Feature
“Diancam” Anak, Doni Monardo Menyerah
Berstatus Penyintas, Doni Donor Plasma Konvalesen
JAYAKARTA NEWS – Membuktikan satunya kata dan perbuatan, hari Senin (1/3/2021), Kepala BNPB-Ketua Satgas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo melakukan donor darah plasma konvalesen. Untuk mendonorkan darahnya, Doni mendatangi markas PMI di Jl Kramat, Jakarta Pusat.
Jika dirunut perjalanan panjang Doni memimpin “perang” melawan pandemi Covid-19, tibalah pada saat di mana persoalan sulitnya beroleh plasma konvalesen dari para penyintas. Sementara penelitian ilmiah menunjukkan, plasma darah penyintas infeksi Covid-19 yang disebut plasma konvalesen, sangat bermanfaat bagi proses kesembuhan pasien Covid-19 yang masih dalam masa perawatan.
Hari berganti hari, perang melawan corona terus berkobar. Pepatah menyebutkan, “mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”, Doni pun terpapar corona. Tepat hari Sabtu (23/1/2021) ia mengumumkan dirinya positif tertular virus corona. Kejadian itu menyusul aktivitas padat dalam sepekan terakhir memimpin penanggulangan bencana gempa bumi Sulawesi Barat dan banjir Kalimantan Selatan.
Setelah menjalani isolasi mandiri tak kurang selama 20 hari lamanya, “panglima Covid-19” itu pun akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Doni menjalani tes PCR pada hari Jumat tanggal 12 Februari 2021 siang.
“Alhamdulillah. Saya bersyukur kepada Allah SWT atas hasil negatif covid ini. Saya mengucapkan terima kasih, pertama-tama kepada keluarga. Istri, anak-anak, menantu serta cucu, adalah motivator terbaik saya sehingga tetap bersemangat menjalani isolasi mandiri mengenyahkan virus corona dari tubuh saya,” ujar Doni sebagaimana disampaikan Egy Massadiah, Tenaga Ahli BNPB – Satgas Covid 19, Jumat (12 Februari 2021) kepada wartawan.
Berikutnya, Doni juga berterima kasih kepada dokter di rumah sakit, tim dokter Satgas Covid-19 dan BNPB atas segala dukungan dan perhatian yang telah diberikan. “Termasuk doa kawan-kawan, doa dari masyarakat demi kesembuhan saya,” tambah Doni.
Tak lupa, Egy menambahkan, setelah dinyatakan negatif, mantan Danjen Kopassus itu resmi menyandang predikat ‘penyintas Covid-19’, dan karenanya ia siap menyumbangkan plasma konvalesen.
Tanpa diingatkan siapa pun, Doni ingat hal itu. Hari Jumat (26/2/2021) lalu, Doni berkonsultasi dengan tim dokter Palang Merah Indonesia (PMI). Saat berkonsultasi dengan tim PMI, Doni sempat diambil darahnya sebagai sampel.
Sebelum diambil darah, seorang petugas PMI yang lain, melakukan serangkaian wawancara. Di sinilah satu kisah terungkap. Kisah Doni Monardo “diancam” anaknya sendiri.
Begini duduk soalnya. Hari ketiga sejak terpapar Covid, suhu badannya naik. Doni bahkan tidak bisa lagi memegang handphone. Anda tahu? Saturasi oksigen Doni Monardo di angka 78. Sementara, normalnya pada kisaran 95 – 100 persen.
Mendengar Doni menyebut angka itu, para dokter PMI semua terperangah. Sebab, itu kondisi yang buruk, dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Sementara, Doni melanjutkan cerita bagaimana ia ngotot tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Bujukan dokter-dokter Satgas Covid-19 maupun BNPB, tidak mempan. Bahkan, Doni pun bersikukuh tidak mau dibawa ke rumah sakit, manakala Santi, sang istri membujuknya tak henti-henti.
“Saya kalau di rumah sakit, pasti tambah stres. Makanya, saya tidak mau dirawat di rumah sakit,” ujar Doni, disusul tawanya.
“Ancaman” si Sulung
Alkisah, lepas maghrib, putri sulungnya, Azzianti Riani Monardo datang bersama suaminya, Kapten (Inf) Mochammad Arief Wibisono. Pasangan ini telah dikaruniai dua anak: Arfazza Wimeka Wibisono lahir pada 3 Juni 2018 dan Azzahra Rania Wibisono yang lahir 17 Juli 2020. Semua orang dekatnya tahu, Doni sangat dekat dengan cucunya.
Anak dan menantu yang tinggal di Cijantung, Jakarta Timur, malam itu datang dan langsung menebar “ancaman” serta “ultimatum” kepada sang ayah. Intinya, “Ayah harus ke rumah sakit,” ujar Anti, disusul berondongan kalimat berikut, “kalau ayah tidak mau ke rumah sakit, Anti mau tidur di depan pintu ayah.”
Tidak cukup dengan itu, Anti, sapaan akrab putri sulung Doni, mendadak menyudutkan sang ayah pada posisi sulit mengelak. “Pasien Covid-19 dengan tingkat paparan ringan, boleh isolasi mandiri di rumah. Tapi, bagi yang stadium sedang sampai berat, harus dirawat di rumah sakit. Kan ayah yang ngomong begitu. Sedangkan kondisi ayah tidak pada stadium rendah, jadi harus ke rumah sakit,” kata Anti, fasih.
Kali ini Doni Monardo benar-benar menyerah. Bahkan, sekadar menawar untuk ke rumah sakit besok pagi-pagi saja, tidak bisa. Harus malam itu juga. Dua rumah sakit bahkan sudah siap merawat Doni Monardo: RSPAD dan RS Pondok Indah.
Jarum jam menunjuk pukul 22.40 WIB saat Doni Monardo berangkat menuju RS Pondok Indah. Pertimbangan Doni memilih RS Pondok Indah, lebih karena pertimbangan jarak yang relatif dekat dari kediamannya di bilangan Serpong.
Tiba di rumah sakit pukul 23.20, langsung dilakukan pemeriksaan intensif dan wawancara. “Masuk kamar perawatan persisnya tanggal 26 Januari 2021 pukul 00.01,” ujar Doni.
Hasil pantauan medis, nilai Ct (Cycle threshold) terburuk Doni Monardo ada di angka 18, berangsur membaik ke angka 25, 28, lalu tanggal 8 Februari 2021 nilai Ct sudah di angka 36,5. Itu artinya sudah tidak menular. Tepat tanggal 12 Februari 2021 Doni Monardo sudah negatif.
“Saya dirawat di rumah sakit hanya empat hari, tanggal 26 sampai 29 Januari. Setelah itu perawatan isolasi mandiri di hotel. Kenapa saya memilih di hotel, ini juga pertimbangan karena ada cucu di rumah,” kata Doni sambil tersenyum.
Dua kali pemeriksaan berikutnya, tanggal 19 Februari, hasilnya negatif. Lalu diperiksa lagi tanggal 23 Februari, hasilnya pun negatif. Doni langsung tancap gas, beraktivitas.
Dua hal yang sempat hilang dari kebiasaan Doni Monardo saat terpapar Covid-19. Yang pertama adalah rutinitas olahraga pagi. Kedua, membalas semua pesan yang masuk melalui handphone-nya. “Beberapa hari tidak bisa pegang HP, wah…. ribuan pesan tak terbalas,” ujar Doni, yang punya kebiasaan membalas semua pesan masuk sebelum beranjak tidur dinihari.
Tapi tunggu dulu…. Doni rupanya mencium ada “skenario” yang dimainkan orang-orang terdekatnya, sampai akhirnya putri sulung dan menantunya datang ke rumah, dan membujuknya “disertai ancaman tidur di depan pintu”, jika Doni tetap menolak dibawa ke rumah sakit.
“Saya mengira, ini pasti rekayasa Prof Wiku, dokter Tugas, pak Egy…. Mereka gak mempan membujuk saya ke rumah sakit, lantas mengatur skenario memakai anak saya,” kata Doni disusul tawa lebarnya.
Sudahlah…. Hari-hari itu toh telah berhasil dilalui Doni Monardo. “Dan saat dirinya kemudian berpredikat penyintas, langsung minta staf untuk mengatur mekanisme donor plasma konvalesen,” ujar Egy.
Dokter Linda Lukitari Ketua Bidang Pelayanan Darah Palang Merah Indonesia (PMI), yang mendampingi Doni saat donor plasma menyampaikan ihwal 15 kriteria inkluasi donor plasma konvalesen. Antara lain, berusia antara 18 sampai 60 tahun. Berat badan minimal 55 kg.
Doni Monardo tampak santai saat mendonorkan plasma konvalesen. Maklum, “ritual” donor darah bagi Doni bukan hal baru. Ia sudah menjadi pendonor darah sejak masih perwira muda.
Bahkan di mana pun ia bertugas, utamanya pada posisi panglima atau pemegang tongkat komando, Doni Monardo pasti mengadakan kegiatan donor darah. Semua prajurit yang memenuhi syarat, diwajibkan ikut aksi kemanusiaan itu. (roso daras)