Connect with us

Sport

Menyambut Kiprah Generasi Rally Point

Published

on

Catatan Piala Thomas 2020 Bambang Dwi

JAYAKARTA NEWS – Setelah melewati delapan putaran, Tim Pala Thomas Indonesia akhirnya berhasil melepaskan diri dari jerat “angka keramat”. Pada partai final yang berlangsung di Ceres Arena Aarhus Denmark, Anthony Sinisuka Ginting dan pasukannya berhasil meruntuhkan “Tembok China” dengan skor telak 3-0, sekaligus mengukuhkan diri sebagai juara yang ke -14 kalinya.

Tak pelak keberhasilan “Generasi Rally Point” ini langsung mendapat sambutan meriah para suporter Indonesia yang selama 3 jam lebih terus memompa semangat para pemain dengan  teriakan: “Indonesia… brak-brak… brak-brak… brak!!! Indonesia… brak-brak… brak-brak… brak!!!”.

Memang tak mudah memboyong kembali lambang supremasi bulutangkis beregu putra itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. PB PBSI sebagai induk organisasi, pelatih, para pakar dan klub-klub penunjang bulutangkis Indonesia, harus bekerja keras selama sepuluh tahun lebih guna membagun generasi baru, “Generasi Rally Point” yang kini mulai turun ke arena untuk menjaga prestasi butangkis Indonesia.

Bagi Indonesia, keberhasilan membawa kembali Piala Thomas tentu mempunyai arti tersendiri. Hal itu tak sekadar memperpanjang inskripsi yang terukir pada dinding piala berlapis emas setinggi 71 cm persembahan Sir George Alan Thomas.

Anthony Sinisuka Ginting, mengangkat trofi Thomas Cup. (foto: BWF)

Lebih dari itu. Keberhasilan memboyong kembali trofi yang tiap dua tahun sekali jadi rebutan berbagai negara di dunia itu juga makin menegaskan keberadaan Indonesia sebagai negara berprestasi. Layaklah kiranya bila prestasi itu disandingkan dengan negara-negara lain yang kampiun di cabang olahraga tertentu.

Karena itu tak berlebihan pula bila kita memberi acungan jempol pada PB PBSI, yang telah menunjukkan kemampuan dan konsistensinya melaksanakan pola pembinaan yang dikobarkan Wapres Try Sutrisno saat beliau didapuk sebagai Ketua Umum PB PBSI, tiga puluh tahun yang silam.

Hingga saat ini pola pembinaan berjenjang itu terbukti masih ampuh untuk menjaga prestasi cabang olah raga (cabor) bulutangkis di Indonesia. Meski kepengurusan secara berkala silih berganti, satu hal yang pasti sistem pembinaan yang tertuang dalam Pola Pembinaan Bulutangkis Nasional itu tetap berjalan on the right track.

Hasilnya, sejak cabor bulutangkis dipertandingkan di Olimpiade Barcelona 1992 hingga Olimpade 2021 di Tokyo, bulutangkis telah mempersembahkan 8 medali emas, 6 medali perak dan 7 medai Perunggu. Sedang dalam kejuaraan beregu, Indonesia membukukan 14 kali juara Piala Thomas, 3 juara Piala Uber dan sekali Piala Sudrman. Prestasi yang membanggakan.

Tim Thomas Cup 2002. (ist)

Indonesia terakhir kali memenangi perebutan piala Thomas pada th 2002 di Guangzhou, China. Kala itu skuad Merah Putih di sektor tunggal diperkuat oleh Hendrawan, Taufik Hidayat, dan Marleve Mainaki. Sedangkan di sektor ganda antara lain diperkuat pasangan Sigit Budiarto/Chandra Wijaya serta Trikus Heriyanto /Halim Haryanto. Melalui pertarungan sengit, Taufik Hidayat dan pasukannya berhasil melumpuhkan musuh bebuyutannya Malaysia 3-2. Ini merupakan rekor baru, dimana Indonesia berhasil menguasai Piaia Thomas lima kali berturut-turut.

Namun di balik kemenagan ini, muncul kekhawatiran di benak sang pelatih tunggal putra Agus Dwi Santoso. Menurut dia di balik kemenangan yang diraih dengan susah payah itu merupakan warning bagi para pemain Indonesia karena ke depan persaingan akan semakin berat.

Agus pun berharap agar semua lini di bawah PB PBSI harsu waspada. PB PBSI harus segera melakukan evaluasi menyeluruh mempersiapkan para pemain muda. Dan jajaran pelatih dan para pakar diharapkan bisa mengevaluasi pola latihan yang tepat agar para pemain bisa secepatnya beradaptasi dengan format skor yang ditetapkan WBF.

Kekhawatiran itu pun terbukti. Dua tahun kemudian, piala yang menjadi kebanggan bangsa Indonesia itu harus lepas dari genggaman. Kekalahan Tim Thomas Indonesia terasa sangat menyakitkan karena justru terjadi di hadapan riuhnya suporter yang memadati Istora Senayan. Apalagi Indonesia tersingkir sebelum mencapai partai puncak, setelah di semifinal dipecundangi Denmark dengan skor 2-3.

Peristiwa serupa juga terulang pada perebutan Piala Tomas 2012 di Wuhan, China. Tim Indonesia sudah terlempar dari arena di perempat final. Kali ini Tim Indonesia didepak Jepang dengan skor 2-3. Sementara itu China melanjutkan dominasinya setelah di final melumpuhkan Korsel 3-0.

Sejak tahun 2004 secara keseluruhan prestasi cabor bulutangkis Indonesia memang surut. Sekalipun secara individual pemain-pemain Indonesia masih disegani, tapi secara beregu belum bisa bangkit. Untung masih ada beberapa pemian andalan seperti Taufik Hidayat, Hendra Setiawan/Markis Kido, Liliyana Natsir/Tantowi Achmad yang masih mampu meraih medali emas di Oimpiade, sekaligus menjaga marwah cabor terpopuler di Indonesia itu.

Ketimpangan sektor tunggal dan ganda serta minimnya pemain muda yang kelak mampu menggantikan kedudukan seniornya seperti Taufik Hidayat, Hendrawan, Hendra/Markis Kido (alm) membuat kekuatan skuad tim Thomas Indonesia selalu pincang.

Susi Susanti – Alan Budikusuma mengawinkan emas pada Olimpiade Barcelona 1992. (foto: BWF)

Ada beberapa masalah yang ikut menggerogoti kedigdayaan perbulutangkisan Indonesia. Keberhasilan Indonesia menguasai dunia sepanjang dekade 1990-an yang ditandai dengan keberhasilan Susi Susanti dan Allan Budi Kusuma mendulang dua medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, telah mengantarkan Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang berhasil merebut madali emas di Pesta Olahraga terakbar sejagad itu.

Memudian disambung lagi dengan keberhasilan Indonesia mengawinkan Piala Thomas dan Uber di Jakarta tahun 1994 serta mempertahankannya tahun 1996 di Hong Kong. Munculnya para pemain sekelas Ardy B Wiranata, Hermawan Susanto, Joko Supriyanto, Sarwendah, Mia Audina, Rexy/Ricky, Chanda/ Tonny Gunawant dan para pemain lain yang kualitasnya setara, mebuat bulutangkis Indonesia terus melambung.

Hal inilah yang barangkali membuat PB PBSI lengah. Regenarasi yang menjadi tulang punggung kekuatan Indonesia mulai terabaikan. Akibatnya kualitas para pemain muda yang dipasok ke Pelatnas tak sehebat ketika Kabid Pembinan PB PBSI MF Siregar menyiapkan para pemain muda yang diproyeksikan ke Oimpiade 1992, dimana bulutangkis akan dipertandingkan untuk pertama kalinya.

Selain itu perubahan format skor yang ditetapkan BWF sebagai induk organisasi bulutangkis dunia juga ikut menambah runyam para pemain dan pelatih. Menurut BWF durasi pertandingan yang cenderung lama, membuat permainan bulutagkis membosankan, monoton, kurang atraktif sehingga kehilangan greget.

BWF khawatir bila hal itu didiamkan maka bulatangkis akan kehilangan daya tariknya sehingga tak bisa berkembang dan tak memiliki daya jual. Apalagi komite Olimpiade sempat rasan-rasan akan mendegradasi bulutangkis dari cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade.

Karena itu BWF kemudian berupaya mencari format yang tepat agar permainan bulutangkis jadi lebih seru dan mampu menggerakkan para sponsor untuk mengucurkan dana. Salah satu terobosan BWF adalah mengubah format skor pertandingan dan meninggalkan klasik yang dianggap sudah puluhan tahun digunakan.

Setelah beberapa kali dilakukan ujicoba dan perubahan, akhirnya pada 20 Mei 2006 BWF menetapkan format yang digunakan dalam perebutan Paiala Thomas dan Uber adalah sistem rally point dengan skor 3 x 21.

Format ini tak mengenal pindah bola. Jika pemain mencapai angka 20 -20, maka akan terjadi duece. Pemain yang lebih dulu unggul dua angka dinyatakan memenangi game tersebut. Jika terjadi skor 1-1, maka dilakukan rubber set. Format ini berlaku sama, baik di nomor putra maupun putri dan di semua nomor.

Walhasil memang permainan mejadi lebih hidup dan menarik. Semua unsur yang ada dalam unsur bulutangkis terpenuhi. Selain masalah teknik, fisik dan strategi, unsur tontonan yang cukup atraktif juga tersaji dalam setiap pertandingan.

Namun sisi lain tak sedikit pula negara yang merasa dirugikan. Dampak dari perubahan sistem scoring tadi, banyak para pemain yang tak bisa serta merta beradaptasi dengan format rally point. Pola permainan rally point tentunya sangat berbeda format klasik yang sudah mendarah daging.

Dalam format ini, masalah mental, konsentrasi, kecermatan, fisik, teknik, strategi, kecepatan, keberanian berspekulasi masuk menjadi satu komponen yang harus mampu dikuasai dan diperagakan sepanjang pertandingan.

Tak heran bila pada periode transisi tersebut bayak pemain muda yang mati pucuk atau layu sebelum berkembang. Terutama bagi para pemain tunggal. Sementara itu untuk pemain ganda, mereka lebih cepat beradaptasi dengan tranformasi menuju format rally point. Mereka setidaknya sudah terbiasa dengan pola dasar permainan positif untuk meraih angka demi angka.

Setelah lebih sepuluh tahun berlalu, barulah Indonesia bisa mulai bangkit. Generasi rally point yang digodog di Pelatnas mulai bisa ikut bicara di event-event internasional. Munculnya nama Kevin Sanjaya/Markus Gideon, Fajar Alfian/Mohamad Riyan Ardiyanto, Jonathan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, Caesar Hiren Rhustavito mulai menjadi pujaan sekaligus tumpuan harapan.

Meskipun pada perebutakan piala Thomas 2016 di Kunshan, China dan perebutan piala Thomas 2018 di Bangkok, skuad Merah Putih belum mampu membawa pulang Piala Thomas. Di kejuaraan-kejuaraan internasional prestasi para pemain Generasi Rally Point Indonesia mulai diperhitungkan dan sesekali sempat membuat kejutan.

Greysia Polii/Apriyani Rahayu

Peringkat para pemain pun setangga demi setangga terus merangkak naik. Prestasi Jonathan Christie meraih medali emas di Asian Games 2018, keberhasilan Greysia Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas dan Anthony Ginting meraih perunggu di Olimpiade Tokyo 2020, telah memicu asa “generasi rally point” untuk menjangkau prestasi lebih tinggi.

Di sisi lain keberhasilan para pemain ganda Kevin Sanjaya/Markus Gideon, Hendra/Aksan dan Fajar/Riyan menguasai ranking dunia dan keberhasilan Caesar Hiren Rhustavito menerobos peringkat 20 dunia tunggal putra, membuat asa para pelatih, official dan PB PBSI semakin optimistis.

Melihat masifnya peringkat dunia yang disandang para pemain Indonesia, maka BWF pun tak ragu menempatkan tim Thomas Indonesia sebagai unggulan pertama dalam perebutan Piala Thomas 2020 yang digelar di Aarhus Denmark yang berlangsung tanggal 9–17 October 2021.

Tantangan BWF itu dijawab dengan sempurna. Setelah melewati fase perebutan juara grup yang sangat melelahkan, di perempatfinal skuad Merah Putih mematahkan harapan Malaysia. Selanjutnya di semifinal Indonesia lolos dari hadangan tuan rumah Denmark dengan skor 3-1. Dan di final mematahkan dominasi China dengan skor telak 3-0. Sebuah perjuangan yang luar biasa.

Masih terbayang di mata, setelah bertarung selama 1 jam 22 menit, smash menyilang Jonathan Christie tak bisa dikembalikan secara sempurna oleh tunggal kedua China, Li Shi Feng. Seketika para pemain, pelatih dan ofisial Indonesia menghambur ke lapangan. Mereka berpelukan, berjingkrak-jingkrak meluapkan emosi kebahagiaan dan kegembiraan.

Piala Thomas berhasil kembali diboyong ke  pangkuan Ibu Pertiwi. Ironisnya, pada saat para pejuang kita berderet di atas podium dengan sikap sempurna sambil menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, tak ada kibaran sang saka Merah Putih di Ceres Arena.

Larangan pengibaran bendera Merah Putih di event olahraga internasional itu menyusul sanksi yang diberikan WADA karena Indonesia dinilai tidak mematuhi program test doping plan (TDP). WADA (World Anti-Doping Agency) adalah Badan Antidoping Dunia, sebuah badan yang dibentuk atas prakarsa Komite Olimpiade Internasional pada 10 November 1999 di Lausanne, Swiss untuk memerangi penggunaan obat-obatan terlarang dalam olahraga. 

Sementara itu seorang anak kecil dengan kepala berbalut pita merah terus memekikkan yel yel kemenangan. “Indonesia, Idonesia, Indonesia”. Mungkin ia tak begitu menghiraukan “kejanggalan” perayaan kemenangan besar tanpa kibaran merah putih.

Khusus soal pengibaran merah putih, saya jadi ingat sejarah 57 tahun silam. Saat itu, Presiden Sukarno pernah memberikan apresiasi yang sangat luar biasa pada keberhasilan Tim Thomas Indonesia.

Pada tanggal 23 Mei 1964, tepat sehari setelah Tim Thomas Indonesia mengalahkan Denmark (5-4) di laga final Thomas Cup Tokyo Jepang, Presiden Soekarno memerintahkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih sehari penuh. Tim Thomas Indonesia 1964 terdiri atas Ferry Sonneville (playing captain), Tan Joe Hok, Eddy Jusuf, Ang Tjing Siang, Tan King Gwan, Unang, Tutang, Wok Pek Shen, dan Liem Tjeng Kiang.

Sungguh penghargaan yang luar biasa bagi dunia olahraga Indonesia. (*)

  • Bambang Dwi, adalah wartawan bulutangkis senior
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *