Kabar

Jika PDIP tak Gabung Koalisi Besar, Presiden Jokowi Lebih Leluasa Jadi King Maker

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, koalisi yang ada saat ini masih terus dinamis hingga pendaftaran calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Koalisi masih bisa berubah setiap waktu, karena politik Indonesia menganut sistem last minute.

“Jadi sebelum ada pendaftaran pemilu, koalisi kita belum sah, karena koalisi kita menganut sistem last minute. Seperti pada Pemilu 2019, kita tidak menyangka Sandiaga Uno sama-sama dari Gerindra berpasangan dengan Prabowo dan KH Ma’ruf Amin yang tidak pernah di sebut-sebut menjadi pendamping Jokowi di periode kedua,” kata Bawono  dalam Gelora Talk bertajuk ‘Koalisi Politik di Bulan Ramadhan 1444 H, Rabu (5/4/2023).

Bawono menilai ada tiga ‘king maker’ yang akan berperan dalam menentukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

Yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Sehingga tidak mudah menentukan konsensus pasangan  calon yang akan diusung blok koalisi besar, sehingga potensi tiga pasangan akan terjadi. Kalau PDIP ikut akan terjadi head to head lagi seperti Pilpres 2019 lalu,” katanya.

Sehingga Megawati tetap akan menjadi king maker untuk menentukan pasangan capres dan cawapres koalisi besar, serta PDIP sendiri apabila tidak bergabung ke koalisi besar.

Jika PDIP tidak bergabung, maka Presiden Jokowi akan lebih leluasa menjadi king maker untuk menentukan pasangan capres dan cawapres koalisi besar yang telah difasilitasinya.

Sementara Surya Paloh tetap akan menjadi king maker untuk menentukan capres pendamping Anis Baswedan yang akan diusung koalisi perubahan.

“Jadi kemungkinan nanti akan ada tiga koalisi, dan masing-masing koalisi memiliki keunikan. Kenapa saya mengatakan, nanti ada tiga koalisi, karena sikap PDIP masih misteri, belum menyatakan bergabung ke koalisi besar atau mengusung capres sendiri,” katanya.

Namun, ia memprediksi sikap politik PDIP itu akan diputuskan dalam tiga bulan ke depan. Sikap politik PDIP ini, akan mengubah peta politik ke depan.

“Jadi king maker masih ada Megawati dan Surya Paloh, meski sampai sekarang mereka bersitegang, karena Surya Paloh mengusung Anies Baswedan. Sekarang muncul king maker baru, Jokowi yang mereka bentuk dalam dua pemilu sebelumnya,” papar Bawono.

Sedangkan Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, apabila koalisi dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) terwujud dalam satu koalisi besar, maka hal ini akan jadi tolok ukur baru dalam pembentukan gabungan partai politik di Indonesia.

“Kalau koalisi ini terwujud dan berhasil diwujudkan sampai pendaftaran capres nanti pada Oktober 2023, saya kira itu akan jadi milestone baru dalam proses pembentukan koalisi di Indonesia,” kata Arya.

Selain itu kata Arya, jika koalisi tersebut terwujud maka mereka akan mewakili sekitar 50 persen proporsi kursi di DPR. Sebab sebagaimana diketahui, KIB terdiri dari PAN, Golkar dan PPP, sementara KKIB terdiri dari Gerindra dan PKB. Arya memastikan penggabungan dua koalisi tersebut melebur dalam satu wadah, akan mempengaruhi konstelasi politik ke depan. “Dan kalau itu terwujud itu juga akan mewakili sekitar 50 persen proporsi kursi di DPR, dan tentu juga akan mempengaruhi konstelasi politik ke depan,” katanya.***din

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version