Feature

Evolusi Perubahan Bentuk Keris

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Perubahan bentuk (dapur) keris adalah sebuah keniscayaan. Pada galibnya, sudah begitu sejak zaman dahulu kala. “Dari generasi ke generasi terjadi perubahan selera. Itu yang mendasari evolusi bentuk atau dapur keris. Karenanya, generasi sekarang dan generasi yang akan datang pasti aka nada selera baru terhadap dapur di dunia perkerisan,” ujar Godod Sutejo, seniman lukis, pelaku spiritual, yang juga penggiat perkerisan.

Godod menyampaikan hal itu di sela acara Saparan Rebo Pungkasan “Kembul Sewu Dulur” di Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta (6/10/2021). Pada kesempatan itu, tidak hanya Godod yang mengupas soal perkerisan. Ia berbicara bersama dua seniman Yogya lain: Kondang Sugito dan Ardian Krisna.

Kembali ke soal keris. Godod menambahkan, perubahan selera atas dapur keris, terkait erat dengan kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat yang dengan sendirinya mempengaruhi selera pandang masyarakat.

Untuk itulah, Godod dan para seniman lukis lain belakangan getol membuat sket varian baru keris Nusantara. Hal itu dibenarkan oleh Kondang Sugito.

Desain keris karya Ardian Krisna.

Kondang menegaskan, sket varian baru perkerisan Nusantara adalah sebuah jawaban atas kebutuhan akan selera masyarakat yang juga berubah. “Bukan tidak mungkin, adanya varian baru dapur keris, justru bisa lebih menarik minat kaum milenial terhadap keris, yang nota bene warisan luhur bangsa kita,” ujar Kondang.

Betapa pun harus diakui, bahwa keris merupakan salah satu warisan budaya yang sampai saat ini masih eksis, dan menarik untuk terus dikaji. Kajian keris dilakukan di berbagai komunitas, mulai dari wujud yang unik, nilai luhur yang terkandung di dalam bentuknya, serta fungsi serta falsafah keris itu sendiri.

Agar warisan budaya itu tidak luntur hingga akhirnya punah, maka perlu dilakukan berbagai upaya pelestarian. Salah satunya adalah memperkenalkan keris kepada generasi muda. Bila perlu, sejak anak-anak sudah diperkenalkan tentang keris dengan bahasa dan pemahaman yang paling sederhana dan elementer. “Bertahap kemudian dilakukan pengenalan kepada kaum remaja,” tambah Ardian Krisna.

Ia menambahkan, tanpa upaya mengenalkan keris sejak dini, bisa dipastikan akan terjadi degradasi pemahaman di tengah masyarakat. Hal itu akan diikuti dengan menurunnya kadar apresiasi bangs aini terhadap warisan budaya tadi. “Saat ini saja, generasi muda kita banyak yang tidak paham tentang keris,” tambahnya.

Tidak sedikit generasi muda yang justru lebih tertarik main game online. Menghentikan budaya baru sebagian anak muda terhadap game, adalah mustahil. Setidaknya, Godod, Kondang, maupun Ardian berharap ada elemen keris di dalam game tadi.

“Dalam berbagai game, utamanya yang berbau combat atau pertarungan, para tokoh imajinatif banyak yang memakai senjata untuk bertarung. Sayangnya, tidak ada yang menyelipkan senjata keris di antara banyak senjata di game tadi. Padahal, banyak game online bikinan anak-anak Indonesia,” papar Ardian seraya menambahkan, “itulah perlunya memperkenalkan keris terhadap mereka.”

Sosialisasi keris kepada generasi betapa pun akan mendatangkan apresiasi. Di awal mereka mengenal keris, barangkali mereka memahaminya sebagai senjata yang ada di game online. Kemudian keris dipahami sebagai senjata. Lalu, keris dipahami sebagai benda seni. Begitu seterusnya sehingga saat mereka beranjak dewasa, seiring dengan literatur yang mereka baca, akan muncul apresiasi keris sebagai warisan budaya yang perlu dibanggakan dan dilestarikan.

Jual-beli Keris

Hisyam A. Fachri

Sementara itu, seorang psikolog Hisyam A. Fachri menambahkan, keris, pada zaman dahulu adalah simbol kebangsawanan, benda yang dikeramatkan, bahkan dianggap sebagai pusaka. Lambat laun, persepsi itu berubah. Kini, keris juga dimaknai sebagai benda budaya sehingga di zaman modern ini, keris bida diperjual-belikan. Tidak sedikit komunitas pecinta keris, bahkan kolektor keris.

Hal positif yang dilihat Hisyam dalam perkembangan keris adalah perkembangan yang paralel antara bertambahnya peminat keris dengan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang filosofi keris. Tentu, kondisi ini baru berlaku bagi masyarakat yang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap keris.

Mudahnya akses literasi juga memungkinkan masyarakat mengetahui sedikit lebih dalam hal-ihwal keris. Misalnya memahami filosofi religiusitas keris. Keris lejer (lurus) yang bermakna manusia harus hidup lurus yang artinya manusia harus memiliki arah atau tujuan yang jelas dalam hidupnya. Lalu adanya luk, dimaknai bahwa manusia harus luwes atau tidak saklek.

Bahkan tidak sedikit yang mengapresiasi keris dari sisi teknologi tempa besi yang telah dimiliki oleh peradaban masa lalu nenek moyang atau leluhur kita. “Di sisi lain, bagi kalangan kolektor, semakin tua dan langka sebuah keris, memiliki nilai ekonomi yang juga semakin tinggi. Di sini kita sepakat, bahwa keris juga memiliki nilai ekonomi, karenanya banyak kolektor menjadikan keris sebagai sebuah investasi,” tambah Hisyam. (rr)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version