Entertainment

KRITIK FILM : ‘Hiruk Pikuk Si Alkisah’ tentang Kebenaran Informasi

Published

on

JAYAKARTA NEWS —– Hiruk pikuk Pilkada sudah usai. Tapi ‘Hiruk Pikuk Si Alkisah’ (The Science of Fictions) baru tayang di sejumlah bioskop mulai 10 Desember 2020. Banyak penonton yang penasaran ingin melihat film yang berpremis ‘anti mainstream’ yang masuk 10 nominasi dalam FFI 2020.

Benarkah informasi yang menyesatkan dan cenderung manipulatif di zaman now menjadi benar? Bagaimana informasi yang benar-benar pasti benar? Tahun 60an adalah tahun hiruk pikuknya sejarah yang dibelokkan oleh rezim si pembuat sejarah. Boleh dikatakan tahun itu merupakan ruang gelap sejarah. Manipulatif dan berdarah-darah. Perpindahan dari rezim Soekarno ke era Soeharto menjadi pembenaran sejarah, bukan kebenaran sejarah. Rekayasa sejarah menjadi sah.

Hal itulah yang dilihat oleh sineas asal Jogjakarta, Yosep Anggi Noen dalam film ‘The Science of Fictions’ (Hiruk Pikuk Si Alkisah). Sebuah kejadian langka terjadi di tahun 60an, di Gumuk Pasir, Parangkusuma, Jogjakarta, seorang pekerja lugu bernama Siman tanpa sengaja melihat proses syuting pendaratan manusia di bulan oleh kru asing. Nahas, Siman tertangkap penjaga. Agar tidak membocorkan rahasia, Siman dipotong lidahnya. Ia menjadi bisu, tak bisa bicara. Anehnya, Siman mendadak bergerak pelan menirukan gerakan astronot diluar angkasa. Siman lalu dianggap gila. Ia ingin membuktikan kebenaran pengalaman yang dilihatnya, tapi karena bisu, ia tak berdaya apa-apa. Sebuah kebenaran yang dibungkam, yang dipotong.

Film patungan antara Indonesia, Malaysia dan Perancis ini cara bertuturnya baru, unik, luar biasa dan berbeda. Padahal, sutradaranya, Yosep Anggi Noen jujur mengaku, ia ketawa ketiwi saat syuting film yang seluruhnya di Jogjakarta ini. “Konsep saya hanya main-main saja. Sekarang, lintas teknologi yang modern membuat orang mudah bikin film,” ujar Yosep.

Cerita film ini tampaknya rumit dan tidak biasa ? “Tampaknya kan. Padahal enggak. Biasa-biasa saja. Kita bercanda dan ketawa ketika syuting,” kilah Yosep. Kenapa justru Anda bikin film dengan cerita pendaratan manusia di bulan ? “Gumuk Pasir itu mirip permukaan bulan. Padahal di tempat itu multi fungsi. Untuk karaoke, manasik haji, persembahan untuk Ratu Kidul dan proyek P terselubung. Semua bisa direkayasa. Lalu saya hubungkan dengan cerita pendaratan manusia di bulan. Apakah ini benar atau manipulatif?,” tutur Yosep lagi. Jadi fiksi semua ? ” Ini pertanyaan bagi kita semua, bagi sebuah anak bangsa.

Puluhan tahun kita dicekoki pembenaran sejarah yang bukan kebenaran sejarah. Tahun 1965 sampai 1998, Soeharto menulis sejarahnya versi dia. Kemudian, apakah betul ada manusia mendarat di bulan? Bisa jadi ini manipulasi sejarah. Saya bercerita seorang warga miskin Siman melihat pembohongan sejarah di Gumuk Pasir dalam film ini. Tapi dia ‘dibunuh’ secara pelan lewat dipotong lidahnya. Sebuah kekuasaan rezim yang sangat kejam, yang oligarkhi,” imbuh Yosep.

Bicara ihwal para pemain, semua bermain pas sesuai porsinya. Jujur, Gunawan Maryanto yang didapuk jadi sosok Siman bermain cemerlang. Meski sepanjang film, dia tidak bicara dan tanpa dialog (karena ia bisu akibat dipotong lidahnya), namun gesture dan akting dia benar-benar luar biasa. Perhatikan ketika dia berjalan pelan seperti astronot dan menari ditengah penari jatilan dalam sebuah hajatan pernikahan di desanya.

Tak heran kalau Gunawan Maryanto berhasil menggaet penghargaan sebagai pemeran utama pria terbaik dalam FFI 2020. Seni peran bagi Gunawan Maryanto adalah ‘makanan rohani’ nya bagi aktor teater ini. Sebelumnya, dia juga sukses memerankan sebagai penyair Wiji Thukul di film ‘Istirahatlah Kata Kata’ yang juga disutradarai Yosep Anggi Noen.

Pemeran lain adalah Lukman Sardi, Asmara Abigail, Marissa Anita, Ecky Lamoh, Pritt Timothy, Tedy Ahmad Tajudin dan lain-lain. Juru kamera Teoh Gay Hian dari Malaysia boleh diberi punten. Beberapa kamera seperti handycam, GuPro, kamera lowspeed, drone hingga roll film 16 mm difungsikan ‘tugas’ nya di tangan Teoh Gay Hian. Warna-warna gelap hitam putih yang kemudian berpindah ke warna yang sendu khas pedesaan sungguh nyaman sekaligus prihatin dipandang. Tentu, kerjasama sinergi yang hebat antara Deki Yudhanto selaku penata artistik dan Naradhipa sebagai penata efek visual layak dipujikan.

Di sisi lain, eksplorasi visual dan gaya penceritaan yang unik mencitrakan sebuah cara tutur baru. Akhirnya, kini memang sejarah ditulis oleh masing-masing orang dengan kekuasaan dan pencitraan dirinya. Alhasil, Sebuah kebenaran yang samar-samar adalah juga sebuah pembenaran semu yang penuh kebohongan yang manipulatif. Hiruk pikuk yang tidak jelas… (Ipik Tanoyo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version