Connect with us

Entertainment

Pembukaan FF Ekraf Jabar: Orang Film dari Dulu Enggak Normal

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Apa kabar Jawa Barat (Jabar)? Harus diakui, Jabar  setelah Jakarta adalah kota industri film dan banyak diproduksi film di Bandung, ibukota Jabar. Film nasional pertama – masih dalam penjajahan Belanda – dibuat tahun 1926 di Bandung, yaitu ‘Loetoeng Kasaroeng’.

Film ini produksi Jawa NV dan rilis 31 Desember 1926, diputar di 2 bioskop terkenal di Bandung, Majestic dan Elisa. Tiap tahun, Bandung selalu jadi tuan rumah Festival Film Bandung dan pernah 3 kali Festival Film Indonesia (FFI) diselenggarakan di Bandung. Potensi seninya memang luar biasa, ada sekitar 49.633 pelaku seni dan 2700an pelaku wisata di Jabar.

Kini, di tengah pandemi yang belum lenyap, Disparda Jabar menghelat Festival Film (FF) Ekonomi Kreatif (Ekraf) dan Konten Kreatif. Festival film ini terbuka untuk umum dan pelajar dengan total insentif Rp 113 juta.

Festival dan lomba yang akan diumumkan pemenangnya tanggal 26 September 2020 ini, dibuka oleh Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum mewakili Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang mendadak ada rapat dengan Presiden di Istana Bogor. Pembukaan sekaligus diskusi yang diikuti 130 peserta (komunitas, pelajar, wartawan, SMK, partisipan) ini digelar lewat aplikasi Zoom.

“Film itu merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Hidup ini akan menjadi indah jika dihiasi dengan seni, karena Tuhan suka keindahan,” sambut Wagub Jabar.

Dipandu oleh Wisnu Nugroho (PemRed Kompas.com), diskusi berjalan lancar selama 2 jam. Hadir 3 sineas sebagai nara sumber dan juri yaitu Cesa David Luckmansyah (editor),  Yudi Datau (sinematografer) dan Tony Trimarsanto (Asosiasi Dokumenteris Nusantara). Sedangkan Erlan Basri (sutradara dokumenter) berhalangan hadir.

Yudi Datau–foto instagram

Yudi Datau mengaku kaget ketika dihubungi panitia sebagai juri. “60 % warga Jabar itu pemuda yang potensial menggali ide-ide kreatif di bidang seni. Di Tasikmalaya ada 20 komunitas film dan calon-calon film maker berbakat. Ini luar biasa dan modal besar yang akan meramaikan dunia seni dan film di masa mendatang. Ini ledakan apa?,” tanya Yudi Datau polos. “Dan jawabnya akan terbukti nanti di final FF Ekraf.

Tahun 2020 adalah Tahun Emas Film Indonesia.  Produksi meningkat, dan film-film kita dihargai dan menang di FF di luar negeri. Namun, mendadak datang pandemi C 19 yang enggak kita duga. Situasinya unpredictable,” cerita Yudi Datau.

“Namun, kita enggak boleh menyerah. Kita harus meniru sineas Iran yang ada keterbatasan secara politik dan agama, tapi karya-karya sineas Iran diakui dan jadi acuan di dunia, bahkan bisa menembus Oscar,” tutur Yudi Datau.

Cesa David Luckmansyah–foto instagram

Sependapat dengan Cesa David Luckmansyah. “Di dalam keterbatasan, ada kreatifitas para sineas yang membuat karya yang baik dan jujur. Kini, dengan alat minim, pemain minim, bujet minim dan lokasi seadanya, sineas kita menjadi sineas  rumahan yang bisa menghasilkan karya terbaik,”   jelas Cesa.

Bagaimana dengan bioskop sebagai unsur promosi film yang akan dibuka kembali 29 Juli ? “Penonton bergerak terus. Memang, film bisa diputar di televisi atau platform digital yang sudah dilakukan 3 tahun silam. Tapi menonton film di bioskop lain. Ada sensasi sinematik yang enggak bisa tergantikan oleh televisi,” jawab Cesa.

Dengan kata lain, nonton film di bioskop ada delivery emosi dan interaksi sosialnya kena. Yudi Datau juga sepakat dengan pernyataan Cesa, dan ia menambahkan “Ini jadi tanda tanya. Benarkah bioskop akan dibuka 29 Juli.  Sementara Doni Monardo dari Gugus Tugas meralat dan membantah. Kalau jadi dibuka, apakah nonton di bioskop enggak jadi kluster baru?,” tanya Yudi.

Kalaupun jadi dibuka, apakah infrastrukturnya sudah siap. Dan film nasional apa yang akan jadi tumbal ? Ihwal new normal atau diganti jadi adaptasi kebiasaan baru, Yudi Datau jujur mengaku bahwa orang film dari dulu adalah orang-orang enggak normal.

“Saat orang lain istirahat dan tidur malam, kita kerja terus 20 jam sehari. Syuting film dari pagi sampai pagi lagi. Menyunting film alias editor juga ngedit terus lupa makan lupa mandi lupa tidur. Kerja ngebut demi memenuhi permintaan streaming produser si pemilik modal. Kok kita dikatakan mau ke new normal? Lalu yang normal dan new normal siapa,” aku Yudi terpingkal. Tony Trimarsanto mengakhiri diskusi ini dengan pernyataan bahwa membuat film di lokasi syuting itu membuat suasana guyub. “Kita bertemu peradaban baru.

Ada chemistry, simpati, empati dan banyak teman,” timpal Tony. Yang jelas, di masa pandemi, produksi film nasional mulai dan masih menggeliat. Seperti kata pepatah lama : dekat-detil dan fokus. Kita dekat dengan kearifan lokal dan bahkan detil dengan peradaban atau kebiasaan baru, namun harus tetap fokus ke industri dan ekonomi. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *