Kabar

Kasus Ginjal Akut pada Anak: Obat Praxion Diklaim Aman, Komisi IX DPR Sebut Masih Misteri

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati menyesalkan terulang kembali kasus gagal ginjal akut yang dialami anak-anak Indonesia.

Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa obat sirup dengan merek Praxion yang menjadi penyebab terulangnya kasus gagal ginjal pada anak dinyatakan masih memenuhi persyaratan atau sesuai standar yang tercantum di Farmakope Indonesia. Artinya, obat tersebut aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.

“Pertanyaan berikutnya kalau obat ini aman, lalu penyebabnya apa? Dari kasus gagal ginjal akut pada anak. Berarti masih misteri. Misteri ini harus segera diselesaikan solusinya. Apa penyebabnya? Jalan keluarnya apa? Siapa harus bertanggung jawab?” tegas Kurniasih Mufidayanti dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak Muncul Lagi” di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Terkait penanganan kasus ini, Kurniasih mengaku prihatin sebab sekitar 3 bulan lalu atau pada November 2022 lalu saat rapat dengan semua lembaga terkait, komisi kesehatan DPR RI itu telah mengingatkan tentang pentingnya antisipasi dan mitigasi kasus ini agar tidak terulang kembali.

“Hari ini kita berduka kembali dan prihatin dengan situasi yang terjadi karena terulang kembali kasus gagal ginjal akut pada anak, yang sebenarnya pada bulan November kita rapat sangat intensif dengan stakeholders,” ujar Kurniasih.

Ada dua hal, menurut Anggota DPR RI dari Fraksi Partai kedilan Sejahtera (FPKS) atas ketidasksigapan Kemenkes, BPOM dan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan ini.

Pertama pada kasus pertama periode Januari sampai Desember 2022. Dari informasi, sebenarnya kasus ini sudah terdeteksi di masyarakat pada Januari 2022 dan kasusnya baru meledak pada Oktober, November, Desember 2022. Dengan demikian, selama periode Januari-September tidak ada persiapan dan antisipasi agar kasus ini tidak melonjak.

“Kami mendesak kepada Kemenkes untuk melakukan tindakan mitigasi untuk supaya kejadian ini tidak terjadi lagi di masa datang. Saat itu diskusinya sangat panjang, kami dari Komisi IX meminta status KLB,” ungkapnya.

Soal mitigasi, menurutnya sebnarnya sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu dan juga terkait dengan tatalaksana dan manajemen klinis gangguan ginjal akut progresif, aktifikal dan juga pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes. Sudah dikeluarkan untuk SOP-SOP-nya seperti apa.

“Untuk realisasi terhadap keputusan ataupun kesimpulan rapat di Kemenkes, sudah ditindaklanjuti berupa mitigasi, SOP ataupun tatalaksana penanganan gagal ginjal akut pada anak. Ini yang perlu diintensifkan lagi dan dimasifkan lagi sosialisasinya,” ucap Kurniasih.

Untuk BPOM, Komisi IX juga memberikan catatan dan menyepakati bersama pada rapat bulan November saat itu, yaitu meminta BPOM bertanggung jawab, karena wewenang untuk memberikan izin edar dan juga untuk pengawasan ini ada di BPOM.

Prinsipnya, Komisi IX DPR menginginkan kehadiran negara terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut nyawa orang banyak, apalagi terhadap anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa. “Negara harus untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 270 juta rakyat Indonesia,” sebutnya.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril mengakui munculnya kembali kasus baru gagal ginjal akut pada anak dalam beberapa hari terakhir.

Korban seorang anak berusia 1 tahun meninggal dunia dan diketahui telah mengkonsumsi obat Praxion yang menyebabkan tidak bisa kencing (anuria).

“Kami gerak cepat, bersama Badan POM, kita umumkan untuk sementara waktu, obat Praxion. Karena diduga satu dan kasusnya belum ada di tempat lain. Jadi hanya obat Praxion yang direkomendasi ditarik dulu distribusinya dan tidak dipergunakan,” ucap Syahril.

Soal tidaknya adanya keputusan penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam kasus ini, Syahril menjelaskan sesua ketentuan perundangan, penetapan KLB harus memenuhi syarat, salah satunya kasus yang terjadi haruslah diakibatkan oleh penyakit menular.

Sementara pada kasus ini, sakit yang dialami oleh anak-anak Indonesia dalam kasus gagal ginjal akut bukanlah penyakit menular tetapi kasus yang disebabkan oleh zat dalam obat yang dinilai beracun. Obat sirup yang digunakan anak-anak mengandung bahan kimia berbahaya yakni ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG).

“Jadi sebagai pemahaman saja ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) itu adalah suatu zat yang sebetulnya bukan untuk industri obat tapi industri yang lain, untuk buat cat, untuk buat dinding mobil dan sebagainya. Nah itu lagi diselidiki, kenapa kok sampai bisa masuk ke obat yang menyebabkan keracunan,” ujar Syahril.

Sementara itu, Dr. Hermawan Saputra dari Dewan Pakar IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) menegaskan kasus terualngnya kembali gagal ginjal akut pada anak harus menjadi preseden tentang pentingnya keseriusan pemerintah menyikapi persoalan ini.

Sebab, katanya ketika ada hal-hal yang menyangkut gangguan kesehatan masyarakat, harus segera direspon dengan baik dan tepat tetapi juga memberikan jaminan dalam bentuk komunikasi, layanan dan juga pengawalan tindak lanjut bagaimana penjagaan atas hak kesehatan itu didapatkan.

“Nah saya menyebutnya preseden, ketika ada kejadian yang sudah dievaluasi, sudah ditindaklanjuti dan dicari solusi mulai dari penyebab bagaimana solusi dan tindak lanjutnya, tetapi terjadi kembali,” sesalnya.

Oleh karena itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah tersebut, ia menekankan kembali perlunya penetapan KLB pada kasus ini. Sebenarnya, menurut Hermawan, ada dasar hukum berupa ketentuan perundangan apabila menetapkan status gagal ginjal akut ada anak sebagai KLB.

Pemerintah, menurutnya tidak harus selalu berpandangan bahwa KLB selalu identik dengan penyakit menular, yang berpotensi menyebabkan wabah.

“Padahal ada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa karena keracunan pangan,” tegas Hermawan.

Oleh karena itu, Hermawan menekankan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah juga DPR RI yang menjalankan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan dapat mendorong pemerintah serius agar kedepannya kasus ini tidak terulang lagi.***/din

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version