Profil

Wawancara Jayakartanews dengan Roso Daras (1)

Published

on

Roso Daras bersama Puti Guntur Soekarno saat menjadi narasumber acara Mata Najwa. Foto: Ist

Sukarno Orang Besar, Saya hanya Penafsir Ajarannya

HAMPIR dua dasawarsa, Roso Daras intens menulis buku-buku tentang figur Sukarno, Presiden RI pertama. Belasan judul telah terbit dan sempat best seller. Semuanya ditulis di era reformasi. Itu karena nama Sukarno harus dilupakan di masa Orde Baru (1967-1998). Kiprah Sukarno dalam pergerakan kebangsaan hingga revolusi kemerdekaan Indonesia  -yang memperkaya kitab khasanah sejarah-  disingkirkan dari seluruh perpustakaan di Indonesia.

Buku-buku Sukarno diberangus selama 32 tahun. Akibatnya, sejarah nasionalisme terpenggal. Satu generasi yang tumbuh tercerabut dari akar perjuangan bangsanya, sehingga tidak memahami ideologi negaranya, serta Indonesia yang prural dengan semboyan bhinneka tunggal ika.

Dengan tulisan-tulisannya tentang Sukarno, Roso Daras merentangkan jembatan atas sejarah yang terpenggal tadi. Dia mengais kisah-kisah yang berserak dan tercecer yang digali dari orang-orang dekat Sukarno dan yang pernah mengenal dekat Sukarno. Bahkan dia membuat tafsir buku besar Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi. Ini sebagai panduan bagi generasi mendatang untuk memahami ajaran Sukarno; nasionalisme. Itulah harapannya.

Berikut  wawancara  Jayakartanews dengan Roso  Daras :

Apa passion Anda sehingga lebih dari 17 tahun menulis buku-buku tentang Sukarno?

Jujur saya akui, saya memang mengidolakan figur Sukarno, yang terbaca dari  seluruh biografinya sejak dia kecil hingga meninggalnya. Kalau diambil saripatinya ya ideologinya, Sukarnoisme, nasionalisme. Pengejawantahannya adalah Pancasila. Bahwa awalnya ada marhaenisme, islamisme, lalu sosialisme Indonesia, itu adalah suatu bentuk pengembaraan pemikiran seorang Sukarno.

Mengapa  begitu intens pada figur Sukarno

Roso Daras dan Puti Guntur Soekarno di Kokushikan University, Tokyo. Foto: Ist

Memang, jarang penulis yang begitu konsisten dalam waktu yang lama menggeluti satu topik, terlepas itu tentang Sukarno atau siapa pun dan apa pun. Saya tertarik Sukarno, karena Sukarno seperti rimba belantara yang selalu menantang untuk dieksplor, dan saya yakin tak akan habis. Itu alasannya, menantang!

Di masa Orde Baru (1967-1998), nama Sukarno dilupakan. Semua buku karya Sukarno dilarang dipajang di perpustakaan mana pun. Sejarah tentang perjuangan bangsa (nasionalisme) jadi terpenggal, sehingga generasi berikutnya kurang memahami ke-Indonesiaan tanah airnya sendiri. Maka seorang sejarawan mengatakan, (untuk) mengenal Indonesia harus mengenal Sukarno. Bagaimana pendapat Anda?

Saya setuju, tapi harus diperjelas. Sukarno adalah personifikasi dari “sejarah panjang” menjadi Indonesia. Karena sejak zaman prakemerdekaan dari bermacam kegiatan seperti serikat dagang, partai politik, perkumpulan pemuda, hingga berpuncak pada Sumpah Pemuda dan klimaksnya proklamasi kemerdekaan, mengerucut pada satu nama yakni Sukarno.

Tokoh yang beredar memang berbeda-beda. Misalnya Sumpah Pemuda kita kenal tokoh Tiga Serangkai, BPUPKI ada Dr Radjiman Wedyodiningrat, lalu PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) – diketuai Sukarno, dan ketika proklamasi semua secara aklamasi menunjuk Sukarno. Artinya, semua pemikiran terakumulasi pada sosok sentral Sukarno. Ya orangnya, ya gagasannya.

Apakah itu bisa dikatakan bahwa “Indonesia ya Sukarno”. Orang asing sering menyebut,   Indonesia? Oh Sukarno”. Artinya di mata dunia pun Indonesia identik dengan Sukarno.

Di era Sukarno ada dua hal penting terjadi dalam perjalanan NKRI. Pertama terbentuknya landasan ideologi yakni Pancasila yang notabene digali oleh Sukarno yang kemudian dikumandangkan dalam pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 ditetapkansebagai hari lahirnya Pancasila. Kedua, landasan konsitusional yakni UUD 1945 yang dirumuskan oleh para founding father kita. Di situlah Sukarno terlibat detik demi detik dari seluruh rangkaian peristiwa yang sangat bersejarah. Jadi tidak salah kalau mengenal Indonesia harus  mengenal (ajaran) Sukarno.

Sukarno tokoh perjuangan kemerdekaan dan proklamator kemerdekaan Indonesia, namun selama pemerintahan Soeharto (Orde Baru) buku-buku Bung Karno diberangus. Bisa diperjelas tentang sejarah kebangsaan kita yang terpenggal tadi.

Kalau dikatakan sejarah nasionalisme kita terpenggal memang benar.  Ideologinya (tetap) Pancasila, tetapi kemudian terjadi penyimpangan pada implementasi. Konstitusinya juga berubah dalam bentuk amandemen UUD 1945 pasca tumbangnya Orde Baru. Jadi  sejatinya  kita tidak lagi menggunakan “Pancasilanya Sukarno” dan “UUD ’45-nya Sukarno”. Maaf, nama Sukarno di sini saya maksudkan sebagai representasi dari para pendiri bangsa.

Apa yang dimaksud Pancasilanya Sukarno dan UUD 1945-nya  Sukarno?

Ini dalam konteks Sukarno sebagai personifikasi dari seluruh rangkaian peristiwa “menjadi Indonesia” tadi. “Pancasilanya Sukarno” adalah implementasi dari kemurnian nilai-nilai Pancasila. Nilai kerakyatan, gotong-royong misalnya menjadi nafas kehidupan kita dalam bermasyarakat/ berbangsa. Namun kemudian kita menjadi bangsa yang mengarah pada sifat individualistis.

Nilai persatuan juga (bergeser), ketika bangsa ini dihadapkan pada undang-undang otonomi daerah, sehingga dengan cepat melunturkan semangat persatuan. Kita pun menjadi sektoral. Perwujudannya kemudian, orang Jawa tidak mungkin menjadi Bupati di Aceh, atau orang Aceh menjadi  Bupati di kota lain. Dulu, hal seperti itu bisa terjadi ketika persatuannya masih kuat. Karena kesadaran persatuan betul-betul berlandaskan geopolitik dari Sabang sampai Merauke.

Sedangkan ihwal amandemen UUD 1945, khususnya pasal 33 cukup memprihatinkan, di mana, ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); sudah bergeser secara substansial. Karena soal air, tanah diatur dengan undang-undang. Soal udara, diatur dengan undang-undang. Soal kekayaan alam, diatur denggan undang-undang. Bahkan semua lini, termasuk yang vital seperti pendidikan dan kesehatan, diatur oleh undang-undang yang intinya, terbuka bagi masuknya asing, dengan segala kepentingan dan agendanya.

Dengan kata lain, pasca amandemen UUD 1945, yang dilakukan antara tahun 1999 – 2002, kita menjadi negara terbuka yang tidak hanya mengedepankan kepentingan nasional tetapi juga kepentingan pemodal. Karena itu kemudian terjadi gap antara periode masa Sukarno dan periode (pemerintahan) setelah Sukarno.

Gapnya cukup jauh ?

Ya, kita ingat ketika Bung Karno lengser 1967 setelah peristiwa  G-30-S 1965, dia mengatakan, kita setback ke masa 1945 lagi. Artinya (ketika itu) kita mundur 22 tahun ke belakang. Alasan pertama, setelah 1965 terjadi set up baru, dimana konglomerat asing mulai menguasai kekayaan negeri kita yang  (seharusnya) menjadi hajad hidup orang banyak dan dikuasai negara. Kebijakan kepemimpinan nasional berubah total, dari kepentingan untuk rakyatnya menjadi kepentingan pemodal dengan jargon stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, keluarnya Tap MPRS no 33 yang melarang ajaran Sukarno, sehingga otomatis tidak ada lagi benang merah antara masa kepemimpinan Sukarno  dan Soeharto. Itu (jadi) penyebab. Kalau tidak ada Tap MPRS no 33, orang masih bisa belajar tentang ajaran Sukarno. Tap MPR itu sampai sekarang belum dicabut. Kalau ada yang bisa membaca/belajar ajaran Sukarno, itu terjadi setelah reformasi. Hal itulah yang mengakibatkan gap. Jadi praktik bernegaranya pun berubah. Konsesi asing kemudian masuk. Generasi muda tahunya pemodal asing boleh masuk, dimana Amerika Serikat, Perancis, Inggris, menguasai kekayaan alam Indonesia. –(BERSAMBUNG)

1 Comment

  1. Hendrat Yuswito

    December 8, 2017 at 10:48 am

    sepakat dengan “Kalau dikatakan sejarah nasionalisme kita terpenggal memang benar. Ideologinya (tetap) Pancasila, tetapi kemudian terjadi penyimpangan pada implementasi. Konstitusinya juga berubah dalam bentuk amandemen UUD 1945 pasca tumbangnya Orde Baru. Jadi sejatinya kita tidak lagi menggunakan “Pancasilanya Sukarno” dan “UUD ’45-nya Sukarno”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version