Feature

“Selamat Jalan Bob Hasan….”

Published

on

Jayakarta News – Mohammad Bob Hasan – manusia tanpa batas – itu, telah pergi. Dada ini terasa sesak mendengar kabar kepergiannya. Tadi siang, Selasa (31/2), pukul 11.00, Bob pergi. Ia pergi tak hanya meninggalkan dunia atletik Indonesia, tapi orang-orang yang mencintainya. Saya sedih dan seketika kembali mengingat saat-saat  indah bersamanya.

Siang itu, yang ada di ruangan itu, terdiam tak berdaya. Bob Hasan sedang marah yang, terasa seperti gempa bumi, meledak-ledak, dan bisa membuat jantung sejenak berhenti berdetak. “Kalian tahu itu artinya apa? Mampus … ,” kata Bob.

Bob rupanya tak berkenan dengan judul “Gone With The Wind” yang saya tulis di Majalah Sportif hasil liputan olahraga terbang layang di kawasan puncak. Novel fenomenal karya Margaret Mitchell – dia juga peraih penghargaan Pulitzer pada 1937 – itu, buat saya sangat menarik tuk judul tulisan. Sebelum atlet-atlet terbang layang itu menari-nari di udara sambil menikmati kebun teh, mereka meluncur dari ketinggian sambil meneriakkan judul novel itu.

Bob yang saya kenal adalah manusia tanpa batas. Terbuka, apa adanya, dan bisa segera cair. Soal judul itu, saya kira Bob tidak ingin wartawan-wartawannya berlagak memakai bahasa Inggris. Duduk satu meja di Edogin, restoran Jepang di Hotel Mulia, Jakarta, saya merasakan benar tawa dan canda Bob;  lepas, pedas, kadang menyakitkan, tapi tetap saja menyenangkan.

“Gue kan yang dulu pertama kali sediakan hadiah 1 juta dolar di Bob Hasan 10 K,” kata Bob. “Eh, masih hidup lo,” canda Bob. “Dia gak pernah menang adu lari sama gue,” gurau Bob. “Gue pernah tinggal di tiga pesantren, Cipinang, Salemba, dan Nusakambangan,” kata Bob dengan nada bercanda, padahal apa yang dia katakan ini adalah pengalaman yang pahit dalam hidupnya.

Bob – lahir di Semarang dengan nama The Kian Seng – telah menghabiskan separuh hidupnya untuk olahraga Indonesia, terutama cabang atletik. Dia telah melahirkan banyak atlet dan membawa ratusan medali ke Indonesia. Pelari jarak jauh Ali Sofyan Siregar, sprinter Purnomo, Mardi Lestari, Christian Nenepath, Henny Maspaitella, dan Emma Tahapari  lahir diawal-awal kepengurusan Bob.

Semua tidak lepas dari buah pembinaan yang dia lakukan di Stadion Madya. Bob juga telah memberangkatkan ratusan atlet berlatih di sejumlah negara, di antaranya Jerman dan Amerika Serikat. Dia juga telah mengirim ratusan atlet ke berbagai event internasional. Bob mengantar Purnomo (nomo 100 meter, nomor paling bergengsi di lintasan atletik) dan empat pelari Indonesia –

Johanes  Kardiono, Purnomo, Christian Nenepath, dan Ernawan Witarsa (nomor 4 x 100 meter) – tampil di semifinal Olimpiade Los Angeles 1984.

Bob pernah menjadi Ketua Umum PB PABBSI, Percasi, Persani, Presiden Asosiasi Atletik Amatir Asia (AAAA), anggota kehormatan Komite Olimpiade Internasional (IOC), dan Wakil Presiden Komite Olimpiade Asia (OCA). Di KONI Pusat, Bob empat periode menjadi pengurus teras. Di era Wismoyo Arismunandar, ia duduk sebagai wakil ketua umum. Bob juga pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di masa Kabinet Pembangunan VII (1998).

Pada 1980 dan 1984, Bob menerima penghargaan sebagai Pembina Olahraga terbaik versi SIWO/PWI Jaya, penghargaan Kalpataru pada 1997, dan penghargaan “Goldene Ehren Packeten” dari Persatuan Atletik Jerman untuk jasa-jasanya meningkatkan atletik Indonesia dengan Jerman. Sebelumnya, pada 1985, dia menerima penghargaan dari pemerintah sebagai Pembina OlahragaTerbaik. Sungguh prestasi-prestasi yang tidak akan pernah bisa disamai  siapa pun.

Saya mengenal Bob pada 1983 ketika ikut mengelola majalah Sportif miliknya. Dari sini kemudian saya mengenal orang yang bernama Mohammad Bob Hasan sebagai manusia yang ingin sempurna, mengabdi untuk negeri ini, dan kelak bakal dikenang. Tapi jalan lain harus ditempuh Bob. Dia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun dan harus mendekam di LP Nusakambangan.

“Pengorbanan dan sumbangsih beliau di dunia atletik sangat luar biasa dan belum tentu ada orang yang bisa melakukan itu,” kata Purnomo, salah satu anak didiknya yang telah lebih dahulu berpulang pada Jumat, 15 Februari 2019.

Buat saya Bob adalah manusia tanpa batas. Dia terbuka, apa adanya, dan tidak ada yang harus dia sembunyikan. Dia adalah tokoh olahraga di negeri ini yang berdedikasi  tinggi, setia, dan progresif.

“Pak Bob, selamat jalan. Tidur Nyenyak di sana. Saya akan selalu merindukan Bapak …. “. (YON MOEIS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version