Connect with us

Review Film

‘Pocong the Origin’, Genre Horor yang Jadi Entitas

Published

on

JAYAKARTA NEWS - TAK ada genre film yang jadi entitas dan mendominasi industri perfilman Indonesia, selain genre horor. Pada tahun 2018  ada sekitar 40 judul bergenre horor, dari 120-an judul film nasional. Selebihnya adalah genre drama dan komedi.

Menurut data di Sinematek Indonesia, banyak judul 'Pocong' dan 'Kuntilanak' mewarnai layar perak kita. Bahkan, ada yang dibuat sekuel, seperti Pocong 2, Kuntilanak 2, Danur 3 dan berapa judul lagi di tahun-tahun mendatang. 

Selama masyarakat penonton masih menyukai dan membludak di bioskop-bioskop Indonesia, selama itulah film setan-setanan dan hantu-hantuan dibuat. Sineas Indonesia paling kreatif membuat bermacam-macam jenis hantu dan setan bergentayangan hampir tiap minggu.

Pada bulan April ini, tepatnya sehari paska pilpres/pileg dan jelang bulan puasa Ramadan, 'Pocong the Origin' datang juga. Adalah Chand Parwez Servia, produser dari Starvision yang memproduksi film ini.  Sutradara Monty Tiwa, adalah yang menggagas sekaligus membawa ide cerita ini ke pihak produser.

"Ketika saya membaca skenarionya, saya langsung suka karena berbeda genre horornya," kata Chand Parwez Servia. Entah dimana perbedaannya dibanding film horor lain yang juga membuat judul seri Pocong.
 Chand Parwez masih menambahkan embel-embel lain "Pocong sosok menakutkan yang paling dekat dengan kita. Sekaligus paling horor," tambah Chand. 

Memang, melihat cerita dari awal sampai akhir film ini, sangat menyeramkan dan menegangkan. Tapi kalau dikatakan 'paling horor', terserah masing-masing penonton.

'Pocong The Origin' menyajikan horor konsisten sepanjang film. Tak ada celah yang dibiarkan kosong. Hampir semua penonton dibuat menjerit, terkejut kemudian tertawa. Ha..ha..haaa.. ah loe..cuma nakutin gue aja sih...

Sembilan puluh persen seluruh adegan dibuat gelap, kelam dan syuting malam hari di desa Cimacan, Jawa Barat. "Hanya 10 persen kita syuting pagi hari. Pokoknya, saya sengaja membuat kengerian penonton di malam hari," ungkap Monty Tiwa.



Seorang anak perempuan bernama Sasthi (Nadya Arina) ingin agar jenazah ayahnya yang bernama Ananta (Surya Saputra) yang berprofesi sebagai penjahat kelas kakap, mendapatkan pemakaman yang layak.

Ananta telah dieksekusi mati oleh negara. Tapi ajaib, karena memiliki ilmu hitam Banaspati, Ananta tidak mati dan hanya darah dagingnya yang dapat membunuh dia. Putri tunggalnya, Sasthi dijemput sipir penjara usai eksekusi kedua yang kembali gagal.Sasthi tiba di Lapas. Dan dalam keadaan tidak terduga, Sasthi menembak ayahnya yang kerasukan iblis Banaspati.

Sesuai permintaan terakhir ayahnya, Sasthi harus mengantar jenazah ayahnya di kampung halamannya, desa Cimacan. Mengendarai ambulance yang disopiri Yama (Samuel Rizal), Sasthi berpacu dengan waktu. Tidak boleh lewat 24 jam, bertepatan gerhana bulan merah (Blood moon). Jika terlambat, iblis Banaspati yang merasuki Ananta akan semakin kuat. 

Perjalanan penuh gangguan gaib ini, mencuat beberapa peristiwa lain. Situasi bertambah pelik oleh  kehadiran Jayanthi (Della Dartyan), seorang wartawati dari koran Metropolitan yang memburu berita karena sahabatnya sekeluarga dibantaI Ananta. Kengerian atau 'kelucuan' terjadi di desa Cimacan sebelum jenazah Ananta tiba, mendadak sontak pak Lurah bunuh diri dengan manggantung tubuhnya di rumahnya karena dituduh berselingkuh dengan wanita lain. 

Apakah usaha Jayanthi mengungkap kasus pocong ini berhasil ? Apakah jenazah Ananta benar-benar telah dimakamkan di desa Cimacan ? Dan mengapa ketika dimakamkan, ternyata bukan jenazah Ananta, melainkan jenazah pak Lurah. Kenapa bisa terjadi pertukaran jenazah ini ? Di ending film, ternyata Sasthi membawa pocong ayahnya entah menuju kemana. Ahh...ternyata Sasthi juga kerasukan ilmu hitam Banaspati. Regenerasi pocong terjadi lagi, untuk dilanjutkan ke sekuel 'Pocong The Origin 2'. 

Selain cerita yang dibuat sedikit berbelit, tata musik juga mencuatkan kengerian dan ketengan luar biasa. Andi Rianto sebagai penata musik paling laris berhasil mengisi visual film ini. Sebuah lagu bertajuk 'Bumi' ciptaan Monty Tiwa disenandungkan Nadya Arina dengan bagus. Untuk lagu tema, lagu 'Dibawah Sinar Bulan Purnama' nyanyian Sundari Sukoco menghiasi awal film. 

Kali ini, Monty Tiwa mengajak duet jempolan yaitu Anggi 'Cumit' Frisca sebagai Cinematoprapher dan Tepan Kobain sebagai Art Director. Suasana sunyi, muram dan nglangut di sepanjang jalan yang tidak rata dan kondisi pemakaman Cimacan di malam hari berhasil dipindahkan ke layar perak. 

Penulis: Ipik Tanoyo

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *