Connect with us

Kolom

Pentingnya Kartu Nama

Published

on

Oleh: Joko Intarto

Jayakarta News – Pentingkah kartu nama? Bagi saya, dulu (1991), kartu nama tidak terlalu penting. Maklum, dulu saya wartawan. Di koran ‘’Jawa Pos’’ yang terkenal. Tanpa kartu nama, narasumber akan selalu mencari.

Setelah mengelola harian ‘’Mercusuar’’, anak perusahaan Jawa Pos di Palu, Sulawesi Tengah, kartu nama menjadi penting. Kartu nama menjadi media agar para kolega selalu ingat bahwa saya bekerja di ‘’Mercusuar’’.

Saat itu (1993) ‘’Mercusuar’’ belum terkenal. Oplahnya kecil. Sering diolok-olok teman di Jawa Pos Grup: koran ‘sak becak’. Maksudnya jumlah cetaknya cukup diangkut dengan sebuah becak saja.

Tahun 1999 saya kembali bekerja di ‘’Jawa Pos’’. Ditempatkan di kantor biro Jakarta. Menangani pemasaran iklan.

Saya pikir saat itu sudah tidak butuh kartu nama lagi. Ternyata salah. Walau sudah terkenal di Jawa Timur, banyak calon pengiklan di Jakarta yang belum mengenal ‘’Jawa Pos’’ dengan baik. Banyak yang bertanya: Apakah ini koran berbahasa Jawa?

Agar memudahkan orang mengingat saya dan ‘’Jawa Pos’’, saya membuat kartu nama sendiri. Tidak menggunakan konsep kartu nama resmi yang disediakan perusahaan.

Saya pilih kartu nama dengan warna kuning ngejreng dengan kombinasi hitam dan putih. Warna ini menyalahi brand book ‘’Jawa Pos’’ yang menggunakan warna biru sebagai corporate color.

Taglinenya pun saya ubah. Dari ‘’koran terbesar di luar Jakarta’’ menjadi ‘’bukan koran berbahasa Jawa’’.

Sempat menuai protes di internal, tetapi nama saya jadi dikenal dan diingat. Terutama di kalangan agency. Gara-gara kalimat ‘’bukan koran berbahasa Jawa’’ itu.

Ide membuat kartu nama nyeleneh itu sebenarnya meniru Pak Wahyu Saidi. Tulisan pada namanya sangat unik: ‘’Alumni ITB, Tukang Bakmi’’. Sampai sekarang saya belum pernah mendapat kartu nama dari alumni ITB lainnya yang lebih gokil dari Pak Wahyu.

Setelah mengelola usaha sendiri, saya kembali membuat kartu nama. Tujuannya agar kolega tahu bahwa saya sudah tidak bekerja di ‘’koran berbahasa Jawa’’ dan tahu bisnis baru saya. Semua jenis usahanya saya cantumkan pada kartu nama itu.

Senin sore saya menghadiri undangan Pak Imron dan Pak Ryan dari perusahaan out sourcing OS Selnajaya. Eksekutif perusahaan ini banyak yang warganegara Jepang. Maklum, salah satu fokus bisnisnya adalah menyediakan tenaga kerja Indonesia untuk perusahaan-perusahaan Jepang.

Begitu masuk ruang meeting, saya disambut Hagusa Masahiro, marketing manager perusahaan itu, dengan mengulurkan kartu namanya. Untung saya ingat nasihat Pak Dahlan Iskan: siapkan kartu nama kalau mau ketemu orang Jepang. Saya pun dengan sigap bertukar kartu nama.

‘’Pak Joko juga melayani jasa penulisan buku?’’ tanya Hagusa San yang sangat fasih berbahasa Indonesia itu.

‘’Haik!’’ jawab saya.

‘’Apa saja layanannya?’’ kejar Hagusa San.

‘’Dari penulisan naskah, editing naskah, fotografi, desain grafis hingga mencetak buku,’’ jawab saya.

‘’Selain memerlukan vendor operator webinar untuk belajar bahasa Jepang, kami juga perlu vendor penerbitan buku. Tolong masukkan penawaran,’’ jelas Hagusa San.

‘’Haik!’’ jawab saya.

Itulah cerita ringan saya tentang kartu nama. Dari kartu nama, kolega bisa mengetahui kompetensi Anda dalam bisnis dan profesi. Walau ukurannya mungil, kartu nama ternyata punya manfaat yang besar. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *