Connect with us

Kesehatan

Akses Imunoterapi Kanker Memprihatinkan

Published

on

Jayakarta News – Lebih efektif namun efek samping negatifnya relatif lebih ringan dari targeted therapy, terutama kemoterapi.

Mata Tainah salah satu penyintas kanker berbinar, saat mengetahui ada pengobatan lain, selain pengobatan kanker yang pernah dijalaninya.

Apalagi, pengobatan kanker gaya baru yang dikenal dengan imunoterapi tersebut, dinyatakan memiliki damak penyembuhan lebih baik dan efek samping negatif yang lebih rendah atau ringan dibandingkan cara penyinaran yang telah dilakoninya.

Perempuan sepuh itu tampak menggerayutkan air muka sedih ketika menggambarkan efek pengobatan penyinaran untuk mengobati kaker yang mendera hidungnya. “Al Hamdulillah, sekarang lidah saya sudah bisa merasakan lagi makanan dan minuman. Di tengah-tengah proses penyinaran, bibir, leher bahkan bagian atas dada sakit, melepuh,” tuturnya memutar kembali kenangan pahit hidupnya, sambil duduk bersimpuh di kursi ruang tamunya belum lama ini.

Guru mengaji majelis taklim kaum ibu di wilayah Tanah Rendah, Kampung Bali, Jakarta Pusat yang akrab disapa Mbah Inah itu bagai musafir haus di gurun sahara,mengejar informasi imunoterapi yang terasa bak oase. “Dimana itu, Indonesia, Jakarta? Bagaimana bisa dapat obatnya? Mahal ya?” cecarnya.

Hingga kini, Mbah Inah masih terus bolak balik ke Rumah Sakit Dharmais, untuk mengontrol dan berkonsultasi dengan doker kanker yang menanganinya sejak pengobatan metode penyinaran tersebut. Selama ini, perempuan 60-an tahun itu menjalani pengobatan berdasarkan rujukan dan hasil labotarium. Hal itu bermula saat dokter di Rumah Sakit Pelni, Pertamburan, Jakarta merujuknya untuk memeriksakan sebagian potongan hasil operasi hidung yang dijalaninya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Hasilnya, positif sel kanker dan harus segera diatasi. Hasil labotarium RSCM itu kembali dirujuk RS Pelni, ke Rumah Sakit Pusat Kanker Dharmais. Dokter Rumah Sakit Dharmais yang menanganinya menyatakan bahwa kanker yang diderita Mbah Inah sudah stadium 2 B. “Waktu itu perasaan saya sebetulnya campur aduk. Kaget, sedih, bingung lah pokoknya, pasrah, lillahi ta’ala,” ucapnya.

Awalnya, dia mengira daging tumbuh yang ada di rongga hidungnya hanya polip, itu pun berdasarkan diagnosa beberapa dokter yang memeriksanya saat beberapa kali berobat karena flu berat yang dideritanya. Sampai suatu hari Mbah merasa tidak nyaman dan sakit di bagian leher dekat tonjolan yang semula dikira bisul.

Di penghujung perbincangan Mbah Inah kembali menanyakan bentuk dan cara pengobatan dengan imunoterapi yang baru didengarnya. “Apa sama dengan kemo? Kata dokter kalo saya kemo harus siap-siap resiko rambut rontok, muntah-muntah, seram dengarnya saya ada sakit maag,” katanya.

Akses informasi dan komunikasi terkait pengobatan kanker dengan metode imunoterapi untuk masyarakat, khususnya penyintas dan keluarganya terasa masih jauh panggang dari api. Hal tersebut diperkuat pernyataan Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH. “Data kanker,masih minim atau sulit. Kita masih bekerjasama dengan pemerintah,” ucapnya dalam suatu diskusi di Hotel Grand Cemara, Jakarta, pada penghujung tahun 2019.

Penyintas yang telah berusaha bertahan dan berupaya sembuh total selama delapan tahun dari kanker payudara yang dideritanya ini, menyatakan shock ketika divonis mengidap kanker grade tiga. Kala itu, perasaannya campur aduk dan hanya bisa pasrah dalam kesedihan dan kebingungan. “Hingga kini saya masih prihatin. Kita kekurangan informasi, sangat kekuarangan informasi. Akses deteksi dini juga masih memprihatinkan,” tuturnya.

