Connect with us

Ekonomi & Bisnis

Perkuat Nasionalisme Demi Industri Strategis

Published

on

Industri Kelapa Sawit – (Bagian-1)
Luhut Binsar Panjaitan sebagai pembicara dalam seminar Peningkatan Kompetensi Wartawann dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit Indonesia. (foto: iswati)

JAYAKARTA NEWS – Indonesia gemas dihantam isu kelapa sawit. Uni Eropa menuduh adanya deforestasi. Kita digempur masalah lingkungan. NGO-LSM satu kata, dan Greenpeace menyerang. Media kita pun kadang dengan alasan independen turut mengipasi situasi.

(Padahal) kita harus satu (bahasa) untuk mengatasi persoalan yang membawa kepentingan NKRI. “Nasionalisme kita dimana ?” kata Luhut Binsar Panjahitan di depan sekitar 80 wartawan dan humas pemerintahan. Menurut Menteri Koordinator Kemaritiman ini, Kelapa sawit, palm oil termasuk industri strategis, mewadahi 20 juta jiwa pekerja, termasuk pegawai dan keluarganya.

Untuk itulah, Rabu (27/3) PWI Pusat bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mengadakan seminar Peningkatan Kompetensi Wartawann dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit Indonesia. Tema “Pengembangan Industri kelapa Sawit Menuju Kemandirian Energi”.

Guna memberi gambaran lebih terang terhadap industri kelapa sawit,, Jayakarta news mulai hari ini  menayangkan laporan tentang  persoalan  sawit. Kendati banyak memaparkan fakta atas keberadaan industri kelapa sawit Indonesia, Luhut sebagai keynote speech menekankan pentingnya menjaga semangat nasionalis, khususnya kepada pers.

Tudingan Uni Eropa (UE) bahwa Indonesia melakukan deforestasi, dan industri kelapa sawit tidak memenuhi syarat sebagai pembangunan berkelanjutan,  agaknya tak lepas dari perkembangan perekonomian Indonesia. Ini tentu “ancaman”. Karena diramalkan Indonesia akan menjadi 5 kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Beberapa bulan lalu, terakhir Januari, Luhut hadir dalam forum internasional di Paris. Tiga kali sebagai keynote speech dalam 24 kali pertemuan. Semua memberi pengakuan bahwa Indonesia hebat terkait perekonominya. Juga kondisi keamanannya. Kalau pun ada masalah di sana-sini (Pemerintah) masih bisa mengendalikan.

Yang memberi penilaian itu, menurut Luhut Panjahian, bukan kita tapi lembaga-lembaga internasional, seperti World Bank, ICC (International Chamber of Commerce), dan beberapa lembaga internasional lainnya.

Dengan gaya ceplos-ceplosnya dan kadang meledak-ledak, Luhut mengatakan, saya ini tentara dan saya memiliki informasi-infomasi intelijen, apalagi dengan posisi saya sekarang.

“Lantas kalau ada orang bilang ekonomi Indonesia itu jelek, dimananya?”  ujarnya. Ia mengaku suka iseng menantang, “Coba ekonom-ekonom yang hebat itu tunjukkan dimana kurangnya?” Bahwa ada kurang-kurang itu pasti ada, tapi kurang menurut yang disebutkan itu dimana, lalu bagaimana anda akan mengatasinya? Konkret. Dan itu pasti tidak mudah.

Disebutkan, siklus pertumbuhan ekonomi kita, mulai 1998, lalu 2001 saat turunnya Presiden Gus Dur. Tahun 2008  hampir krisis, lalu ada masalah lagi 2015, dan untungnya Presiden dianggap membuat keputusan tepat dengan menarik subsidi dan mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur. “Ini kan hal bagus, tidak ada yang aneh.” nilai Luhut.

Tahun 2019 ini diramalkan pula bahwa Indonesia masuk map perekonomian dunia, masuk lima besar. Itu penilaian mereka, bukan kita. Padahal penilaian itu belum termasuk perkembangan di Morowali yang sudah masuk menjadi salah satu dari 5 integrated industry terbesar di dunia.

Di sana perlu 100 ribu pegawai. Sekarang 30 ribu, dan tahun depan 40 ribu. Di sana dibangun kampus politeknik untuk mempersiapkan tenaga terampil yang kini sebanyak 3 ribu ditempati tenaga asing. “Lulusan poltek itu dipersiapkan untuk menggantikan tenaga asing tersebut,“ tandas Luhut.

