Connect with us

Entertainment

‘Gundala’ Perpaduan Talenta dan Teknologi

Published

on

Ilustrasi–Poster film Gundala— foto istimewa

JAYAKARTA NEWS— Negeri  ini butuh patriot. Itu tagline film ‘Gundala – Putra Petir’ yang tayang mulai hari ini, Kamis (29/8) di 400 layar bioskop seluruh Indonesia (XXI, 21, Premier, CGV, Cinemaxx).

Film yang disutradarai Joko Anwar lolos untuk 13 tahun ke atas ini diangkat dari komik karya Hasmi  yang diciptakan pertama kali tahun 1969. 

Hasmi (almarhum), komikus asal Jogjakarta ini terinspirasi dari tokoh legenda Jawa yang bisa menangkap petir, yaitu Ki Ageng Selo. Gundala alias Sancaka berasal dari bahasa Jawa, ‘Gundolo’ yang berarti petir. Miirp jagoan The Flash  (DC Comics). Hasmi semasa hidupnya mengatakan, Gundala adalah super hero dengan kearifan lokal.

Berbeda dengan cerita di komik, dimana Gundala dikisahkan sedang mencari kekasihnya, tiba-tiba disambar petir di tengah jalan. Dalam keadaan koma, ia ditarik oleh kekuatan dahsyat dari planet lain. Kemudian Sancaka (nama asli Gundala) diangkat anak oleh Penguasa Kerajaan Petir, Kaisar Kronz. Kekuatan Gundala adalah dari telapak tangannya bisa memancarkan gledek (petir). 

Salah satu adegan film ‘Gundala’–foto istimewa

Dalam film, Sancaka adalah petugas keamanan dari sebuah perusahaan besar. Persamaannya, Sancaka alias Gundala ditugaskan untuk menumpas kejahatan di bumi.

Di komik dan di film, kostum Gundala serba hitam ketat, wajahnya tertutup topeng, hanya mata dan mulutnya yang kelihatan. Di sisi topeng ada hiasan seperti sayap burung  Di komik, Gundala bercawat merah. Di film, Gundala bercelana panjang. 

Jujur, Gundala menjadi patriot pertama dalam Jagat Sinema Bumilangit yang bekerjasama dengan Screemplay Films, Legacy Pictures dan Ideosource Entertainment. Beberapa tokoh komik Indonesia telah dibeli hak cipta dan hak kekayaan intelektualnya oleh Bumilangit, seperti Sri Asih, Aquanus, Merpati, Si Buta dari Gua Hantu, Pengkor dll.

Perpaduan antara telanta dan teknologi ini telah membuat Gundala menjadi sebuah film kolosal dengan banyak pemain (sekitar 30an tokoh utama, cameo dan atlet bela diri) dan syuting di 80an lokasi. 

Film ini dimeriahkan oleh banyak talenta Indonesia, juga seorang aktor dari Malaysia. Barisan aktor tersebut adalah Abimana Aryasatya (sebagai Gundala), Bront Palarae (aktor Malaysia, sebagai Pengkor), Tara Basro, Ario Bayu, Rio Dewanto, Marissa Anita, Muzakki Ramdhan, Cecep Arif Rahman, Lukman Sardi, Faris Fajar, Hannah Al Rashid, Kelly Tandiono, Asmara Abigail, Putri Ayudya, Ari Tulang, Dhea Panendra, Della Dartyan, Amink, Arswendy Bening Suara, Indra Brasco, Cornelio Sunny dan masih banyak lagi. Koreofrasi untuk film ditangani oleh Cecep Arif Rahman (yang juga jago pencak silat) dan Andrew Sulaiman.

Tata musik dikerjakan oleh Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Tony Merie yang menyuguhkan musik nan keren seperti rap dan rock yang sangat keras, pas untuk film laga ini.

Tak hanya orang-orangnya, teknologi yang dipakai untuk Gundala juga cukup canggih. ‘Gundala’ adalah film Indonesia pertama dengan tata suara Dolby Atmos. Dengan teknologi ini, penonton akan bisa mendengarkan suara film dengan lebih nyata dan lebih detil. 

Perpaduan talenta dan teknologi ini membuat ‘Gundala’ menjadi satu-satunya film Indonesia pertama yang akan berlaga di Toronto International Film Festival di minggu pertama September 2019. Wicky V Olindo dari Screenplay Films selaku produser mengemukakan, dari Asia yang ikut Toronto FF selain Indonesia adalah Korea Selatan.

Abimana Aryasatya sebagai Sancaka alias gundala—foto istimewa

Berkisah tentang Sancaka yang telah hidup di jalanan sejak orangtuanya meninggalkannya. Menjalani kehidupan yang berat, Sancaka bertahan hidup dengan memikirkan keselamatannya sendiri. Tatkala keadaan kota semakin buruk dan ketidakadilan berkecamuk di seluruh negeri, Sancaka memutuskan, apakah dia terus hidup menjaga dirinya sendiri ataukah bangkit menjadi pahlawan dan patriot mereka yang tertindas.

Baru seorang tokoh yaitu Pengkor (Bront Palarae) tampil di film ini. Dia bersama anak-anak yatim piatu yang dididik menjadi centeng dan pengacau negeri berhasil membungkam, membunuh bahkan menembak lawan-lawan politiknya di DPR. Memang, ‘Gundala’ adalah film laga yang mengisahkan dunia kelam para bandit politik dan centeng pasar. Dunia politik, sosial dan hukum menjadi sasaran tembak Pengkor cs. Disnilah, Gundala unjuk kekuatan dan kedahsyatan telapak tangannya yang mengeluarkan petir berhail menumpas habis pengacau dan bandit-bandit politik dan masyarakat.

Kelemahan film ini, Abimana Aryasatya kurang total ketika berkelahi melawan musuh-musuhnya. Sehingga masih tampak ‘kebocoran’ di sana sini. Gundala yang disambar petir juga ditampilkan setelah setengah jam film diputar. Untunglah, adegan demo karyawan perusahaan cukup membikin puas penonton. Kemunculan Ghani Zulham (Ario Bayu) dan Ki Wilawuk (Sudjiwo Tejo) jelang ending film membuat penonton berteka-teki, siapakah kedua tokoh antagonis ini dan apakah mereka berdua akan bertarung melawan Gundala di sekuel berikut  ?

Hampir keseluruhan film ditampilkan terlalu ‘dark’. Dan yang penting, tak ada ‘jembatan penghubung’ antara generasi ‘kolonial’ (masa lalu) yang doyan baca komik dengan generasi milenial (masa kini) yang tidak baca komik. Meski demikian, ‘Gundala’ adalah terobosan baru dalam dunia perfilman Indonesia dengan perpaduan antara talenta dan teknologi kiwari. Impian sutradara Joko Anwar tercapai. (ipik tanoyo)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *