Connect with us

Kabar

Soal Putusan MK, Denny Indrayana Tegaskan tak Bocorkan Rahasia Negara

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Pakar Hukum Tata Negara yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Denny Indrayana membantah isu bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara Nomor: 114/PUU-XX/2022 terkait gugatan terhadap sistem proporsional terbuka pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ia menegaskan informasi yang ia peroleh soal putusan MK bukanlah membocorkan rahasia negara, melainkan mendapat pengakuan seorang yang disebutnya sebagai sumber kredibel bahwa nantinya ada enam hakim Mahkamah Konstitusi yang akan mengabulkan uji materi (judicial review) UU Pemilu tentang diterapkannya kembali sistem proporsional daftar calon legislatif (caleg) tertutup, sementara tiga hakim konstitusi lainnya akan menyampaikan dissenting opinion.

“Jadi hari ini tadi saya lebih tegaskan lagi, bahwa sumber yang saya dapat bukan dari MK. Karena itu tidak ada pembocoran rahasia negara. Kalau bocornya dari MK, maka ada pembocoran rahasia negara. Tetapi karena informan saya bukan dari MK, maka tidak ada pembocoran rahasia negara,” tegas Denny saat menjadi narasumber dalam diskusi Forum Legislasi bertema ‘Mencermati Putusan MK: Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK dan Bocoran Sistem Pemilu’ di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Lebih jauh, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada ini menegaskan dirinya memilih frasa ‘mendapatkan informasi’ dan bukan ‘mendapatkan bocoran’. Ia juga mengklaim bahwa dalam cuitannya di media sosial, ia menulis ‘MK akan memutuskan’, bukannya ‘belum memutuskan’.

“Jadi tidak ada pembocoran rahasia negara dalam pesan yang saya sampaikan kepada publik. Bahwa rahasia putusan MK tentu ada di lembaga tersebut, sementara informasi yang saya peroleh bukan dari lingkungan MK, bukan dari hakim konstitusi maupun elemen lain di MK. Ini perlu saya tegaskan, supaya tidak ada langkah mubazir melakukan pemeriksaan di lingkungan MK, padahal informasi yang saya dapat bukan dari pihak-pihak di MK,” terangnya.

Denny juga menyinggung cuitan Menkopolhukam Mahfud MD atas informasi yang ia tulis di akun medsosnya yang menggunakan frasa ‘info A1’. Ditegaskan kalau ia tidak menggunakan istilah ‘informasi dari A1’ karena frasa tersebut mengandung makna informasi rahasia yang sering dari intelijen.

“Saya juga sudah sampaikan ke pak Mahfud soal itu. Jadi saya menggunakan frasa informasi dari ‘orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya,” sebut dia sembari berharapan agar putusan MK tidak mengembalikan sistem pemilihan caleg menjadi proporsional tertutup.

Terakhir, Denny menegaskan bahwa pilihan sistem pemilu legislatif bukan wewenang proses persidangan di MK, melainkan ranah proses legislasi di parlemen.

“Supaya juga putusan yang berpotensi mengubah sistem pemilu di tengah jalan itu tidak menimbulkan kekacauan persiapan pemilu,” pungkas Denny Indrayana.

Bukan Pembocoran Rahasia Negara

Senada, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpendapat informasi yang disampaikan Denny Indrayana bukanlah pembocoran rahasia negara. Terkait sudah adanya sikap hakim MK yaitu 6 hakim konstitusi mengabulkan dan 3 hakim lainnya memilih dissenting opinion atas permohonan uji materi UU Pemilu terkait sistem pemilihan daftar caleg proporsional tertutup.

“Putusan MK soal pemilu dengan proporsional tertutup, bagaiamana disebut bocor? Kalau belum ada rapat pimpinan hakim (RPH), belum ada pengajuan dan apalagi belum ada keputusan. Lalu apa yang bocor, ibarat gak ada hujan kok bocor? Jadi gak ada itu kebocoran,” tegas Margarito.

Soal kemungkinan adanya pidana terhadap Denny Indrayana karena dianggap membocorkan rahasia negara, menurut Margarito, kalaupun putusan MK bocor maka tidak bisa dipidana.

“Kenapa? Ya karena memang belum ada keputusan, lalu apa yang dibocorkan. Wong hakimnya saja belum ada rapat, belum ada musyawarah,” tegasnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburrokhman mengatakan idealnya lembaga penegak hukum itu independen. Tapi, dari dulu dan sekarang sama saja.

“Tapi, untuk kebocoran rahasia negara ini memang bisa dipidana pasal 112 – 115 KUHP, namun ini terkait dengan kejahatan pertahanan dan keamanan negara. Tapi, kalau kasus pemilu ini tidak memenuhi unsur kejahatan pertahanan keamanan negara itu,” jelasnya.

Anggota Komisi III DPR lainnya dari Fraksi Partai Golkar, Supriansyah juga menegaskan jika sebelumnya Denny Indrayana mengatakan ‘bocoran’ lalu diralat menjadi ‘mendapat informasi’.

“Jadi Prof. Denny sudah menyampaikan bahwa ini sebenarnya bukan bocoran tetapi beliau ‘mendapatkan informasi’. Dan beliau menyampaikan informasi tidak berarti dari dalam MK, tetapi ada orang yang beliau mungkin percaya sehingga keluarnya di publik. Kita semua termasuk saya sebagai pihak yang pro terhadap sistem proporsional terbuka, tentu kaget,” ungkapnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, M. Rizqi Azmi mengatakan dengan ralat yang disampaikan Denny Indrayana persoalan menjadi klir bahwa informasi itu bukanlah soal pembocoran rahasia negara.

“Dalam konteks terbuka dan tertutup memang Bang Denny menjadi sebuah pendobrak. Saya pikir dia mendobrak ini mumpung belum lewat. Kalau KPK kemarin sudah kelewatan, jadi mumpung belum kelewat dicoba,” ucap Rizqi seraya mengatakan bahwa pernyataan Denny Indrayana tersebut harus didengar juga oleh hakim MK, sehingga mudah-mudahan hati nuraniparahakim kontitusi bisa terbuka, dalam keadaan yang sempit dan karut marut.***ebn

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *