Kabar

Kelompok Termos ’85 Kritisi Situasi

Published

on

Handaya Murti, Kanca Ngamen.

JAYAKARTA NEWS – Seniman selalu memiliki cara untuk memotret keadaan. Kemudian menyampaikannya dalam bahasa seni yang menarik, menggelitik kendati sering bermuatan kritik. Begitu pula yang bisa disimak dari 19 perupa dari Kelompok Termos’85 yang menggelar pameran pada 8-21 Juni 2019 di Galeri Tembi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 18,4 Yogya ini.

Mengambil tema Godhong Suruh (Daun Sirih), para perupa alumni Pendidikan Seni Rupa IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) mengeksplorasi banyak hal. Ada yang mengekspresikannya lewat lukisan. Ada pula yang membuat patung. Ada yang menggunakan cat minyak, akrilik, karyon, cat air maupun media campuran (mixed media). Ada yang menghadirkan satu karya, ada pula yang dua.

Dewantoto, Purbo Gesang.

Wali Kota Yogya 2001-2011 Herry Zudianto akan membuka pameran ini pada Sabtu (8/6) pukul 19.00. Pembukaan pameran akan diwarnai penampilan musik gamelan anak, binaan salah satu peserta pameran, Fahrur Rozi.

Ketua Panitia Pameran Tri Wiyono mengatakan tema Godhong Suruh diambil untuk merefleksikan situasi aktualitas maupun kondisi kelompok Termos’85 sendiri. “Daun sirih mempunyai dua sisi yang berbeda. Di sisi atas berwarna hijau tua dengan permukaan glossy. Di sisi bawah  berwarna hijau keputih-putihan, dengan permukaan dof.  Walaupun kedua sisi lumah lan kurepe berbeda, godhong suruh tidak terbelah. Ia sepakat manunggal untuk memformulasikan kandungan rasa yang sama,” ujar Tri Wiyono.

Abi Heni Lanank, Bali Jogja.

Guru seni pada satu SMK ini menambahkan godhong suruh juga dipakai untuk menggambarkan hubungan antar suadara sinarah wadi. Hubungan saudara istimewa. Jika yang satu dicubit, yang lain ikut merasa sakit. Seperti hubungan istimewa antara Kresna dan Arjuna dalam pewayangan. Selain itu, godhong suruh juga dipakai untuk menggambarkan hubungan antara suami dan istri, yang berbeda latar belakang dan fisiknya, tapi saling melengkapi untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Erwan Widyarto, Sedulur Prihatin.
Basuki, Kompetisi Sehat.

Tri Wiyono pun kemudian menegaskan tujuan pameran. “Pameran ini digelar antara lain agar dapat udhu-udhu klungsu, walaupun sangat sedikit ikut urun-urun, untuk menjaga agar yang berbeda tidak terbelah, yang terluka tidak menganga dan yang susah sedikit terhibur. Paling tidak mulai dari kelompok Termos’85,” tandasnya.

Pengamat seni budaya Ons Untoro mengatakan Kelompok Termos’85 ini memakai idiom lokal, godhong suruh (daun sirih) untuk meneguhkan persahabatan di antara mereka. “Usia mereka tidak lagi muda mungkin sudah di atas 50 tahun, dan saya tahu ada yang sudah lebih dari 60 tahun. Namun mereka, dalam usia yang tidak lagi muda, dan mengalami pahit getirnya kehidupan, setidaknya seperti rasa suruh (sirih), tetapi terus menghasilkan karya,” tegas Ons.

Herjaka, Membelah dengan Sukacita.
Sarjiyanto Sekar, Nyirih bukan Nyinyir.

Ons mencontohkan satu karya yang menyajikan visual seorang perempuan tua, sebagai satu konstruksi dari garis-garis, memberikan nuansa lokal dan alami. Karya Sarjianto Sekar itu diberi judul ‘Nyirih bukan Nyinyir’. “Karya ini terasa kontekstual, kalau kita dekatkan kondisi sekarang, yang pahit dan nyinyir saling berseteru. Kalau aktivitas ‘nginang’ yang pahit meneguhkan rasa di lidah, kalau dalam kontektualitas kehidupan hari-hari ini, yang (di) rasa (kan) pahit membuatnya terus nyinyir untuk menolak rasa pahit, artinya tidak menerima kenyataan. Berbeda dengan orang nginang, rasa pahit dinikmati: kenyataan itu diterima,” papar Ons.

Patung Triwoyono Venus.

Karya Sarjianto Sekar tersebut, menurut Ons, bisa didekatkan dengan karya Erwan, yang berjudul ‘Sedulur Prihatin.’ Dalam Sedulur Prihatin ini, Erwan menggambarkan sejumlah perempuan ngobrol di tengah suasana rumah di kawasan kumuh yang mulai dipenuhi pondasi-pondasi beton. “Karya Sarjiyanto dan Erwan ini, sama-sama bernuansa lokal dan alami, dan keduanya sedang merasakan pahitnya hidup, tapi masing-masing tidak terpisah, dan tidak nyinyir. Pahitnya hidup, rupanya bisa  diterima secara jenaka, dan ini terasa sangat Yogya,” tandas Ons.

Menurut Ons, karya-karya perupa dari alumini IKIP Yogya ini, temanya sederhana, mudah dicerna dan sangat komunikatif. Mungkin persis seperti kehidupan keseharian mereka. Masih saling bersapa, mungkin melalui WA atau bersapa melalui media sosial lainnya. Dan jika ingin bertemu bersama, tidak hanya sekedar tatap muka, tetapi sekaligus menyajikan karya. Maka pertemuan mereka tidak  hanya sekedar reuni, karena juga melibatkan orang lain yang bukan alumni, dan bertemu dalam pameran yang mereka selenggarakan.

Dalam kata lain, godhong suruh (daun sirih) yang merekatkan persabahatan mereka, seperti halnya godhog suruh yang memiliki manfaat, pameran mereka juga bermanfaat bagi orang lain. Karena, masing-masing saling bertemu, dari yang saling kenal, atau malah tidak saling kenal, di ruang pameran ‘Godhong Suruh’ ini. Dalam pertemuan ini tidak harus merasakan pahitnya kehidupan, tetapi saling mempererat dalam persahabatan. (*/rr)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version