Agribisnis
Pengakuan Sertifikat ISPO di Pasar Global Masih Jadi Hambatan

JAYAKARTA NEWS – Pengakuan (keberterimaan) sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) di pasar global masih jadi hambatan. Perlu dibuat Supply Chain Certification System (SCCS)-ISPO seperti pada RSPO dan MSPO.
Demikian diungkapkan Kepala Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Azis Hidayat dalam diskusi bertema Perpres No 16 Tahun 2025 untuk Industri Sawit Berkelanjutan yang digelar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Jakarta, Rabu (04/06/2025).
“Keberterimaan ISPO di pasar dunia, termasuk seperti yang diminta Pemerintah Jepang, sebaiknya segera dibuat SCCS-ISPO seperti pada RSPO dan MSPO yang sudah diakui lebih dulu,” ujar Azis.
Menurut Azis, SCCS-ISPO mampu memperkuat posisi sawit Indonesia di pasar global yang semakin ketat terhadap aspek keberlanjutan.
Gapki, lanjut Azis, berkomitmen penuh mendukung penerapan mandatory ISPO.
Azis menyebutkan, per Juni lalu, dari 1.177 anggota GAPKI, sebanyak 687 perusahaan atau sekitar 58 persen sudah bersertifikat ISPO. Total luas lahan bersertifikat mencapai 3,6 juta ha.
“Kami terus dorong agar GAPKI bisa mencapai target 100 persen,” tegas Azis.
Selain itu, kata Azis, Gapki juga punya program klinik ISPO di 15 provinsi dan pelatihan auditoris ISPO sebagai fasilitasi bagi anggota Gapki.
Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ratna Sariati mengatakan, ISPO bukan sekadar label.
“ISPO merupakan sistem menyeluruh yang memastikan bahwa usaha kelapa sawit dilakukan secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, serta ramah lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Ratna.
Menurut Ratna, sertifikasi ISPO menjadi bukti tertulis bahwa pengelolaan kebun sawit telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut.
Ratna mengatakan, perubahan Perpres Nomor 16 Tahun 2025 mencakup perluasan ruang lingkup dari hulu ke hilir, termasuk sektor industri olahan dan bioenergi.
“Penambahan ruang lingkup ini dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru. Kini, pembiayaan ISPO untuk pekebun bisa difasilitasi oleh APBN, APBD, maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan,” ujar Ratna.
Per Februari 2025, tercatat sebanyak 1.157 pelaku usaha telah memperoleh sertifikat ISPO dengan total lahan mencapai 6,2 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 84 persen adalah perusahaan swasta, 9 persen BUMN, dan 7 persen pekebun rakyat.
“Saat ini, kami sedang menyusun pembaruan dari Peraturan Menteri Pertanian No 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia,” ujar Ratna.
Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Kementerian Perindustrian, Lila Harsyah, menyatakan bahwa terminologi ISPO hilir masih fleksibel.
Namun, kata Lila, prinsip dasarnya ISPO hilir tetap sama dengan di hulu yakni memastikan produk sawit olahan yang sampai ke tangan konsumen berasal dari sumber yang berkelanjutan.
Lila menyebutkan, saat ini Indonesia hanya mengekspor sekitar 10 persen dari CPO mentahnya, sedangkan selebihnya dalam bentuk produk olahan.
Oleh karena itu, kata Lila, menjaga ketelusuran (traceability) produk hilir menjadi sangat penting, mengingat pasar global kini semakin menuntut produk yang berkelanjutan.
“Sertifikasi ISPO hilir ini ibarat sertifikasi halal, memberikan jaminan tertulis kepada konsumen bahwa produk tersebut sudah berkelanjutan,” jelas Lila.
Menurut Lila, saat ini terdapat 190 jenis produk hilir sawit, namun tidak semuanya akan disertifikasi. Fokus akan diberikan pada produk yang memiliki volume besar dan potensi pasar tinggi.
Sertifikasi hilir akan memungkinkan pencantuman logo ISPO pada kemasan produk, sebagai penanda bahwa produk tersebut telah memenuhi prinsip keberlanjutan.
Kepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia, Edy Dwi Hartono, menyampaikan bahwa tingkat sertifikasi ISPO di kalangan petani rakyat masih sangat rendah.
“Saat ini baru sekitar 1 persen dari total 2,5 juta pekebun rakyat atau mencakup 6,9 juta hektare lahan yang tersertifikasi ISPO. Ini menjadi tugas bersama yang harus kita tingkatkan,” ujar Edy.
Menurut Edy, hal Ini memang tugas berat yang harus ditempuh agar mereka tidak terpinggirkan dalam industri sawit di masa mendatang. (yog)