Kabar

Bagaimana Disabilitas Dibingkai dengan Sudut Pandang Heroik Dalam Media

Published

on

dok Firman Suryani

Jelang akhir tahun dan sekaligus memperingati bulan disabilitas internasional, Agordiclub.com bekerjasama dengan Remotivi dan Kios Ojo Keos menggelar diskusi bertajuk Disabilitas Menaklukkan Aksesibilitas yang usai digelar di Kios Ojo Keos, LebakBulus, Jakarta Selatan, pada Kamis, 27 Desember 2018. 

Acara yang digelar sore hari itu menghadirkan Firman Imaduddin dari Remotivi, jurnalis musik Shindu Alpito, musisi Adrian Yunan Faisal dan Dzulfikri Putra Malawi sebagai moderator.

Selama 1,5 jam, para narasumber membahas bagaimana kaum difabel selama ini dicitrakan di media dan bagaimana proses pembingkaian yang ideal dari kacamata insan pers dan penyandang disabilitas itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, media pada hari ini membingkai pemberitaan kaum difabel dari sudut pandang heroik. Media televisi juga tidak jarang mengangkat sosok-sosok difabel dalam ragam program acara komedi. 

Terlepas dari perdebatan soal itu, Adrian yang menjadi tuna netra sejak 2010, merasa cukup tidak mendapat diskriminasi ketika menghadapi awak media atau dalam pemberitaan. “Sejujurnya enggak (merasa diistimewakan), kalau saya menganggap proses pembuatan album itu cerita (yang bisa saja dibingkai heroik oleh media), dengan latar belakang masing-masing. Menarik membahas album dari sisi artistik dan lain-lain,” kata Adrian.

Sementara itu, Firman dari lembaga pantau media Remotivi, melihat masih banyak diskriminasi terkait cara media melihat kaum disabilitas. Dalam program komedi di televisi contohnya.

“Di media tokoh yang punya disabilitas jarang diangkat, pun kalau ada sangat rawan di kotak-kotakan. Dalam (acara) komedi atau jadi objek kasihan atau motivasi,” kata Firman.

Dari sudut pandang media, jurnalis Shindu Alpito yang bekerja untuk Medcom.id menilai bahwa alasan utama mengapa kaum difabel berprestasi – dalam hal ini Adrian contohnya – kerap dibingkai dengan sudut pandang heroik, tidak lepas dari tanggung jawab sosial media itu sendiri.

“Sebenarnya cara media dalam melihat kaum disabilitas terbagi menjadi dua, media hiburan seperti program acara komedi di televisi atau media jurnalistik. Dari pengalaman saya menjadi jurnalis, yang masih jadi persoalan adalah kuantitas kaum difabel yang muncul ke permukaan, dalam hal ini di dunia seni,”ungkap Shindu.

Lebih lanjut, ia mengatakan pembingkaian dengan sudut pandang heroisme itu masih dibutuhkan agar banyak penyandang disabilitas di luar sana terpacu untuk ikut berperan aktif dalam dunia seni dan mau muncul ke permukaan sebagai musisi pada umumnya.

Adrian sendiri berharap ke depan lebih banyak lagi kaum difabel yang berani berkarya. Karena menurutnya, potensi seni dari para difabel sangat besar.

“Orang dengan disabilitas masih sedikit yang berkarya, padahal mereka punya potensi secara alamiah, punya kepekaan yang lebih, tetapi masih sedikit yang ujungnya karya.”

Diskusi ditutup dengan pandangan dari Adrian, bahwa sebenarnya yang terjadi di Indonesia adalah masa transisi, tentang bagaimana publik menerima dan mencerna pemberitaan kaum difabel sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. 

“Soal framing media terhadap sosok difabel, saya anggap kita dalam masa transisi. Saya sangat menolak kalau difabel direndahkan, tapi masyarakat masih dibentuk. Masih dalam tahap awal untuk mengajak orang difabel untuk disetarakan.”

“Soal pemberitaan dari sisi heroisme, menurut saya itu buat trigger. Suatu saat akan sampai satu tahap orang difabel setara.”

Sebagai penutup, Adrian tampil bersama gitaris Reza Ryan. Mereka membawakan materi dari album Sintas, antara lain “Ruang yang Sama,” “Mimpi Seperti Hidup” dan “Mainan”.

Pada 3 Desember lalu, Adrian terbang ke Paris, Perancis, untuk tampil dalam acara UNESCO/Emir Jaber Al Ahmad Al Jaber Al Sabah Prize for Digital Empowerment of Persons with Disabilities. (pik)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version