Traveling
Sisi Lain Danau Toba: Indah yang Bikin Marah
Objek wisata yang ditetapkan pemerintah sebagai salah satu Destinasi Wisata Dunia. Sayangnya, pencangangan itu tidak diikuti dengan semangat memperbaiki diri, baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat di sekitar Danau Toba itu sendiri.
Kabar terakhir, memang sudah ada bus Damri yang melayani penumpang dari Bandara Silangit ke Danau Toba. Tapi kalau kita lewat dari Tele menuju Danau Toba maka Anda akan berpikir, bagaimana daerah wisata maju kalau jalannya banyak yang rusak.
Sedangkan, jika mengambil rute dari Parapat, kita disuguhi pemandangan yang justru memprihatinkan. Spontan kita akan mempertanyakan apa manfaat Dana Desa jika ternyata masih begitu banyak desa yang memprihatinkan kondisinya. Sebagai contoh, kondisi tahun 2013 dan 2017 terlihat sama saja. Keramba ikan yang merusak habitat ikan dan juga tak sedap dipandang, masih bercokol di Toba. Sarana jalan dan fasilitas transportasi massal juga sangat buruk. Jauh dari kelayakan destinasi wisata kelas dunia.
Pemandangan yang kumuh, kotor masih menjadi bagian yang belum bisa lekang dari danau dan dermaga di Danau Toba. Orang yang datang dan berkeinginan menikmati air yang bening dan biru itu, justru akan disuguhi permukaan danau penuh sampah.
Di daerah Tomok misalnya, fasilitas kapal penyebrangan yang menjadi urat nadi penyeberagan manusia ke Pulau Samosir, terlihat masih sangat amatiran. Pelayannya jauh dari ramah laiknya insan jasa. Manajemen waktu juga amburadul, bahkan SOP naik dan turunnya penumpang serta barang ke kapal pun tampak sangat semrawut. Untuk menyeberang ke Pulau Samosir, butuh waktu sangat lama, di samping kapasitas kapal penyeberangan yang tidak memadai. Tak heran jika antrean menjadi sangat panjang.
Hal ini menjadikan pemandangan yang sangat mengganggu, terlebih karena areal parkir di dermaga tidak tersedia cukup. Anda bisa bayangkan, seperti apa kondisinya manakala musim liburan. Antrean panjang kendaraan, masih diperparah dengan ulah oknum yang mengambil keuntungan dengan memungut “biaya antre” sebesar Rp 10.000 per kendaraan.
Perilaku “aji mumpung” oleh masyarakat wisata di sekitar Dana Toba juga sangat mengganggu. Bahkan penjual makanan pun tidak jarang “memukul” pengunjung dengan menaikkan harga jual dagangannya hingga 400 persen dari harga normal. Bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga souvenir atau buah tangan, yang ditawarkan dengan harga selangit, seolah pengunjung tidak kenal harga. Ditambah cara menjajakannya yang “memaksa” cenderung kasar.
Satu kesimpulan yang bisa dicatat dari pengalaman di atas…. Danau Toba memang indah, tetapi dalam banyak hal bikin emosi tumpah. Apa jadinya jika kesan yang sama melekat pada turis lokal lain? Apa jadinya jika perasaan seperti itu menyergap perasaan para turis yang datang dari manca negara? ***