Connect with us

Feature

Lockdown di Panggung Jayakarta

Published

on

Jayakarta News – Terasa ada yang tersisa dari Jayakarta Creativity Contest (JCC) dalam bentuk video yang telah diumumkan 28 Mei 2020. Bukan sesuatu yang istimewa memang, namun sebaliknya sangat sahaja. Karena itu, sayang dilewatkan jika tak dibincangkan dalam catatan.

Boleh disebut ini kritik atau hal nyinyir sekalipun dengan narasi yang terpapar tafsir subyektif. Namun yang berkait kompetisi, terutama seni –yang pasti terbaluri rasa ataupun tingkatan emosi, yang pungkasnya jika memungkinkan, maka  karya harus bisa diperdengarkan atau ditonton. Baik kepada komunitas, maupun publik. Meskipun publik juga tak menuntut apa-apa soal kritik atau tafsir atas pertunjukan seni, sejauh tak melawan nilai-nilai universal.

Baiklah, kami suguhkan utuh tampilan Lockdown, judul video tersebut, melalui link video di bawah. Ini video karya Bambang Dwi (BD) yang menjadi pemenang pertama JCC. BD menampilkan seni pertunjukan monolog dari puisi karya tokoh teater dan pendiri Teater Koma, N. Riantiarno yang bertajuk Cermin.

Video bertajuk Lockdown ini, tentunya manifestasi atas tokoh yang dikisahkannya dalam “Cermin”  tersebut. Bertutur tentang jiwa yang terpenjara. Bukan cuma raga. Seperti yang kita alami saat ini, atau banyak warga dunia yang berada dalam situasi kebijakan lockdown/karantina wilayah karena wabah global covid-19. Kita pun terkadang seperti terpenjara di rumah-rumah sendiri karena terdampak situasi pandemi yang baru terjadi sejagat, dan dalam waktu bersamaan.

Memasuki Jiwa Tokoh

BD keluar masuk, dari tokoh pencerita dan tokoh yang dikisahkannya. Ia tampak benar-benar masuk ke jiwa sang tokoh. Bertutur dengan tempo yang tenang dan ritme alur jiwa pelakon. Diksi dan intonasi ia jaga secara konstan hingga akhir permainan.

Pilihan musik latar dalam nuansa nglangut, mengkristalkan situasi jiwa yang terpenjara, dan ini kian berperan membangun keutuhan performance pemanggungan. BD pun tampak memperhitungkan penggalan-penggalan adegan dengan lompatan bahasa gerak tubuh yang justru natural dan teatrikal. Itu antara lain bisa kita tengok saat sang tokoh hendak melantunkan sebuah lagu.

Lariknya pendek, tapi cukup menikam kesadaran, bahwa/segala yang ada di dunia cepat lalu/maut akan memanggil kita semua/. Dan tetap menyentuh dalam dialog monolog yang berdurasi sekitar 5 menit itu. Ilustrasi musik yang teliti dipermainkan, tetap tenang, seakan konstan, tapi kadang sayup-sayup menjauh. Plihan irama menunjukkan bukan sekadar musik latar, tapi menggiring dan membangun atmosfer ruang dan situasi jiwa serta konflik tokoh ataupun pelakon. Penataan musik  tak sia-sia.

Ini “pemanggungan” dari rumah memang, dan di-video-kan. Untuk menyederhanakan langkah, tampak monolog BD tak  perlu disibukkan kamera. Begitu live, pemain berekpresi, kamera pun on hingga lampu padam. Yang tampak dilupakan adalah latar panggung. Ia duduk di kursi di depan lemari buku atau lemari hias. Jika background itu kosong, atau sekadar kain hitam, setidaknya mendekatkan imaji pemirsa ke ruang penjara yang gelap, pengap dan bau.   

Namun, permainan yang berangkat dari keisengan dan niat mengisi waktu selama karantina wilayah di saat pandemi ini, ternyata menggugah talenta peserta JCC. Termasuk BD, wartawan olahraga yang pernah berkiprah di panggung teater.

Boleh jadi ia baru “terjaga”, lalu merindukan panggung itu. Puluhan tahun vakum kadang sama sekali tidak menyurutkan talenta seseorang, terutama seniman. Sebaliknya, bisa menemukan nilai dan siasat baru dalam mengekspresikan diri. Sebab, panggung nyata kehidupan telah menempanya dalam pergolakan jwa dan raga yang sesunguhnya. (Iswati)

https://www.youtube.com/watch?v=Igut6A5lQDk
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *