Connect with us

Kolom

‘Menyikapi Perbedaan Idul Adha’

Published

on

ilustrasi wukuf di arafah–foto akurat co

oleh: Agus Mustofa

Tahun ini, terjadi perbedaan lagi pada Hari Raya Haji. Bukan antara Nu dan Muhammadiyah seperti tahun 2014 / 1435 H, melainkan antara Indonesia dengan Arab Saudi. Di Arab Saudi, Idul Adha jatuh pada Selasa, 21 Agustus 2018. Sedangkan di Indonesia, 22 Agustus 2018. Lantas muncullah pertanyaan, bagaimana menyikapi puasa Arafah dan Idul Adhanya?

Berikut ini, saya kutipkan tulisan yang saya publikasikan waktu itu untuk memberikan sudut pandang yang berbeda atas keputusan pemerintah Indonesia, terkait dengan waktu Idul Adha. Bukan untuk memunculkan perbedaan, melainkan untuk mencerdaskan umat, dengan membiasakan membuat keputusan melalui diskusi penuh hikmah.


Kapankah kita melakukan puasa Arafah? Saat jamaah haji wukuf di Padang Arafah, ataukah tak ada kaitannya antara hari Arafah dan wukuf di Padang Arafah? Demikianlah, sejumlah pertanyaan dari pembaca buku-buku saya.

Jawaban Rasulullah sangat lugas tentang hal ini, sebagaimana disabdakan dalam hadits sahih berikut ini. “Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan Arafah kalian adalah di HARI kalian melakukan WUKUF di Padang Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224].

Maka, memisahkan puasa Arafah dari wukuf di Padang Arafah adalah menyelisihi penjelasan Nabi SAW tersebut di atas. Hal ini dipertegas oleh Lajnah Daimah alias Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiah Arab Saudi. “Hari Arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa Arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika Anda ingin puasa Arafah, maka Anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika Anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah”. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 4052)

Itulah sebabnya dalam sejumlah hadits diceritakan berkali-kali keterkaitan antara puasa Arafah dengan wukuf di Padang Arafah. Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan kepada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wukuf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123].

Selain itu At-Tirmidziy rahimahullah berkata: “Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116]. Dari berbagai hadits dan penjelasan di atas, tidak bisa dimungkiri bahwa Puasa Arafah terkait erat dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah. Termasuk waktu penyembelihan kurban. Semua itu tidak terlepas dari ritual ibadah haji di tanah suci.

Lantas bagaimana menjelaskan catatan sejarah bahwa Rasulullah sudah berpuasa Arafah sebelum adanya wukuf di Arafah? Secara kaidah fikih tidak menjadi masalah, bahwa sesuatu yang dihukumkan paling akhir adalah menjadi penjelas dan penentu bagi hukum yang terdahulu. Jadi, bisa saja awalnya puasa Arafah itu tidak terkait dengan tempat dan peristiwa wukuf, tetapi di akhir-akhir masa kenabian Rasulullah menegaskan – agar tidak terjadi perselisihan – bahwa hari Arafah adalah hari dimana jamaah haji sedang wukuf di Arafah. Dan sunnah yang terakhir inilah yang semestinya diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia.

Lantas, bagaimana dengan wilayah-wilayah yang berjauhan dengan Mekah? Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti keputusan penguasa Mekah. Hal itu bisa disimpulkan dari hadits berikut ini.

Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata : “Bahwasannya pemimpin kota Mekah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan rukyat. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih].

Hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah yang berdiam di kota Madinah memerintahkan kepada penguasa kota Mekah untuk melakukan rukyat sebagai rujukan penetapan datangnya Idul Adha. Padahal kota Madinah saat itu berjarak sekitar seminggu perjalanan naik kuda. Tidak menjadi masalah. Karena sesungguhnya, seluruh peribadatan yang terkait dengan Idul Adha dan puasa Arafah harus mengacu kepada peristiwa haji di kota Mekah.

Bisa dibayangkan, jika saat itu Rasululah memerintahkan agar setiap kota dimana umat Islam berada mengadakan sendiri idul adha dan puasanya – padahal pemimpinnya satu yaitu Rasulullah – maka umat Islam akan menjadi terkotak-kotak seperti sekarang ini. Nabi tidak melakukan pengkotak-kotakan itu, melainkan memerintahkan agar semuanya mengacu ke kota Mekah sebagai lokasi penyelenggaraan haji.

Puasa Arafahnya adalah saat wukuf di Padang Arafah. Dan penyembelihan kurbannya adalah saat jamaah haji sudah melakukan lempar jumrah di Mina, serta tawaf dan sa’i di Baitullah. Maka, umat Islam di seluruh dunia pun berhari raya haji bersama-sama. Apakah bisa, karena ada belahan bumi yang sedang malam ketika jamaah haji sedang wukuf di Arafah?

Jika mau, seluruh umat Islam di muka bumi ini akan bisa berpuasa Arafah di hari Arafah. Karena hari Arafah adalah hari dimana sebagian waktunya digunakan untuk wukuf. Durasi  hari Arafah tahun ini adalah sejak maghrib 19 Agustus 2018 sampai dengan maghrib, 20 Agustus 2018. Maka, dipastikan negeri terjauh yang berjarak 12 jam dari Mekah pun akan bisa membarengi hari Arafah dengan puasa Arafah.

Apalagi, Lajnah Daimah Saudi Arabia memberikan fatwanya bahwa berpuasa sehari sebelum hari Arafah diperbolehkan. Sehingga beda hari asalkan menyongsong datangnya wukuf di Arafah hukumnya adalah halal. Yang diharamkan itu kan berpuasa sehari setelah hari Arafah? Karena, saat itu adalah hari raya Idul Adha, yakni saat jamaah haji sedang lempar jumrah di Mina dan tawaf sa’i di Baitullah. Wallahu’alam bishshawab.

 

***Penulis buku “Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab &Rukyat” & buku “Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib”, serta Inisiator Rukyat Astrofotografi Indonesia).

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *