Connect with us

Feature

Pertempuran Medan Area yang Terlupakan

Published

on

Usai Talk Show narasumber dan pembawa acara dan lainnya foto bersama di Gedung RRI Medan, JL. Jendral Gatot Subroto, Sei Sikambing C. II, Kec. Medan Helvetia, Kota Medan, Sumatera Utara. (Foto. Monang Sitohang)

Jayakarta NewsAlhamdulilah Tuhan memberkahi. Kapan pun aku ke tempat ini, selalu diberi kesempatan meski sekadar memandang tugu ini. Tugu yang sederhana tetapi memiliki arti besar bagiku, meski sebagian besar warga Kota Medan tidak tahu, bahwa ini adalah tugu peringatan perjuangan rakyat Medan dalam mempertahankan kemerdekaan.

Setiap kali aku memandang tugunya yang kurang terawat…. Berdekatan dengan pasar tradisional besar di kota ini…. Aku mencintai tugu ini. Ya, aku bersama teman-temanku bergabung, dengan barisan keamanan rakyat, berjibaku melawan sekutu yang mengonceng NICA. Maju, ayo kawan-kawan kita pecahkan kepala penjajah itu….

Itulah cuplikan naskah drama berjudul “Sepenggal Kisah Dari Balik Tugu”. Sebuah kisah yang diilhami peristiwa Pertempuran Medan Area yang terjadi tahun 1945 – 1947 di Kota Medan, Sumatera Utara. Sandiwara itu telah diputar RRI Medan Pro-1 pada Jumat (16/8/2019) pukul 20.00 WIB.

Pemutaran sandiwara berlangsung sebelum talk show bersama narasumber sejarawan DR. Suprayitno M.Hum dan antropolog sekaligus pecinta sejarah USU Medan, Dr. Edy Ikhsan SH, MA.  Acara yang dipandu moderator Hasma Lubis, dalam rangka menyemarakkan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-74.

Narasumber Talk show Dr. Edy Ikhsan SH, MA ahli antropologi pecinta sejarah dari USU sebelah kiri dan DR. Suprayitno M.Hum Sejarahwan. (Foto. Ist)

Dalam kesempatan itu, Yitno menuturkan sejarah penyebab terjadinya pertempuran Medan area. Dikisahkan, pertempuran terjadi antara Oktober 1945 sampai sekitar Juli 1946 sebelum agresi pertama. Ketika itu, 14 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu pasca pengeboman Hirosaki dan Nagashima.

Namun awal Agustus, Belanda sudah menerjunkan pasukannya di Besitang dengan tujuan melucuti Jepang yang sudah menyerah. Pertama-tama, Belanda membangun koalisi kekuatan dengan eks KNIL. Mereka menyusun kekuatan di hotel Dirgasurya, sebagai markas pasukan Belanda. Sayang, bangunan itu sekarang sudah tidak ada.

Jepang yang sudah menyerah, dilucuti senjata. Pasukan Gyugun, Heiho dikasih pesangon. Mereka pun menjadi lontang-lantung. Akhirnya, oleh Ahmad Tahir para eks Gyugun dan Heiho itu dikoordinir. Itulah cikal-bakal TKR (Tentara Kemanan Rakyat) di Sumatera Timur. Lalu lahir BPI (Barisan Pemuda Indonesia). Pasukan-pasukan ini di bawah kontrol dan komando Resimen Laskar. Selanjutnya, ditempatkan di berbagai daerah seperti Jamin di Berastagi, lalu ada yang di Kabanjahe, dan lain-lain.

Merekalah yang kemudian bertempur, menghadapi agresi Belanda dalam peristiwa yang sekarang kita kenal sebagai pertempuran Medan Area. Lalu tanggal 10 Oktober mendaratlah pasukan Sekutu di Belawan, dipimpin Brigjen Ted Kelly. Pasukan-pasukan lain mendarat di empat kota besar Sumut lain, dipimpin Majen Chember. Tugas mereka menjaga status quo.

Itu artinya, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945. Sambil menunggu pengalihan kekuasaan dari Jepang ke pemerintah Hindia Belanda, mereka menyebar kekuatan tentaranya ke Binjai, Tebing Tinggi, Siantar, dan Berastagi. Di situlah tentara Belanda (NICA/Netherlands Indies Civil Administration) membonceng kedatangan Sekutu.

Belanda yang sebelumnya sudah kocar-kacir dan melarikan diri ke Australia, kembali mencoba membangun kekuatan dengan memprovokasi rakyat. Mereka kemudian membentuk batas resmi wilayah Medan, yang disebut fixed boundaries medan area. Area Medan Belawan, jarak 15 – 30 meter di kiri kanan tidak boleh ada pasukan Indonesia, sampai ke simpang Pondok Kelapa. Di sana ada tugu yang tak terurus. Padahal tugu itu dulu menjadi penanda batas sampai ke titik kuning Jalan Serdang, sebagai batas resmi wilayah Medan.

Talk show dalam rangka menyemarakkan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke -74 bersama Dr. Edy Ikhsan SH, MA ahli antropologi pecinta sejarah dari USU sebelah kiri dan DR. Suprayitno M.Hum Sejarahwan di tengah dan pembawa acara Hasma Lubis. (Foto. Monang Sitohang)

Masyarakat mulai terpecah. Antara yang meyakini kemerdekaan dan bertekad mempertahankan kemerdekaan, dengan sekelompok masyarakat yang ketakutan dan tunduk pada Belanda. Beruntung, TKR tetap solid. Mereka membentuk laskar-laskar dan tersebar di banyak titik, seperti pasukan Bejo yang disebut Napindo Andalas Utara. Ada lagi Selamat Ginting memimpin pasukan Gagak Hitam.

Sementara itu, NICA kembali memainkan politik pecah belah. Pasukan-pasukan kita pun diadu domba. Disebutlah pasukan A akan diserang oleh pasukan B, dan sebaliknya. Mereka ingin menciptakan opini dunia, bahwa pemerintah republik yang baru berdiri, tidak bisa mengatur rakyatnya. Rakyat tidak kompak dan saling perang saudara. Opini yang hendak dibangun adalah, pembuat onar bukan NICA tetapi republik.

Taktik NICA tidak sepenuhnya berhasil. Konsolidasi TKR berhasil menyusun serangan pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan ini menyerang markas NICA di Jl Bali. Itulah cikal-bakal terjadinya pertempuran Medan Area. Tak kurang dari delapan prajurit Belanda tewas. Sementara korban dari pihak sipil lainnya ratusan orang.

Serangan itu bermula dari aksi congkak tentara NICA yang mengoyak lencana merah putih, dan menginjak-injaknya. Para pemuda yang melihat itu, menjadi marah dan bergabung dengan TKR lalu melakukan penyerangan. Saat itu, Teuku Muhammad Hasan yang menerima kedatangan Sekutu, mengirim Ahmad Tahir untuk melerai pertempuran itu, tetapi gagal. Emosi pemuda begitu meluap-luap. Karena kewalahan, maka Belanda kemudian meminta Jepang untuk menghadapi serangan para pemuda itu. Jepang yang diminta bertanggung jawab sebagai penjaga status quo.

Para pejuang Indonesia terus merangsek maju dan menyerang pertahanan-pertahanan Belanda. Seperti Bejo dan pasukannya yang bermarkas di Brayan, menyerang markas Jepang di Helvetia hingga ke stasiun kereta api dan gudang senjata Jepang. Pasukan Bejo juga menyerang markas Sekutu dengan senapan mesin. Itu mengagetkan Sekutu, sehingga Brigjen Ted Billy mengeluarkan peraturan masyarakat Medan semua tanpa kecuali, harus menyerahkan senjata api, bahkan pisau sekalipun.

Alih-alih mengindahkan peraturan Sekutu, pejuang Medan justru melawan. Pertempuran demi pertempuran sporadis terus berlangsung hingga terjadilah pertempuran Medan Area. Sebuah pertempuran yang tidak kalah heroik dengan peristiwa 10 November di Surabaya.

Dengan senjata ala kadarnya, mereka berani mencegat laju tank, merusak bahkan membunuh pengemudinya. Juga menghadang panser dan menghabisi pengemudinya. Pendek kata, perlawanan masyarakat luar biasa. Mereka sama sekali tak menghiraukan malaikat maut, demi mempertahankan kemerdekaan.

Tugu Apollo Medan. (ist)

Kini, 74 tahun setelah Indonesia merdeka, banyak situs pertempuran, situs-situs sejarah, serta jejak-jejak heroisme anak bangsa di Medan, tak terurus. Misalnya, gudang senjata Helvetia di Pondok Kelapa, lalu Tugu Apollo di Jl Bali yang dikenal dengan Tugu Perjuangan Medan Area. Tugu penting ini bahkan mungkin nyaris dilupakan warga Medan zaman sekarang. Padahal, nilai historisnya tidak kalah dengan apa yang dilakukan Bung Tomo di Surabaya yang kemudian melahirkan Tugu Pahlawan Surabaya. Atau seperti monumen Bandung Lautan Api di Bandung, Jawa Barat.

Padahal, kawasan Tugu Apollo bisa disebut sebagai history of city, kota sejarah. Sayang, banyak titik peninggalan sejarah yang tak terurus bahkan sudah lenyap dari muka bumi. Monuman Tamiang sebagai penanda Belanda menguasai Tamiang, juga sudah hancur. Monumen Fukuraido (lapangan di tengah kota atau Esplanade alun-alun lapangan merdeka), juga sudah hilang.

Tak heran jika Medan seperti kota yang tak punya identitas sejarah. Kondisi itu bukan saja memprihatinkan, tetapi menyedihkan bagi keluarga pejuang. Sementara Medan seperti kota tanpa historical background. Anak-anak Medan bahkan sebagian besar tidak tahu sejarah kota Medan.

Dalam sesi interaktif, tidak sedikit penelepon yang menanggapi acara ini. Hutagalung, misalnya, menyoal hilangnya banyak monumen bersejarah di kota Medan akibat pembangunan yang semrawut. Ia mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab.

Menanggapi pertanyaan itu, Edy Ikhsan setuju. Pembangunan kota Medan tidak tertata, cenderung semrawut. Kuncinya terletak di tangan pemerintah. Semua perizinan pembangunan ada di tangan pemerintah. Harusnya pemerintah bisa meletakkan regulasi yang menjamin tata ruang Medan sebagai ruang hidup yang nyaman tanpa melupakan sejarah. Ia menyebut contoh kota-kota besar lain seperti Jakarta, Semarang, yang berhasil membangun kota tua sebagai destinasi wisata.

Banyak pertanyaan dan diskusi menarik pada acara ini. Intinya bahwa sebuah sejarah adalah sebuah tarikan waktu lengkap dengan emosi rakyat yang hidup pada masanya. Hilang dan hancurnya monumen peninggalan Belanda, misalnya, banyak justru dihancurkan oleh bangsa kita sendiri yang sangat membenci Belanda. Tapi juga ironis, karena kerajaan juga ada yang hilang. (Monang Sitohang)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *