Kolom
Tujuh Kebijakan Semar
Oleh Bambang Asrini Widjanarko
DALAM filosofi orang-orang Jawa konsep utama manusia hidup adalah memahami diri. Dengan menghayati dirinya sendiri, diharapkan manifestasinya adalah lelaku penghormatan kepada sang liyan. Yakni, memuliakan sesama manusia, alam, dan seluruh isinya.
Manusia Jawa kemudian dituntut untuk menjadi manusia yang reflektif. Menjadi pemimpin dirinya sendiri sekaligus selalu eling dan waspada agar terhindar dari malapetaka; yang selanjutnya berpasrah kembali pada-Nya: Sangkan Paraning Dumadi.
Tema pameran solo Sohieb Toyaroja adalah manusia yang mematut ke dalam dirinya: Ke-Diri. Sosok Semar kemudian menjadi rujukan penting, bagaimana seseorang harus mencari kesejatian, dalam kosmologi besar maupun kecil. Semar adalah tauladan ideal sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai illahiah. Semar dalam pandangan yang sama disebut Gusti Allah yang Katon, Tuhan yang terlihat atau manusia adikodrati. Dalam beberapa peradaban dunia konsep seperti ini disebut Ubermanch (Jerman), dan kita mengenalnya di keyakinan Islam dengan konsep Insan Kamil.
Pameran Solo Pelukis Sohieb Toyaroja dengan demikian mengeksplorasi sosok manusia unggul berjuluk Semar. Perwujudan dari Dewata Ismaya dalam diongeng Mahabharata versi Jawa (bukan India) yang menjadi penasihat anak-anak Prabu Pandu; Pandawa. Semar menjadi abdi sekaligus penasihat keluarga Pandawa.
Kemudian muncul pertanyaan, kenapa justru kebaikan wajib didampingi, dinasihati? Bukankah keluarga Kurawa yang jelas-jelas wakil dari si angkara murka? Konsep Jawa yang unik memberi pesan, justru yang menampak baik seringkali lebih sulit diraba. Kejahatan yang telanjang jelas-jelas terlihat. Acapkali kejahatan menyaru dalam kebaikan, Semar hadir mengingatkan,
Sohieb mempresentasikan berbagai ajaran Semar dengan membawanya dalam konteks kekinian dalam tujuh lukisan-lukisannya. Yang menarik Sohieb tak harus menarasikan Semar-Semar hari ini yang sakral, merenung, dan sublim. Semar dihadirkan dengan cara yang bahkan kontradiktif dan saling bertolak belakang dalam pemahaman logika benar-salah.
Ia samar-samar bertutur dengan pesan-pesan yang mengendap. Semar di tujuh lukisan disimbolkan melalui peristiwa, kronik, tuturan yang transenden dari titisan Batara Ismaya itu menjadi satiris, reflektif, bahkan komikal. Karena Semar lebih dekat karakternya dengan masyarakat kecil, wong cilik. Ia digambarkan seperti dalam manusia-manusia keseharian yang lemah namun tabah, kuat, usil serta tak lupa membawa pasemon, sindiran halus khas orang Jawa.
Sohieb menciptakan Semar untuk direnungkan, ditertawakan sampai sesekali mengolok-olok drinya sendiri. Olok-olok atau pasemon itu sebenarnya sebuah sindiran tajam tentang para pamong, pemimpin atau orang-orang yang berkuasa yang lupa amanahnya.
Panggilan utama untuk eling, mengaca pada dirinya sendiri, jangan terlalu jumawa terhadap segala hal, yang di Jawa disebut sebagai ngumangsani daripada rumongso.
***
TENTANG TUJUH LUKISAN
Lukisan pertama berjuluk Highway to Heaven, yang menggambarkan sang Semar bertelanjang diri menuju cahaya di langit melewati jalan setapak dengan bayang-bayang gelap di belakangnya. Atmosfer lukisan beraura muram. Ada kotak kecil berwarna oranye, dengan teks flight recorder, do not open. Sohieb ingin berteka-teki, sekaligus menafsir konsep paling sulit pun paling esensial di Jawa, Sangkan Paraning Dumadi yang dihubungkan pada ilustrasi black box di dunia penerbangan.
Semar sebagai manusia yang linuwih sangat menyadari eksistensi dirinya di dunia hanya sebentar, bagi para pejalan jauh yang istirah meneguk minum usai itu melanjutkan perjalanannya ke sang Khaliq. Kotak oranye adalah representasi kerahasiaan, sesuatu yang disembunyikan, namun ia ada dan layak ditinggal, atau diungkap kelak secara tuntas? Apakah itu harta, keluarga bahkan jabatan-jabatan mentereng yang sempat disandang dan membawa beban kembali padaNya?
Lukisan ke-2 adalah tujuh panel lukisan yang satu dan lainnya berkesinambungan. Lukisan berjudul Semar Evolution dengan narasi sebuah transformasi dari konstruksi bertubuh wayang kulit menjadi manusia. Panel demi panel dalam lukisan berubah secara dimensional dari perspektif pipih menjadi menubuh seperti manusia dengan atribut yang merujuk pada profesi dan peran yang disandang seperti: ulama, pegawai negeri, hakim, polisi/TNI sampai pengusaha dengan simbol-simbol yang tertera.
Ada satire pahit dan kejenakaan terlihat bersama, sebelum Semar benar-benar menjadi “manusia paripurna”. Yakni, upaya Semar dengan identitas pengusaha (bersimbol Semar memakai dasi warna merah) menyogok uang pada sang Semar sejati di panel ketujuh.
Semar yang telah utuh menjadi manusia menasihati Semar lainnya dalam gestur tangan dan ekspresi muka. Kita segera mengingat isu-isu suap dan korupsi di Tanah Air; dan Sohieb membawa kita soal itu dengan mengaitkan tentang konsep evolusi menusia berikhwal dari kera (Darwinisme), sebelum mencapai bentuknya yang paling ideal: Homo Sapiens. Manusia utuh yang bernalar dan bernurani.
Lukisan ke-3, Semar meminjam dalam konteksnya dengan sejarah seni rupa serta mengapropriasi lukisan fenomenal Basoeki Abdullah, Pertempuran Gatotkaca dan Antasena (1933). Sebagai pelukis potret dan figur-figur yang realis pada masa lalunya, Sohieb tergelitik untuk meminjam imej tersebut dari pendahulunya. Yang diplesetkan imejnya dengan judul Pertempuran Semar versus Togog.
Dalam dongeng, Semar perwujudan dari Batara Ismaya dan Togog dari Batara Antaga saling berebut menelan gunung Mahameru. Untuk membuktikan siapa paling sakti di antara mereka dalam sebuah sayembara. Mereka, terutama Semar, masih dinarasikan para dewa di kahyangan yang belum sepenuhnya lepas dari ego, ingin memenangkan dirinya mengalahkan liyan. Semar seperti menjadi tauladan bahwa masa lalunya tdak lepas dari sifat-sifat kemanusiaan: kerakusan terhadap kekuasaan atau tafsir lain tentang kompetisi sengit hari ini antar manusia yang mengancam kelangsungan eksistensi semesta.
Lukisan ke-4 judulnya Mbegegeg Ugeg-ugeg: Flowing and Flying. Lukisan itu menggambarkan Semar-semar bertelanjang dada dalam tiga panel lukisan. Dalam konsepsi Jawa, pengertian itu adalah upaya manusia yang tak diam saja, bekerja dan berbuat, jika mendapatkan rezeki selayaknya menerima dengan ikhlas.
Semar-semar telanjang adalah perwujudan manusia-manusia yang bersiap untuk sebuah lari marathon. Sebuah aktivitas yang melelahkan dengan persiapan jasmani dan fisik prima yang mengantar pada keyakinan untuk terus berbuat. Bertindak dan bekerja, dan tidak berorientasi pada hasil namun dalam proses. Kita mengenalnya dalam konsep air yang terus mengalir sementara benak terbang dalam harapan terbaik di masa depan.
Lukisan ke-5, yang dekat dengan konsep vox populi vox dei, yakni suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan judul Game of Throne, lukisan Sohieb menerjemahkan kekuasaan yang diwujudkan oleh sebuah kursi ada di ujung jari telunjuk sang Semar. Uniknya, posisi Semar tampak sangat relaks, yang digambarkan sedang merebahkan diri di sebuah balai-balai. Seakan ia abai pada sekelilingnya dengan tangan kiri menyedot sebotol susu. Semar adalah kanak-kanak, apa adanya, jujur, sekaligus naif.
Dengan karakter itu, Semar sungguh tak ada ambisi untuk melengserkan kekuasaan, berpesan bahwa mereka yang berambisi menjadi pemimpin hendaklah mendengar dan memahami suara wong cilik. Bukan janji-janji dalam kampanye politik kemudian dikhianati. Rakyat yang bermanifestasi menjadi Semar akan dengan mudah melengserkan kekuasaan seseorang jka ia mau. Tuhan dan Rakyat menyebadan dalam sosok Semar dalam versi lukisan ini.
Di lukisan ke-6, Semar melanglang buana ke angkasa. Dalam judul Semar’s Universe, Sohieb ingin mengeksplorasi tafsir tentang konsep Jawa: Jagat besar dan kecil dalam diri manusia. Seperti juga dalam Islam pada tassawuf, manusia sejatinya adalah pancaran energi Tuhan, sebuah proses emanasi dengna para penghuni langit. Mengejawantah dalam diri manusia yang memahami jagat kecilnya yang adalah perwujudan juga kosmos besar.
Sel-sel dlaam tubuh, proses berkehidupan dalam perspektif ilmu biologi sejalan dengan hukum-hukum alam semesta. Kematian sebuah bintang, sebuah tata surya, sepaham dengan sirnanya atau matinya sel-sel dalam tubuh manusia, semuanya ada awal dan akhir. Tentunya dengan merujuk kaidah-kaidah tertentu dalam ilmu pengetahuan dan kalam illahiah di kitab-kitab suci. Demikian pula karakter-karakter yang imanen dalam diri kemanusiaan kita. Gambaran semar yang “terjun bebas” dari daratan bulan ke atau sebaliknya menjadi king maker. Ia hanya bertutur jelas bahwa baginya kekuasaan adalah sesuatu yang remeh-temeh. Ekspresi mukanya tersenyum menikmati, ia ingin bumi, sengaja hendak mengawasi hidup di sana dalam waktu sama berefleksi di dalam dirinya sendiri.
Lukisan ke-7, dengan judul United Color of Semar, lukisan-lukisan Sohieb berpendar-pendar warnanya dengan latar belakang kotak-kotak berisi sosok dari Che Guevara, Bung Karno, sampaii komedian Rowan Atkinson. Di sana terpapar samar-samar ada sosok “sesat” Hitler sampai legenda bandit Al Capone selain tokoh-tokoh mulia seperti Budha, Theresa, dan Sidarta Gautama denggan figur kepala di arca candi sampai ikon pornografi Jepang, Miyabi.
Semar dalam lukisan ini, seperti biasa, berlagak cuek, bergestur semaunya, jenaka, sampai membuat gerakan skipping, seakan Semar berbisik, “segala apa yang manusia perbuat di dunia, seringkali tak memberi makna hakiki. Mereka seperti bidak dan pion-pion di permainan catur”.
Semar beralih rupa menjadi dzat yang melampaui segala, yang digambarkan di latar belakang lukisan. Dari tokoh sesat, mulia, komedian, bahkan bintang porno adalah sebentuk permainan belaka; dari beragamnya polah dan tingkah manusia di jagat fana. Semar melampuai identitas-identitas dalam asumsi pikiran manusia: keyakinan reliji, etnisitas, ideologi, atribut-atribut dan jabatan-jabatan serta semua kemajemukan yang bersandar atas nama-nama itu.
Segala yang melekat dalam diri kembali ke asal. Kekosongan berhulu pada keketiadaan yang berarti kekekalan. Hidup sejatinya bermuatan mati. Semar di lukisan ini menyampaikan ujaran yang cukup mengena bahwa ia adalah manusia sekaligus sosok berenergi transenden, tak pernah terpikat seuatu yang dianggap paling besar maupun hal yang paling sepele dalam perspektif hidup manusia. Ia senyatanya di atas warna-warna terang, gelap, abu-abu, dan lain-lain.
Semata Semar hidup sejengkal di dunia, kemudian sirna menjemput kesejatian dalam perjalanan menuju ke kematian.
***
SOSOK SEMAR SENI KONTEMPORER
Lukisan dan karya-karya Sohieb dengan menggali ide-ide dasar akar lokalitas adalah keniscayaan. Sebab, seni rupa kontemporer hari ini mengapresiasi datangnya era yang sejak 30-tahun terakhir dengan sebutan Glocali: Global sekaligus Local. Sejarah seni Barat dan eksistensi estetika Barat, dengan cara pemahaman dan penyampaiannya pada publik telah lama menghegemoni kesadaran seni sejagat lambat laun berubah.
Kita mengingat seniman China seperti Ai Wei-Wei atau Anish Kapoor dari India sebagai misal. Yang mengeksplorasi elemen-elemen tertentu kultural Timur. Demikian juga, tatkala seniman dunia dari Thailand Rikrit Tiravanija yang mengusung seni dengan estetika relasi: seni yang terhubung dengan orang banyak. Yang sejatinya, bukanlah jenis karakter demikian adalah berakar dari seni rakyat, dalam konteks tradisi dahulu di teritori Timur?
Pada waktu yang sama, seniman Indonesia dengan seni kontemporer yang paling diapresiasi oleh dunia internasional adalah Heri Dono yang terilhami Wayang Jawa dan Komik. Maka, idiom-idiom Semar, sebagai subject matter dari pelukis-pelukis kita adalah sudah menjadi kelumrahan atau sebagai kekuatan baru usainya generasi seniman yang lebih senior di Indonesia seperit Heri Dono.
Tentu saja Sohieb bukanlah Heri Dono, ia tdak hendak menyalin siapa saja yang menggali ide-ide dasar kultur kita yang demikian majemuk. Sohieb dengan caranya sendiri, lahir dari Kediri, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang membuka kesadaran baru. Dari kota itu, tentang sosok manusia Semar, yang Sohieb membawanya terhubung dengan konsep besar bahwa sudah waktunya kita berkaca dalam diri.
Sohieb ingin memberi sumbangsih pada keindonesiaan kita, melampaui sebuah teritori kota kuno bernama Kediri, yang terus hari demi hari tumbuh bertambah besar dan semoga memberi dampak pula dalam peta besar seni rupa Indonesia yang kita cintai bersama.
*) Bambang Asrini Widjanarko, Kurator
Pameran diselenggarakan di Galeri Kunskring Paleis, Jl Teuku Umar 1, Jakarta tanggal 29 April- 29 Mei 2018.
Pingback: Pameran Wayang : Pameran Solo Sohieb Toyaroja