Tak hanya akses informasi dan komunikasi, lebih dalam dan lebih berdampak langsung bagi pengobatan serta penyembuhan para penyintas kanker, dari sisi biaya dan penyediaan obat imunoterapi kanker pun Indonesia masih memprihatinkan. Dokter Arif Riswahyudi Hanafi SpP(K) menyatakan bahwa Balai Pengobatan Obat dan Makanan (BPOM), baru mengeluarkan approval (periizinan) obat imunoterapi untuk dua jenis kanker, paru-paru dan payudara. Itu pun, dengan biaya puluhan juta dan salah satu penyebab tingginya harga obat itu karena pajak. “Kalau bisa ya obat-obatan bebas pajak lah, seperti di Penang, Malaysia, obat dan alat kesehatan tidak kena pajak,” ucap dokter Rumah Sakit Kanker Dharmais itu.

Kondisi tersebut menambah panjang daftar keprihatinan dan permasalahan akses pengobatan dan penyembuhan penyintas kanker di Indonesia. Sebelumnya, di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR dengan sejumlah stakeholders (pemangku kepentingan), 11 Maret 2019, menyepakati revisi Keputusan Menteri Kesehatan megenai penghapusan obat targeted therapy (terapi target) kanker kolorektal (usus besar), yakni bevacizumab dan setuksimab dari daftar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Aru Wisaksono Sudoyo

Keputusan tersebut disambut reaksi keras Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Ketua Umum YLKI Aru Wisaksono Sudoyo menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mensosialisasikan dulu penghapus itu. Lalu, penghapusan itu direalisasikan secaara perlahan dan bertahap dan parsial, tidak serta merta alias mendadak supaya pasien tidak dirugikan.

Disamping itu, sambungnya, pemerintah khususnya pengelola JKN bekerjasama dengan asuransi swasta untuk penjaminan obat dan pengobatannya. “Mestinya dilakukan pelan-pelan. Jadi, pasien lama masih bisa menggunakan, lalu pasien yang baru diatur lagi syaratnya,” katanya.

Tanpa penghapusan obat kanker dengan metode targeted therapy tadi, obat dan pengobatan dengan imunoterapi menjadi harapan baru, tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. “Lebih efektif dari kemoterapi, tapi efek samping relatif lebih ringan dari targeted therapy terutama kemoterapi. (Sayangnya) Obat imunoterapi belum terakses ke BPJS (Imunoterapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),” ucap dokter RS Darmais yang akrab disapa dr. Arif.

Dokter ahli paru-paru itu menjelaskan bahwa targeted therapy biasa atau idealnya diberikan kalau sudah ketahuan dimana akar kepala atau bosnya kanker yang menyerang tubuh pasien, baik berupa operasi pemotongan atau pengangkatan maupun penyinaran. Ketika akar atau kepala kanker tidak atau belum diketahui, sementara kanker sudah merajalela dan harus ada penanganan segera, maka diberilah tindakan kemoterapi. “Ibaratnya, Kepolisian atau KPK operasi penggerebekan atau penangkapan penjahat, targeted therapy, langsung ke tempat atau ruangan yang ada penjahatnya. Kemoterapi yang dibom satu asrama atau gedung, semuanya mati termasuk yang tak bermasalah,” kata dr. Arif menjelaskan.

Karena itu, lanjutnya, perlu biopsi (prosedur pengambilan sebagian kecil jaringan dari tubuh pasien untuk diperiksa menggunakan mikroskop), untuk mengetahui apa, siapa, dimana dan bagaimana bos sel kanker dan antek-anteknya. “Imunoterapi diberikan pada penyintas kanker stadium lanjut. Imunoterapi diberikan kalau belum ketahuan siapa bosnya dan baru diketahui antek-anteknya, PD-I1,” ujar dr. Arif.

Singkatnya, obat imunoterapi diberikan untuk membuat sel-sel antibody kembali lagi kemampuan deteksi dan kekuatan tempurnya melawan sel-sel dan zat-zat kanker. Layaknya imunisasi pada umumnya, membangun dan melatih kembali sel-sel tubuh pasien agar mampu melawan, membasmi dan bertahan dari serangan sel-sel kanker.

Sejauh ini, dua pengobatan itulah yang sudah dikenal dan digunakan secara umum di dunia. Sementara teknologi dan metode pengobatan CRISPR masih terus dikembangkan dan belum terakses di Indonesia.

Sementara itu, di awal tahun ini, tepatnya per 31 Januari 2019-berdasarkan data yang dipaparkan Kemenkes- penyintas kanker payudara saja sudah berada di angka 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk.

Rasanya, tinggal akses kepada Tuhan melalui doa. Semoga ada perubahan yang lebih baik, lebih terjangkau dan lebih maju. (atm)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *