Feature
Malaikat atau Pengkhianat: Kisah Ashraf Marwan dan Bayangan Perang Abadi

Kabut pagi masih menyelimuti London ketika suara benturan keras mengagetkan warga Carlton House Terrace. Seorang pria berkulit sawo matang dengan setelan jas mewah terbujur tak bernyawa di trotoar. Tak seorang pun menyangka, pria itu adalah Ashraf Marwan – mantan menantu Presiden Mesir Gamal Abd. Nasser, diplomat ulung, dan mata-mata paling kontroversial dalam sejarah Timur Tengah. Kematiannya yang misterius menjadi penutup dramatis bagi kehidupan seorang lelaki yang selama puluhan tahun bermain dengan api di antara dua dunia yang saling bermusuhan.
Dua Wajah Sang Malaikat
Di balik senyum ramahnya sebagai anggota elite Mesir, Marwan menyimpan rahasia besar. Film The Angel (2018) menggambarkan dengan apik bagaimana ia berlari di lorong-lorong gelap Kairo, dokumen rahasia tergenggam erat di tangan. Adegan itu menjadi metafora sempurna untuk kehidupan gandanya – seorang diplomat terhormat di siang hari, mata-mata misterius di malam hari.
Uri Bar-Joseph dalam bukunya The Angel: The Egyptian Spy Who Saved Israel bersikukuh bahwa Marwan adalah aset terpenting Mossad. Dialah yang memberikan peringatan dini tentang serangan Mesir-Suriah dalam Perang Yom Kippur 1973, meski peringatan itu sempat diabaikan oleh Perdana Menteri Israel Golda Meir. Tanpa informasi dari Marwan, Israel mungkin sudah jatuh ke tangan musuh.
Namun Ahron Bregman membalik narasi ini dalam The Spy Who Fell to Earth. Menurutnya, Marwan adalah agen ganda yang sengaja menipu Israel dengan informasi setengah benar. Ia bagian dari skenario besar Anwar Sadat untuk membuat Israel lengah. Kematiannya di London, tegas Bregman, adalah pembalasan dendam Mossad atas pengkhianatan itu.

Permainan Catur Intelejen
Di Markas Mossad, Oktober 1973, suasana tegang menyelimuti ruang operasi. Pesan dari Marwan, yang mereka beri kode nama “The Angel”, tiba dengan tergesa-gesa: “Perang akan dimulai 6 Oktober, hari Yom Kippur.”
Tapi ada yang mengganjal. Informasi itu terlalu umum. Tidak ada rincian tentang titik serangan, kekuatan pasukan, atau strategi tempur.
“Apakah ini jebakan?” tanya seorang analis muda.
“Ataukah dia sedang diincar musuh sehingga tidak bisa memberikan informasi lengkap?” sahut yang lain.
Pertanyaan itu terus menggantung hingga puluhan tahun kemudian, ketika dokumen rahasia Mesir bocor ke publik. Ternyata, Anwar Sadat memang sengaja memanipulasi arus informasi.
Kematian yang Dirancang Sempurna
London, musim panas 2007. Marwan yang sudah pensiun hidup tenang sebagai pengusaha sukses. Tapi ketenangan itu buyar ketika ia mulai menulis memoar.
“Saya tahu terlalu banyak,” bisiknya kepada seorang jurnalis minggu sebelum kematiannya.
Lalu, di suatu pagi yang kelabu, tubuhnya ditemukan di bawah balkon apartemen mewahnya. Apakah ini bunuh diri karena tekanan hidup sebagai buronan? Atau pembunuhan profesional yang dirancang untuk membungkamnya selamanya?
Warisan yang Terbelah
Kisah Marwan menjadi cermin retak konflik Timur Tengah. Di Israel, sebagian menganggapnya pahlawan, sementara yang lain menyebutnya pengkhianat. Di Mesir, namanya dihapus dari buku sejarah resmi.
Sementara itu, perdamaian di Timur Tengah tetap menjadi mimpi yang tak kunjung terwujud. Israel masih bergantung pada intelijen untuk menghadapi ancaman Hamas dan Iran. Palestina terjepit dalam permainan politik global.
“Dalam dunia mata-mata,” kata seorang veteran Mossad yang enggan disebutkan namanya, “kebenaran sering kali menjadi korban pertama yang tak pernah mendapat penguburan layak.”
Dan Marwan? Ia telah pergi membawa semua rahasianya. Seperti perdamaian di Timur Tengah, kebenaran tentang dirinya mungkin akan selamanya menjadi misteri yang terkubur dalam-dalam. (smi••)