Feature
Menyulam Celah Retas NKRI dari Tanah Bumbu
Petang itu dalam ruapan udara sejuk di sekitar villa Caringin, Martin Hutabarat, anggota Komisi I DPR berbicara pada sarasehan sekaligus temu kangen keluarga besar Jayakartanews. Tema yang disampaikan cukup serius, “Pacasila Mempersatukan Kita, Hoax dan Radikalime Musuh Kita Bersama.”
Kegiatan ini didukung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Kementerian Kominfo. Tujuan sarasehan adalah sosialisasi upaya-upaya menjaga keberagaman demi persatuan bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tentunya demi kejayaan negeri di ranah jamrud katulistiwa ini.
Wakil rakyat dari Fraksi Gerindra ini bercerita, ia telah menyaksikan negara-negara besar yang kini runtuh. Dari kunjungan kerjanya ke beberapa negara pecahan Uni Soviet maupun Yugoslavia, ia akhirnya merasa miris jika hal itu menimpa Indonesia.
Dulu kita tidak pernah membayangkan bahwa negara super power seperti Uni Soviet bisa runtuh, kata Martin. Dulu ada dua kekuatan yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Negara federasi itu sudah pecah menjadi 15 negara pada 1991. Negara-negara itu antara lain Rusia, Ukraina, Kazakstan, Armenia, Azerbaijan, Belarus, dan Tajikistan. Dan lainnya adalah Turkmenistan, Uzbekistan, Kirzizstan, Latvia, Lituania, Moldovo, Estonia, dan Georgia.
Di Eropa, Yugoslavia pun pada 1991 pecah akibat konflik antaretnis dan terjadi genozida. Negara federasi yang terdiri 6 negara dipisahkan berdasarkan latar belakang sejarah dan etnis, yakni terdiri Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Herzegonina, Serbia, Montenegro, dan Makedonia. Lalu disusul Cekoslovakia yang akhirnya pecah menjadi Ceko dan Slovakia, namun negara di Eropa Timur ini berpisah secara damai tanpa pertumpahan darah.
Lantas bagaimana dengan Indonesia. Negara kepulauan yang luas ini juga “memiliki potensi” disintegrasi. Indonesia terdiri berbagai etnis/suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat. Jika hal ini tidak dikelola dengan sebaik-baiknya, ancamannya ya disintegrasi.
“Saya tidak bisa membayangkan, nanti yang dari Jawa ke Sumatera pakai paspor,” ujarnya.
Karena itu politisi senior ini wanti-wanti agar pers berhati-hati dalam menerima dan menyeleksi informasi yang seharusnya disampaikan. Berita-berita hoax dan radikalisme sangat membahayakan persatuan. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan.
Sebenarnya Indonesia juga diramalkan akan terpecah belah. Ancaman itu sudah terjadi beberapa kali melalui isu-isu SARA (Suku Agama, Ras, dan Antargolongan). “Tapi kita bersyukur hingga kini ramalan itu tidak terjadi. Karena kita cukup kuat membentengi diri dengan (ideologi) Pancasila,” kata mantan Pemimpin Umum Harian Jayakarta itu.
Kecemasan akan terkoyaknya integrasi dan persatuan untuk saat ini tentunya tak perlu berlebihan, karena di kalangan generasi muda tidak tampak adanya friksi-friksi. Namun segala cara dan diplomasi dalam menjaga keberagaman dan persatuan kudu terus disiasati. Nah, diplomasi dan strategi melanggengkan budaya itulah yang menyeret ingatanku pada langkah taktis yang dilakukan Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan dalam mengembangkan potensi wisatanya.
“Tanah Bumbu ini semacam miniatur Indonesia,” kata Arif, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang pernah dinobatkan sebagai Duta Pariwisata Tanah Bumbu.
Sang duta wisata tak sekadar promosi daerahnya. Kabupaten muda belahan Kabupaten Kotabaru ini memang gencar mengembangkan potensi wisata Tanah Bumbu yang punya moto “bumi bersujud” (bersih, syukur, jujur, dan damai). Utamanya wisata budaya. Bahkan Mappanretasi (pesta laut) yang dilakukan suku Bugis yang bermukim di sana telah menjadi agenda pariwisata nasional. Mappanretasi 2017 pada April lalu dihadiri Presiden Joko Widodo.
“Mengembangkan wisata budaya adalah melestarikan budaya dan keragaman,“ kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata, Nahrul Fajeri, M.Pd. Misi Dinas ini di antaranya melestarikan nilai keragaman dan kekayaan budaya dalam rangka memperkuat jati diri dan karakter bangsa.
Sekilas ini tampak sebagai langkah kecil saja. Namun sekali tepuk, dampak ganda didapat. Melalui event sejenis dari beberapa tradisi etnis yang ada di Tanah Bumbu, Pemda juga “menjual” panorama alam/ wisata pantai, ternyata kunjungan wisatawan terus meningkat. Dan kedamaian masyarakat pun terjaga.
Dari catatan Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Tanah Bumbu, jumlah wisatawan hingga pertengahan 2017 sebanyak 101.855 orang. Jumlah tersebut lebih besar dari 2016 yang hanya 99.310 orang. Melonjaknya wisatawan terjadi pada hari libur, serta banyaknya event daerah yang mampu menarik jumlah wisatawan
Kabupaten Tanah Bumbu dengan luas wilayah 5.066 km persegi memiliki masyarakat majemuk/multi etnis. Ada suku Banjar, Dayak, suku Bugis, Mandar, Bima, Sunda, Jawa, Batak, Tionghoa, dan lainnya. Beranak pinak di Tanah Bumbu dan tetap melaksanakan tradisi asal, seperti Mapanretasi, atau kegiatan syukuran masyarakat nelayan Bugis atas kenikmatan yang diberikan yang Maha Kuasa.
Selain itu juga bermukim masyarakat yang sudah puluhan tahun hijrah lewat transmigrasi. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Begitulah adat pendatang, namun mereka dalam kehidupan sehari-hari tetap dalam tradisinya, termasuk melaksanakan ritual-ritual yang terkait dengan keyakinan atau agamanya.
Hal ini diakui I Wayan Sudarma, anggota DPRD Kabupaten Tanah Bumbu, ketua Fraksi PDIP. Memang nuansa Bali ada di Tanah Bumbu, terutama saat berlangsung Melasti di Pantai Indah Lestari (Pantai Madani), Kecamatan Sungai Loban.
Upacara Melasti yang digelar umat Hindu di pantai yang terkenal keindahan terumbu karangnya itu juga diikuti umat Hindu dari beberapa kabupaten di sekitarnya, seperti Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Laut. “Jumlahnya mencapai puluhan ribu,“ katar I Wayan Sudarma yang juga, pengurus PHDI yang menjadi penduduk Tanah Bumbu tahun 1980-an mengikuti transmigrasi orang tuanya yang asal Jembrana, Bali.
Komunitas Hindu ini sebagaimana tradisinya, melakukan prosesi Melasti dengan busana adat Bali. Para pria Bali mengenakan baju putih lengkap dengan udeng (ikat kepala). Para wanita Bali mengenakan kain dengan kebaya putih lengkap dengan selendang bulang pasang yang diikatkan di pinggang.
“Melihat upacara Melasti di Tanah Bumbu, rasanya seperti sedang berada di Bali,“ dan ini dibenarkan Wayan Sudarma.
Dalam Babad Bali disebutkan, Melasti merupakan rangkaian hari raya Nyepi yang bertujuan antara lain melebur segala macam kotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci (angemet tirta amerta) untuk kehidupan yang pelaksanaannya dapat dilakukan di laut, danau, dan pada sumber mata air yang disucikan.
Menurut Wayan, kini komunitas Hindu di Tanah Bumbu cukup besar, sekitar 20 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Tanah Bumbu yang menurut data BPS 2015 sebanyak 300 ribu jiwa. Karena itu pelaksanaan Melasti dalam rangka Hari Raya Nyepi tahun saka 1939 yang bertepatan dengan tahun masehi 2017 dilaksanakan di Pantai Indah Lestari. Bupati Tanah Bumbu Madani Maming kemudian mengubah nama pantai tersebut menjadi pantai Madani karena nama sebelumnya dirasa panjang.
Ritual Melasti, juga pesta adat Mappanretasi selalu digelar setiap tahun di Tanah Bumbu yang mayoritas berpenduduk muslim. Event lain yang sejenis masih banyak, dan seni-seni budaya dari pelbagai etnis juga dilestarikan dan dikembangkan.
Pemerintah setempat memfasilitasi pelbagai kegiatan komunitas, bukan hanya tempat tapi juga sejumlah anggaran. “Jadi seperti Melasti ini, kami tidak perlu mencari dana ke sana kemari untuk melakukan kegiatan,“ papar I Wayan Sudarma.
Menurut Nahrul Fajeri, mantan Camat Kusan Hilir, keberagaman mesti dijaga agar kehidupan warganya berlangsung baik dan aman. Meski demikian, dalam merawat dan menjaga toleransi dan saling pengertian diantara komunitas, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemda Kabupaten Tanbu juga berperan aktif. Setiap tiga bulan sekali mengadakan pertemuan dan dialog yang dihadiri para tokoh agama atau antarkomunitas.
Selain itu Kesbangpol mengadakan kegiatan-kegiatan terkait seperti seminar wawasan kebangsaan yang bertujuan menjalin komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat.
Keberagaman di Indonesia, khususnya di Tanah Bumbu adalah suatu realita, yang dijaga agar antarsuku, antarkomunitas dapat saling menghormati. Lewat penerapan-penerapan kebijakan di bidang pariwisata ini, diharapkan keaneragaman budaya, bahasa, dan lainnya yang merupakan khasanah kekayaan bangsa akan terjaga dengan baik
Menurut Nahrul Fajeri, suasana guyub yang relatif damai di Tanah Bumbu sudah berlangsung lama. Ia melihatnya seperti biasa saja. Misalnya di rumah-rumah orang Bali selalu ada sesaji, hal itu tampaknya dilihat penduduk atau komunitas lain ya biasa-biasa saja. Bahkan ia menganggap toleransi itu semacam tradisi, jadi saling menghormati.
Namun, ia dan juga I Wayan Sudarma tak menutup mata atas isu yang terjadi di Jakarta saat Pilgub DKI tahun 2017 ini. “Kami kaget, lho Jakarta begitu,“ kata Wayan Sudarma yang menyayangkan isu SARA dieksplor sedemikian rupa.
Sebagaimana kita tahu, Pilgub DKI 2017 sempat membuat polarisasi, masyarakat seakan terbelah karena mencuatnya isu SARA. Persatuan seperti dalam ancaman. Namun bersyukur, seiring berjalannya waktu, dan munculnya kesadaran banyak pihak, Jakarta pulih kembali, meski masih menyisahkan trauma. Isu SARA sungguh mengkhawatirkan.
Ray Rangkuti, Diretur Lembagai Survei Lingkaran Madani Indonesia berpendapat, isu SARA akan lebih banyak digunakan dalam pemilihan mendatang dibanding sebelumnya. Hal itu sengaja dihembuskan, karena memiliki efek yang memadai untuk elektalilitas atau menahan elektabilitas seseorang. Namun eksesnya sangat berbahaya, mengancam persatuan bahkan perpecahan.
Langkah Tanah Bumbu dalam melestarikan dan gencar mengembangkan event-event budaya dan mengakomodir aspirasi pelbagai komunitas, yang selalu dikaitkan dengan pembangunan kepariwisataan, tentunya bukan langkah kecil jika diproyeksikan pada upaya bangsa ini menjaga kebinekaan. Namun hal ini seperti oase, lebih-lebih jika kita sandingkan pada hiruk pikuk Pilgub DKI tahun 2017 dimana rasa persatuan sempat koyak.
Karena itu mari bersama menyulam “kain persatuan” yang pernah retas. Lalu menjahitnya dengan benang-benang emas yang kokoh yakni persaudaraan sebangsa dan setanah air — Jika, dan hanya jika, kita benar-benar tak ingin terpecah belah seperti dipaparkan Martin Hutabarat di awal tulisan ini. Merdeka! ***