Adanya tenaga asing orang ribut, kenapa tidak dikasihkan orang Indonesia? Pemerintah sedang mempersiapkan dengan membangun poltek di sana guna menggantikan mereka.

“Dimana di dunia ini (yang) tidak begitu?” ucapnya terus menjelaskan, di Malaysia tenaga asing sebanyak 5 persen lebih, di Singapura 23%, Arab Saudi sebanyak 38 persen. Kita 0,7 % dari 124 juta pekerja. Cek saja. Semua (data) itu ada.

Salahnya dimana. Jangan ikut-ikut menyebar berita palsu. Sekarang negara maju mempermasalahkan tentang sawit. Ini industri strategis kita, sebanyak 20 juta bergantung pada sawit ini. Dan penurunan angka kemiskinan disebabkan efek dana desa dan juga palm oil ini. Lalu Greenpeace “menyerang”. Jadi kita harus satu, tunjukkan nasionalismu.

Sebagaimana yang tercanang, permintaan Crude Palm Oil (CPO) dunia dalam 5 tahun terakhir rata-rata tumbuh sebesar 9.92%. Indonesia memiliki 12 juta hektar kebun kelapa sawit dan mampu menghasilkan 140,6 juta ton CPO dan bisa memenuhi keperluan minyak nabati dunia yang mencapai 1,7 juta ton pertahunnya (bersama Malaysia merupakan negara yang paling banyak menyerap CPO dunia). Tahun 2018, ekspor minyak sawit Indonesia secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) mencapai kenaikan sebesar 8% dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018. Peningkatan paling signifikan secara persentase dicatatkan oleh biodiesel Indonsia, sebesar 851% atau dari 164 ribu ton pada 2017 meroket menjadi 1,56 juta ton tahun 2018.

Jadi Kenangan

Luhut  kemudian cerita sekilas ketika ia ditugaskan ke Timor Timur tahun 1975.  Dari satu Detasemen, 21 orang gugur termasuk atasannya. “Kita tidak pernah tanya apa agamamu, apa sukumu, tapi yang  kita tanya kamu siap, kamu kuat, kamu berani. (Maju berjuang). Saya tahu agamanya apa setelah dia gugur,“ kisahnya.

Suatu perjuangan yang berat, dengan beban di punggung 36 kg  kita harus naik turun gunung di bawah gempuran tembakan. Semua itu demi tanah air, demi NKRI. “Jadi saya bagian dari nyawa saringan itu. Pengalaman itu jadi kenangan. Karena itu saya tidak akan mengkhianati atasan saya dan anak buah saya yang gugur dalam mempertahankan tanah air ini,“ ujar Luhut.

Kalau masalah isu lingkungan, bukan mereka saja (UE) yang care, kami pun sangat care terhadap pembangunan berkelanjutan. (Proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan generasi masa depan). “Saya tidak ingin anak cucu saya mewarisi keadaan yang  tidak memberi harapan pada mereka. Dan jangan sampai kita dianggap bodoh karena kekeliruan kita membuat policy,”

Moratorium terhadap perkebunan sawit ini sudah dibuat. Tinggal melakukan perbaikan terhadap lahan-lahan yang kurang bagus produksinya. Selain itu juga akurasi data karena nanti kita hanya punya satu map, sehingga akan tahu kepemilikan masing-masing individu.   

Apa pun tudingan atau tekanan UE, Pemerintah berusaha untuk tetap menyiapkan lahan guna terpenuhinya kecukupan pangan bagi 232 juta penduduknya. “Jangan kita mau diatur-atur, kita kan perlu memiliki ketahanan pangan.“

Luhut menekankan perlunya kebersamaan kita dalam menangkal atau memerangi isu dari luar, jangan malah ikut-ikutan atau malah berpihak. Keberpihakan kita tetap kepada NKRI. Kalian tidak mengalami (bagaimana rasanya) mau mati karena mempertahankan NKRI ini.   

“Saya titip satu saja, kita harus punya nasionalisme yang kuat. Mau pilih nomor satu (Jokowi) silahkan, atau  pilih nomor dua (Prabowo) silahkan, “ ucap Luhut yang menyeret pembicaraan pada situasi jelang pemilu. “Tapi jangan berantem, apalagi menjelek-jelekkan, dan  mencaci-maki. Presiden dicaci-maki. Untung beliau orang Jawa, Solo. Kalau Batak seperti saya ini………“ Luhut tampak gemas namun disambut tertawa audien. “Bisa saya cari orang itu…….”   dan tepuk tangan pun makin riuh. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *