Connect with us

Traveling

Tamu Boraspati, Punya Resor dan Ombak Pribadi

Published

on

JALAN sukses adakalanya terjal dan berliku. Kurang lebih itu yang dialami pengusaha Boraspati Travel, Medan, CHJ Gultom, ketika mengawali bisnisnya tahun 1989. Tidak ingin membentur tembok dengan beradu bisnis dengan pengusaha travel mapan lainnya, Gultom pun melirik Kepulauan Nias sebagai produk unggulan. Dan berhasil.

Jangan bayangkan Nias sekarang. Bayangkan Nias pada tahun 1989, ketika tidak ada jalanan mulus. Bahkan untuk menyusuri Nias Barat, harus melalui jalan mendaki, terjan menukik, berbelok, dan berbatu. Pendek kata, hanya “orang cari kerjaan” saja yang sudi mendatangi Nias.

Jalanan yang ada, hanya sepenggal-sepenggal. Itu pun jalan peninggalan penjajah Belanda dan Jepang. Kondisinya tak karuan. Jika datang hujan deras, posisi jalan mendadak bisa berubah. Demikian pula jembatan. Hari ini tegak, besok sudah miring karena lempeng tektonik yang elastis. Begitulah gambaran Nias ketika itu.

Baru pada tahun 1998, sembilan tahun kemudian sejak Gultom mendirikan Boraspati Travel, pembangunan infrastruktur Nias mulai menggeliat. Nah, sejak zaman Nias kusut-masut dan posak-pasai, Gultom sudah menjejakkan kaki bisnisnya di sana. Ia sudah berani “menjual” wisata Nias ke turis manca negara, sebagai sasaran segmen utama. Ia menjual dua spot surfing terbaik di dunia yang saat ini terkenal dengan sebutan The Point dan Indicator.

Pantai Lagundri di Teluk Nias Dalam, Nias Selatan, mengepung alunan ombak fantastis, laksana penggalan surga di bumi. Sepanjang sorot pandang ditebar, adalah teluk nan hijau, ombak bergulung-gulung, dan hamparan pasir luas. Gultom tahu persis, objek itu adalah komoditi yang layak jual.

Kepulauan Nias menjanjikan pantai yang ombaknya hampir tidak pernah berhenti sepanjang tahun. Karena potensi pesona ombak pantai itulah Kepulauan Nias lebih dikenal sebagai salah satu tujuan wisata surfing yang mendunia. Produk alam inilah yang dijual oleh Travel Boraspati, dengan tawaran private resort. Keterpencilan resort punya nilai jual tinggi karena tidak ada orang lain (privat).

Para tamu langganan Travel Boraspati tak jarang berkunjung lima sampai enam kali pulang-pergi ke Nias untuk surfing, dalam setahun. Biaya untuk sampai ke wilayah pantai tujuan berselancar, Travel Boraspati mengenakan tarif Rp.7 juta per malam/orang yang berlaku sejak 2008. Tarif sebesar itu untuk biaya antara lain, menginap di resort pulau kecil di tengah laut dan fasilitas transportasi angkutan udara dengan pesawat carteran.

“Akhirnya, pasar Boraspati lebih banyak turis manca negara kelas premium. Kami memang tidak bisa menjual lebih murah lagi, karena biaya carter pesawat saja seratus dua puluh juta, dengan kapasitas angkut delapan orang berikut papan selancar,” ujar Gultom, kepada Jayakartanews, beberapa waktu lalu.

Meski terbilang besar, tetapi biaya itu dinilai sepadan oleh para turis asing, karena mereka ditempatkan di resort terpencil. Bukan di Pantai Lagundri yang sekarang didominasi anak-anak muda. Dengan menempati resort terpencil, mereka tidak harus berebut ombak. Sebagai contoh, di Lagundri, satu ombak diperebutkan oleh 40 peselancar. Padahal, idealnya hanya untuk 20 peselancar. Di kalangan peselancar sudah ada kode etik, ketika seorang peselancar “mengambil” sebuah ombak, maka yang lain harus mengalah, dan menunggu ombak berikutnya.

Sementara, paket wisata surfing yang ditawarkan Boraspati sangat eksklusif. Seolah mereka punya ombak sendiri. Punya pantai sendiri. Tidak harus berebut dengan banyak peselancar. “Bayangkan, dengan tinggal di private resort, satu ombak paling hanya diperebutkan delapan sampai sepuluh peselancar. Jadi, waktu tunggu peselancar berikutnya tidak lama, apalagi ombak di Nias intensitasnya cukup sering,” ujar Gultom pula. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *