Connect with us

Entertainment

‘Joker’ dan Politik di Indonesia

Published

on

Foto instagram jokermovie

JAYAKARTA NEWS— Dimana-mana Joker (pelawak). Hampir dua minggu ini, masyarakat dan dunia medsos dipenuhi demam Joker. Sosok yang diperankan Joaquin Phoenix ini menjadi trending topic dan nyaris tiap hari meme-meme berhamburan.

‘Orang Jahat adalah orang baik yang disakiti’ atau ‘I used to think my life was a tragedy, but now, I realize it’s a comedy’ teriak Joker alias Arthur Flex. Lalu, kenapa Joker dipenuhi penonton?

Hingga anak-anak kecil yang belum berusia 17 tahun bisa masuk ke gedung bioskop, asal beli karcis. Padahal, film yang disutradarai Todd Phillips ini penuh adegan kekerasan, pembunuhan dan penembakan hingga berdarah-darah.

Apakah sosok Joker yang jelas merupakan tokoh fiksi yang diangkat dari komik laris, bisa muncul setiap saat dalam realitas keseharian kita?  Apakah Joker ada disekitar kita di tengah kondisi dan situasi sosial politik yang ruwet?

Foto instagram jokermovie

Hari-hari terakhir adalah aksi turun ke jalan oleh mahasiswa dan pelajar menentang RUU KPK, RUU KUHP, RUU Minerba yang hanya menguntungkan segelintir oligarki, DPR dan Pemerintah. Apakah ada relevansinya antara demo para badut di Kota Gotham (tempat Joker dan Batman) dengan gelombang aksi demo di Ibukota dan kota lain?

Para badut mengidentikkan diri sebagai Joker. Kerusuhan marak dan sistem oligarki yang tidak pro rakyat dijungkirbalikkan. Penguasa dan aparat diserang. Orang-orang kaya diuber dan ditembak. Ini diawali ketika Joker membunuh 3 karyawan Thomas Wayne yang berkuasa dan menolak kedatangan Arthur Fleck/Joker.

Apakah Joker sakit jiwa dan mengabaikan kesehatan mental dirinya?

Arthur Fleck semula adalah orang baik dan normal. Hanya karena dia selalu diejek, mengalami nasib apes hingga diputus jaminan kesehatannya untuk mendapatkan 7 macam obat penenang.

Sebagai komika, ia dipermalukan di depan TV nasional dengan host Murray Franklin (Robert de Niro). Joker menjadi orang kalah dalam kehidupan. Ia pun berontak.

Ibunya yang skizofrenia diputus nafasnya dengan bantal. Bahkan, Murray Franklin, host TV Nasional ditembak kepalanya. Usai membunuh, Joker menari di depan kamera.

Adegan yang menyeramkan dan menakutkan. Ketika peristiwa pembunuhan Murray Franklin terjadi dan aparat menguber dia, Joker lihai menyelinap dalam kerusuhan massa bertopeng badut. Sebuah cerita yang sangat pas dan aktual dengan kondisi masyarakat kiwari.

Penulis Fauzan Fu’adi di Rubrik Opini Jawa Pos, Sabtu (12/10) berjudul ‘Inspirasi Joker untuk Pembangunan’ antara lain membahas ihwal kebengisan dan kebrutalan Joker mengilhami kemunculan joker-joker kecil dalam konteks berbeda.

Alhasil, pihak keamanan dikerahkan ekstra waspada di gedung bioskop saat film tersebut diputar di negeri Paman Sam. Dikatakan, dunia hiburan masa kini bukan lagi sebuah tahap yang berjarak dari realitas sehari-hari. Artinya, seni (apa pun bentuknya, bisa film, teater, televisi, sastra dll) memang fiksi, tetapi fiksi tidak bisa sama sekali lepas dari realitas. Selalu ada konteks dibalik teks. Dan Indonesia? (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *