Connect with us

Drama & Teater

Sekolah Dulu, Drama Kemudian

Published

on

Azwar AN, Manusia Teater (2)

___

Tokoh teater Indonesia, Azwar AN wafat Senin dinihari (27/12/2021) pukul 01.40 di kediamannya, Wirokerten, Yogyakarta. Untuk mengenang sosok Azwar AN, Jayakarta News menurunkan serial tulisan autobiografi Azwar AN yang dikutip dari Buku Trilogi Teater Alam (Penyunting: Roso Daras, Prof Yudiaryani, Bambang JP – 2018).

___

JAYAKARTA NEWS – Bahwa aku sudah bermain teater di Tanjung Karang, benar. Bahwa aku sesekali juga tampil melawak secara profesional, tidak salah. Bahwa aku juga main perkusi di band Alunan Nada, itu juga fakta. Tapi kalau dikatakan aku ke Yogyakarta untuk seni, apalagi fokus ke teater, seratus persen keliru.

Memang, guru menyarankan aku melanjutkan sekolah ke Yogya. Tapi kalau aku terjemahkan, saran itu ibarat sekali dayung dua pulau terlampuai. Yogya, yang utama adalah kota pelajar. Juga kota budaya. Itu artinya, Yogya adalah kota penentuan terbaik.

Jika akhirnya memilih fokus ke pendidikan non seni, Yogya menyediakan banyak pilihan sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Sebaliknya, jika mau ke seni, aku sudah berada di kota yang benar. Karena itu, selepas SMP Negeri I Tanjung Karang tahun 1962, tujuan utamaku ke Yogya. Tapi sungguh belum ada keputusan bulat. Ingat, usiaku baru belasan tahun. Maka yang ada di benakku adalah melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Itu yang utama.

Jadilah aku siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Bukan sekolah menengah musik, misalnya. Bukan juga sekolah kejuruan seni yang lain. Aku memilih SMA, karena memang masih berpikir kuliah. Kuliah apa? Nantilah dipikir sambil menyelesaikan SMA.

Memang, darah seni tak bisa hilang. Hasrat berkesenian tidak mungkin padam. Jadi, ketika sekolah sudah tertata, teman sudah punya, mulailah aku mencari informasi seputar teater di Yogya.

Tibalah aku ke markas Teater Muslim, pimpinan Mohammad Diponegoro. Makin betah saja aku dengan kota ini. Sekolah lancar, berkesenian pun tersalur. Bahkan, jauh lebih kondusif. Tidak lagi berpikir untuk berkelahi, atau main geng-gengan.

Selagi nyantrik di Teater Muslim, aku coba-coba mendirikan sanggar, Sanggar Sriwijaya. Nama yang memuliakan daerah kelahiran. Itu terjadi tahun 1964. Makin banyak bergaul dengan seniman teater kota Yogya, makin dangkal saja rasanya. Makin cetek rasanya ilmu berteaterku. Maka, muncul keinginan menimba ilmu formal teater. Kebetulan ada Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film). Di situ aku belajar teater dari guru-guru yang lebih baik.

Sejauh itu, tidak ada masalah dengan keseharianku di Yogya. Entah kalau perantau lain, tapi aku praktis tidak pernah mengalami persoalan. Mungkin karena aku berani, suka melucu, dan pintar cari uang.

Sampai lulus SMA, ada perasaan bimbang, antara menekuni seni atau menekuni ilmu serius. Jadilah aku mengikuti tes masuk Universitas Gadjah Mada Fakultas Ekonomi. Pengennya belajar akuntansi. Aku diterima, dan sempat kuliah. Kampus FE UGM waktu itu di Pagelaran Keraton Yogyakarta.

Hijrah Asdrafi

Jangan tanya soal hitung-menghitung sama orang berdarah Padang. Saya jagonya. Jadi sebenarnya kuliah akuntansi bukan hal sulit. Persoalannya, porsi kuliah dengan berteater nyaris sama besar. Lama-lama, saya berpikir tentang betapa bertolak belakangnya, dunia ekonomi dengan dunia seni drama. Sungguh, saya perlu bertafakur, merenung lama untuk memikirkan persoalan itu. Pilihannya memang kurang menguntungkan.

Bisa saja kuliah di UGM dan Asdrafi. Dengan demikian, bisa menggondol gelar Sarjana Ekonomi, dan siap memasuki pasar kerja pasca kuliah. Di sisi lain, tidak meninggalkan teater yang makin asyik.

Otak yang sekepal ini sunguh harus berkelahi menentukan pilihan yang sangat sulit. Bertahan kuliah di FE UGM, atau menekuni teater dan pindah Asdrafi. Membenturkan keduanya, hanya menambah berat kepala. Segelas-dua-gelas kopi, tidak cukup meredakan persoalan.

Persoalan baru tampak titik terang, manakala berhitung soal biaya. Kuliah di dua perguruan tinggi, tentu memerlukan biaya lebih banyak, dibanding kalau hanya kuliah di satu tempat. Jalan keluar lebih lebar, ketika aku merasakan geliat teater makin hari makin hangat.

Pendek kalimat, aku hijrah dari UGM ke Asdrafi yang berkampus di bilangan Sompilan, Ngasem. Astaga. Aku harus memekik. Antara marah, kesal, sekaligus sedih dan prihatin. Kondisi Asdrafi ternyata sangat memprihatinkan. Dibilang kampus, tapi lebih mirip gedung mangkrak. Sudah mangkrak, tak terawat pula.

Mangkrak, tak terawat, sepi pun! Tidak ada sama sekali kegiatan yang aku bayangkan, di mana di setiap sudut kampus tampak mahasiswa berlatih akting, berlatih vokal, berlatih gerak, berlatih apa saja yang terkait drama dan film. Aku melihat aura kematian Asdrafi, ditandai dengan gejala lesu darah akut.

Tapi entah mengapa, aku menikmati berada di kampus Asdrafi. Sepertinya memang aku dilahirkan untuk berada di situ. Karenanya, melihat kondisi memprihatinkan itu justru memacu untuk berbuat. Aku ingin menunjukkan bahwa Asdrafi eksis.

Aku melihat Asdrafi sebagai kampus yang tidak maju dan tidak punya sarana memadai. Mahasiswa ikut lesu, tak bergairah. Ini yang aku tentang. Aku justru terpacu lebih giat mencari uang untuk bisa mendanai aktivitas demi meramaikan kampus.

O ya, untuk tambahan penghasilan, sesekali aku menerima undangan melawak. Teman melawakku Suhud, Hermansyah, dan Dadang yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Orang-orang Sinting.

Semua uang yang aku dapat, sebagian besar aku gunakan untuk berteater. Di Asdrafi aku sudah punya Teater Sriwijaya. Kemudian aku dirikan lagi kelompok Teater Antasari. Sejumlah drama kami mainkan, antara lain Tuan Kondektur, Penggali Intan. Itu kami mainkan bersama Teater Ikasdrafi.

Nomor lain kami pentaskan lakon Mr. X, Jebakan Maut, Pantomim, dan Lawan Catur bersama Teater Sriwijaya. Bersama Teater Antasari, terlahir repertoar Alam Roh Kalimantan, Pangeran Antasari, Tuan Abdullah.

Tidak hanya itu. Bersama Teater PWI Yogyakarta, saya juga mementaskan Badai Asmara, dan Nao Tungga Magek Jabang. Sementara, aku juga tetap bergabung dengan Teater Muslim dan Teater Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian membawa saya keliling pulau Jawa. Amak Baldjun, Chaerul Umam, Syu’bah Asa merupakan nama-nama penggerak teater di Yogyakarta kala itu.

Dengan semua kegiatan tadi, Asdrafi lebih “berdarah”, lebih ada gaungnya. Lebih ada aktivitas di dalam kampus. Tak pelak, aku pun merasa at-home, bahkan home sweet home. Hidup dari panggung ke panggung telah membuat matang bukan saja sebagai pemain watak, tetapi juga sebagai sutradara, bahkan pelawak. Benar. Melawak jadi lebih banyak bahan. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *