode tersebut akan jauh lebih miskin.
Karya-karya al-Mas’udi, khususnya “Muruj adh-Dhahab” dan “At-Tanbih”, tetap menjadi sumber penting bagi para sejarawan modern yang mempelajari dunia Islam abad pertengahan. Pendekatan metodologisnya yang menggabungkan sumber-sumber tertulis dengan pengamatan langsung, perbandingan kritis, dan analisis kontekstual, menjadikannya salah satu pelopor dalam pengembangan metode historis yang lebih ilmiah.
Warisan al-Mas’udi mengingatkan kita tentang tradisi intelektual yang kaya dan beragam dalam peradaban Islam abad pertengahan, di mana rasa ingin tahu, penalaran kritis, dan penghargaan terhadap keragaman manusia mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Di dunia kontemporer yang sering dicirikan oleh ketegangan antara tradisi dan modernitas, figur seperti al-Mas’udi menunjukkan bahwa pencarian pengetahuan yang didasarkan pada pengamatan, perjalanan, dan keterbukaan pikiran selalu menjadi bagian integral dari tradisi intelektual Islam.
Sebagai seorang pelancong, sejarawan, geografer, etnografer, dan pemikir multidisipliner, al-Mas’udi mewakili semangat pencarian pengetahuan yang universal yang mengatasi batas-batas budaya, politik, dan agama. Inilah warisan terbesarnya yang tetap relevan hingga saat ini. (Heri)