Profil

Retno: Kekerasan di Dunia Pendidikan Semakin Masif

Published

on

Kekerasan yang terjadi dunia pendidikan yang dirasakannya semakin masif. Di sisi lain, penanganan hak-hak anak masih mengecewakan. Itulah antara lain yang mendorong Retno Listyarti maju dalam seleksi calon Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2017-2022.

“Ada beberapa kekecewaan dalam hati saya tentang penanganan hak-hak anak selama ini. Jadi saya pikir, mungkin memang harusnya masuk ke sana (KPAI) kalau ingin melakukan pembenahan, perbaikan untuk perlindungan anak. Itu alasan saya,” ungkap Retno yang masuk dalam 18 besar calon Komisoner KPAI.

Retno yang juga Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengaku sebagai PNS dia telah mendapat izin atasnya untuk berkiprah di KPAI. Jika  terpilih, ungkapnya, selain cuti PNS selama lima tahun, dia juga akan melepas jabatannya sebagai Sekjen FSGI. “Jadi saya tidak kehilangan PNS saya, tapi cuti lima tahun. Dengan begitu saya full di KPAI,” kata penerima penghargaan Tokoh Pendidikan 2007 dan penghargaan Toray Foundation Jepang bidang Sains tahun 2004.

Retno sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh pendidikan yang kritis dan tak segan menentang kebijakan pendidikan jika menurutnya tidak sesuai, sekalipun statusnya sebagai PNS. Kekritisannya itu juga membuatnya harus berhadapan dengan insitusinya sendiri yakni Pemda DKI Jakarta, baik pada era Gubernur Jakarta Fauzi Bowo maupun pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sempat memecatnya dari jabatan kepala sekolah.

Namun Retno tak tinggal diam, ia pun melakukan perlawanan dengan menggugat hal tersebut ke PTUN dan menang. Bahkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung  pun Retno berhasil memenangkan perkaranya. Kini ia sudah berdamai dengan Pemda DKI Jakarta yang bahkan mengizinkannya untuk berkiprah di KPAI jika nantinya terpilih.

Terkait dengan perlindungan anak, ibu tiga anak ini memaparkan bahwa dirinya memiliki perhatian terhadap kekerasan yang terjadi dunia pendidikan yang dirasakannya semakin masif. “Yang menjadi korban dan pelaku adalah anak. Juga ada kekerasan yang dilakukan guru kepada siswa, siswa senior terhadap siswa junior, dll. Kejadian-kejadian ini sungguh memprihatinkan saya. Dan saya merasa kekerasan itu menjadi semakin parah dari tahun ke tahun, ini sungguh memprihatinkan,” papar peraih penghargaan Islamic Educator Award  2013, ini.

Atas berbagai kejadian itu, dia berpikir, jika dirinya hanya berada pada satu sekolah, akan sulit sekali membuat sebuah perubahan, membuat kebijakan ataupun menjamin hak-hak anak-anak untuk tidak mengalami kekerasan. “Atas dasar itu, saya pikir, mungkin jika di KPAI saya menjadi bisa lebih mempunyai kewenangan dan lebih luas jangkauannya untuk melakukan perlindungan dan menjamin hak-hak anak Indonesia terpenuhi,” kata penulis sejumlah buku pendidikan ini.

Di sisi lain, katanya, dia juga mengamati kinerja KPAI periode ini yang dirasakannya masih mengecewakan. Salah satu contohnya adalah kasus nilai Nol di SMA 4 Bandung, Jawa Barat. “Sungguh mengecewakan karena sebelumnya korban melaporkan permasalahan tersebut pada kami (FSGI). Tadinya berharap KPAI bisa menyelesaikan permasalahan tersebut namun yang terjadi justru jauh dari harapan.”

“Untungnya kasus ini bisa selesai setelah pihak inspektorat membantu. Inspektorat bisa menyelesaikan karena rupanya yang bersangkutan juga pernah mengalami kasus serupa terhadap anaknya yang sekolah di Garut, Jawa Barat. Karenanya dia bisa lebih sensitif terhadap masalah ini. Akhirnya korban (siswa tersebut)  bisa memperoleh rehabilitasi dan memperoleh hak-haknya,” papar Retno.

Permasalahan lainnya yang juga diungkap Retno adalah  tentang cyber bullying yang belakangan ini semakin dahsyat. Dia berharap KPAI lebih aktif pada  sistem pengaduan cyber bullying online sehingga para pelapor tidak harus datang ke kantor KPAI, tapi cukup melapor via online. “Karena kan kalau korban jauh dari Jakarta, di Papua misalnya, kan kasihan kalau harus jauh-jauh datang ke Jakarta. Pengaduan secara online juga membutuhkan respon dan penanganan yang cepat,” katanya.

Menurut Retno ada banyak hal yang ingin dilakukannya terkait perlindungan anak. Dia berharap jika terpilih menjadi komisioner, dirinya akan mendapat tim kerja yang reformis dan idealis yang bisa bekerja sama sesuai harapan masyarakat.

“Yang pertama harus diketahui bahwa KPAI bukan lah hanya milik Jakarta tapi milik semua anak Indonesia. Saya juga berharap nantinya tidak ada pilih-pilih kasus, misalnya kalau anak artis atau orang terkenal lebih diprioritaskan. Status semua anak adalah sama, anak siapa pun dia, harus menjadi prioritas penanganan, harus segera dibantu. Jadi tidak memilih-milih, siapa yang dibantu, siapa yang tidak,” katanya.***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version