Feature

Teka-teki Pasca AS Keluar dari Perjanjian Perubahan Iklim Paris

Published

on

 

Aktivis lingkungan BUND, menggelar protes di depan Brandenburg Gate, samping Kedutaan Besar Amerika Serikat, menolak keputusan Presiden AS Donald Trump yang menarik diri dari perjanjian “Paris climate change” di Berlin, Jerman, 1 Juni 2017. Dalam posternya mereka menuliskan, “Protect the climate. Brave Trump!” REUTERS/ Fabrizio Bensch

PEMERINTAHAN Presiden Donald Trump, Kamis 30 Mei 2017 lalu,  menyatakan  akan keluar dari Perjanjian Iklim Paris, yang ditandatangani 195 negara tahun 2015 lalu. Setelah Amerika, nomer 2 paling besar menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK), pertanyaannya apa yang akan terjadi di dunia?

Tahukah Anda, bahwa Amerika membutuhkan waktu 4 tahun untuk keluar dari perjanjian jika secara resmi menyatakan diri keluar? Ada proses dan mekanisme internasional yang harus dilalui sehingga Amerika barulah secara resmi dinyatakan keluar pada tanggal 4 November 2020, sehari setelah pemilihan umum presiden AS. Kemudian, pemerintahan berikut bisa menyatakan akan kembali bergabung dengan Perjanjian Paris, kalau mau.

Selama masa penantian keluar secara resmi, Amerika bisa tetap menjadi anggota United Nations Framework Convention of Climate Change’ (nama resmi Perjanjian Paris) dan mengikuti semua diskusi-diskusi perubahan iklim. Namun Trump sudah menegaskan bahwa dia tidak akan mematuhi semua komitmen Amerika sebelumnya, yang berdasarkan Perjanjian Paris, dan akan kembali bergabung jika perjanjian itu di re-negosiasi ulang. Soal ini, Jerman, Perancis dan banyak negara lain sudah menyatakan ‘no way’.

Itu secara internasional, di dalam negeri pemerintahan Trump terus  ‘memreteli’ kebijakan-kebijakan perubahan iklim, termasuk Rencana Pembangkit Listrik Bersih yang mengurangi emisi dari pembangkit listrik dan berbagai peraturan untuk mengurangi kebocoran gas metan dari operasi gas dan minyak. Upaya Trump ternyata masih panjang perjalanannya dan belum diterapkan, apalagi para aktivis lingkungan telah menyatakan akan membawa ke pengadilan jika kebijakan dan peraturan itu benar-benar diubah.

Keluar dari Perjanjian Paris juga tidak berari semua upaya dalam negeri untuk mengatasi perubahan iklim berhenti. Negara-negara bagian seperti California dan New York tetap meneruskan program mereka untuk mengurangi emisi GRK dari pembangkit listrik dan kendaraan roda empat dan dua. Namun pembangkit listrik yang sudah mengganti mesin dan pasokan bahan bakar dari batu bara ke gas dan energi terbarukan, yang harganya makin murah, tentu akan meneruskan programnya.Disisi lain, perusahaan swasta, utamanya, pabrikan mobil seperti Ford, GM, dan Chrysler, yang sudah berinvestasi besar untuk membuat mesin lebih irit dengan polusi rendah, juga akan meneruskan programnya —- terutama karena tekanan dan kehendak konsumennya.

Tetapi Amerika tetap saja akan akan jauh meleset dari target pengurangan emisi GRK, yang ditetapkan pemerintahan Obama di tahun 2015 lalu. Saat Amerika menandatangani Perjanjian Paris ada komitmen untuk menurunkan emisi GRK 26 sampai 28 persen dibawah tingkat tahun 2005 pada tahun 2025. Sekedar mengingatkan, Indonesia punya komitmen pengurangan sampai 29 persen dari BAU (Business As Usual). Analis terakhir, dari Rhodium Group, memperkirakan, berdasarkan kebijakan Trump, Amerika akan mengurangi emisi antara 15 sampai 19 persen saja dibawah tingkat tahun 2005.

Banjir yang meluap dari Sungai Gatineau di Gatineau pada Mei 2017 di Kanada. (Sean Kilpatrick/THE CANADIAN PRESS)

Respon Negara-negara Lain

Para pemimpin Eropa, Cina, dan India telah menegaskan akan tetap melaksanakan komitmennya untuk mengatasi pemanasan global akibat GRK tanpa Amerika. Kendati perundingan-perundingan mengenai penurunan GRK di masa depan masih belum jelas benar.

Salah satu kemungkinan adalah keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris juga akan membuat negara-negara lain mengurangi upaya mereka untuk menurunkan GRK tadi. “Negara lain dan kalangan industry akan mengatakan Amerika saja sudah tidak ambisius dalam mengurangi emisi GRK, jadi kenapa kita harus berusaha keras dengan biaya besar? Komentar Elliot Deringer, wakil presiden Center for Climate and Energy Solutions.

Disisi lain, Amerika, sebagai bagian dari komitmennya, telah berjanji akan memberikan dana 3 miliar dolar untuk negara-negara miskin agar negara-negara itu bisa mengembangkan energi bersih dan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, berupa naiknya air muka laut, kekeringan, banjir, dan berbagai bencana ekologi lainnya. Pemerintahan Obama sempat menggelontorkan 1 miliar dolar. Namun Trump juga menyatakan tidak akan menyalurkan dana selebihnya. Logisnya, negara-negara berkembang di Asia dan Afrika akan makin enggan berupaya mengurangi emisinya.

Namun tidak semua orang pesimis, ada juga skenario optimis. Pasalnya, banyak negara, apalagi yang garis pantainya panjang seperti Indonesia, sangat ingin menahan pemanasan global pada tingkat paling tinggi 2 derajat Celsius dari era pra-industri. Luke Kemp, ahli kebijakan perubahan iklim di Australian National University, menyarankan keterkejutan akibat penarikan Amerika bisa memicu negara-negara lain makin berusaha keras untuk mengatasi perubahan iklim. “Singkatnya, anda akan melihat dampak yang membangkitkan usaha lebih keras.”

Amerika Serikat juga akan menghadapi tekanan diplomasi karena meninggalkan Perjanjian Paris. Eropa, Cina, dan negara-negara lain bisa saja menunda kerjasama dengan Amerika dalam isu-isu yang dipandang penting oleh Trump seperti kerjasama perdagangan. Dalam kasus yang lebih keras, bisa saja negara lain mengancam akan mengenakan tarif karbon terhadap barang – barang produksi Amerika.

Masa Depan Soal perubahan Iklim

Perjanjian Paris, tahun 2015, merupakan upaya panjang untuk mengerem terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global, yang disebabkan GRK (Gas Rumah Kaca) dengan ‘tertuduh’ terbesar adalah CO2. Sebanyak 195 negara menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi GRK dan sepakat untuk bertemu secara reguler mambahas kemajuan pencapaian komitmen tersebut. Semua upaya ini ditujukan untuk menghindari bencana ekologi.

Namun bahkan sebelum Trump terpilih dan keluar dari perjanjian, segala usaha pengurangan emisi GRK memang masih tidak cukup. Komitmen 195, bahkan termasuk Amerika, masih menyebabkan Bumi memanas 3 derajat Celsius atau lebih dibandingkan dengan suhu pra-industri. Jika ini terjadi maka makin membuat lapisan es di Pulau Greenland dan Antartika makin tidak stabil, terjadi kenaikan air laut, gelombang panas makin parah dan kekeringan, serta hancurnya ekosistim penting seperti batu karang.

Sekarang ini, Cina, sebagai negara paling besar penghasil emisi GRK, akan memegang peranan sangat penting dalam upaya menhindarkan dunia dari bencana ekologi itu. Cina terus melakukan investasi besar-besaran dalam pembangkit listrik tenaga angin, surya, dan nuklir untuk mengurangi konsumsi batu baranya, yang selama ini jadi bahan bakar utama bagi pembangkit listrik.

Sejauh ini belum ada negara yang menyatakan akan menambah komitmen pengurangan emisinya, demi mengkompensasi kekurangan yang disebabkan sikap bari Amerika. “Semua hanya menyatakan akan tetap pada komitmennya, “ ujar Oliver Geden, ahli kebijakan perubahan iklim Universitas Oxford. Namun, menurutnya, sekarang ini makin sukar untuk mencapai pemanasan kurang dari 2 derajat Celsius.

Pemerintahan Amerika mendatang tentu selalu bisa mengubah kebijakan soal perubahan iklim. Amerika selalu bisa kembali masuk Perjanjian Paris saat Trump tidak lagi menjabat. Jika orang melihat ada kemungkinan cukup besar bahwa pemerintahan AS sekarang ini hanya akan bertahan 4 tahun, maka menunggu sedikit tidak terlalu mengganggu dan kebijakan perubahan iklim bisa tetap diteruskan.

Diolah dari Nytimes.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version