Ekonomi & Bisnis

Rebranding Koperasi

Published

on

Ahmad Hafizh, pejabat Pengadaan Unit Deputi Bidang Pengembangan SDM Kementerian Koperasi dan UKM saat mengisi kegiatan pelatihan perkoperasian bagi pengurus masjid. (ist)

Jayakarta News – Di kalangan anak muda, koperasi tidak begitu familiar. Pengelola maupun anggota koperasi umumnya pun bukan kawula muda. Jika ada, seakan bekerja pada lembaga ini sebagai ajang pencarian pengalaman, sebelum hijrah ke institusi lain yang lebih menjanjikan.

Padahal lembaga ini sejak lama digadang-gadang menjadi sokoguru perekonomian nasional. Perkembangan memang tampak, namun menilik usianya yang sudah 72 tahun, tentunya layak dipertanyakan mengapa koperasi masih terkesan biasa-biasa saja.

Meski beberapa koperasi sudah menikmati keberhasilan, namun secara nasional kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru 4,48 persen. Tahun 2014  hanya 1,7 persen dari PDB nasional. Jadi ini terhitung lumayan sejak Kementerian Koperasi dan UKM melakukan Reformasi Total Koperasi.

Dalam perombakan itu jumlah koperasi menurun. Karena lebih membenahi kualitas. Koperasi aktif hingga 2018 sebanyak 138.140 unit, sebelumnya (2014) sebesar 212.570 unit.

Penggiat koperasi, pengelola (pengawas, pengurus) masih didominasi kalangan lanjut usia, kecuali  beberapa karyawan. Setidaknya ini dapat dilihat dalam pelbagai pelatihan, baik yang diadakan Dewan Koperasi Daerah (Dekopinda) Dinas maupun Kementerian Koperasi dan UKM.

Kebanyakan koperasi masih dihadapkan persoalan internal, dan cenderung klasik. Yakni permodalan dan SDM pengelolanya. Sedangkan ekternal, koperasi harus siap bertarung di era disrupsi yang serba digital dimana anak-anak muda, terutama kaum mileneal sangat sigap merespon perubahan.

Lantas apa yang mendesak dilakukan supaya koperasi digital pun berkembang dan para muda berkiprah nyata dalam koperasi di era revolusi industri 4.0 ini? Sehingga koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional bisa terwujud.

“Upaya yang segera dilakukan adalah rebranding koperasi sehingga bisa mengubah image yang negatif tentang koperasi,“ katat Ahmad Hafizh, pejabat Pengadaan Unit Deputi Bidang Pengembangan SDM Kementerian Koperasi dan UKM. 

Menurut Hafizh yang juga Wakil Sekretaris I Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Koperasi KUKM, kesan di masyarakat koperasi itu seperti rentenir yang dilegalkan, koperasi bisa melakukan usahanya seperti fintech pada umumnya. Dengan rebranding maka masyarakat akan memiliki image baru terhadap neo coop yang responsibility dan profesional.

Ch. Sukirman, SE

Ihwal rebranding ini juga dikatakan praktisi koperasi, Ch. Sukirman, SE, pendiri Koperasi Kredit Sejahtera (KKS), Bogor. Penerima penghargaan koperasi terbaik tingkat nasional 2013 ini menilai bahwa anak-anak milenial maunya serba cepat dan praktis. Jadi kita harus menyiapkan teknologi terbaru pada koperasi yang dapat menghadirkan inovasi-inovasi sebagaimana disukai anak muda. Inovasi saat ini yang sesuai kebutuhan mereka adalah digitalisasi.

Orangtua atau kalangan tua memang memiliki pengalaman, “Tapi jangan lupa, regenerasi harus dibangun, disiapkan dengan cara antara lain melibatkan anak muda dalam kegiatan organisasi atau membangun youth of cooperative,“ kata Dewan Pakar Puskopdit Bogor-Banten ini.

Nah, ihwal regenerasi juga disorot Ahmad Hafizh, mantan staf ahli  DPR RI periode 2004-2009 ini. Pengelola koperasi, kata dia, umumnya stagnan karena tidak berjalannya proses kaderisasi yang baik dan pengurus lama  mengkooptasi pengelolaan koperasi sehingga koperasi tidak berjalan normal sebagai alat perjuangan bersama.

“Jadi benar, masalah besar kita adalah SDM yang kemudian berujung pada kualitas pengelolaan koperasi,“ ujar alumnus magister hukum bisnis  Universitas Indonesia ini.

Industri digital begitu cepat berkembangnya dan masuk wilayah industri keuangan dan pertumbuhan fintech pun terus menjamur. Sementara  koperasi dinilai agak lambat merespon perkembangan karena lemahnya SDM pengelola koperasi. Sementara Kemenkop dan UKM  memiliki peran membina dan mengawasi penyelenggaran fungsi teknis dalam membina koperasi, khususnya pengembangan koperasi digital.

Sedangkan menurut Ch Sukirman, rebranding yang perlu diterapkan oleh koperasi adalah memberikan kemudahan-kemudahan bagi anggotanya dalam bertransaksi melalui teknologi digital. Dan jangan lupa, pendidikan anggota juga tetap dilakukan. Hal ini tentunya selaras dengan pesan bapak Koperasi, Bung Hatta yang mengatakan, bukan koperasi namanya tanpa pendidikan bagi anggotanya.

Sebagai pejabat Kemenkop Ahmad Hafizh mengakui, koperasi digital di Indonesia belum memasyarakat. Koperasi digital pertama di Indonesia adalah Koperasi Digital Indonesia Mandiri (KDIM) yang disahkan Deputi Bidang Kelembagaan Kemenkop dan UKM pada Mei 2016. Koperasi Digital ini perlu menyusun strategi bisnis yang efektif, yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya melalui layanan digital tersebut. Sehingga visi yang dibangun dapat dicapai lebih cepat.

Tanggap Digital

Dengan digitalisasi diharapkan akan benar-benar memacu berkembangnya koperasi. Mengingat pula sesuatu yang serba digital ini disukai kalangan milenial. “Harapannya ya… seperti itu sehingga koperasi bisa bermetamorfosis dan cepat tanggap akan perkembangan kemajuan dunia digital,“ Hafizh menegaskan.

DR Mustika Sofiati Purwanegaro

Tanggap perubahan, tanggap pula terhadap kondisi riel yang melingkup koperasi selama ini. Hal ini pula yang kemudian mendorong DR Mustika Sofiati Purwanegaro meluncurkan Digital Ekosistem Bisnis bagi Koperasi.

Dosen School of Businnes and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) ini bersama timnya (para mahasiswa) memperkenalkan model platform digital Ekosistem Bisnis Inklusif  (KUKM Ekobiz). Platform ini mulai disosialisasikan tahun 2017 hanya ke Dekopinda kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat (Wilayah Dekopinwil Jabar).

Apa yang dilakukan IBM ITB tak lepas dari hasil pemetaan tentang koperasi dan UKM, khususnya di Jabar. Sentra UKM terdapat hampir di setiap kota, juga ada koperasi. Namun masing-masing seperti berjalan sendiri-sendiri.

“Maka dengan sistem model tersebut, para stakeholder, koperasi, dan UKM, juga pemerintah bisa terhubung,“ kata Mustika. “Kalau koperasi dan UKM ingin maju dan berkembang harus berkolaborasi,“ tambahnya pula.

Kolaborasi, bermitra, dan terhubung dalam jaringan, inilah yang mesti dimanfaatkan dalam dunia digital. Prinsip-prinsip tersebut sebenarnya menjadi jiwa koperasi sejak kelahirannya, yang antara lain, kerjasama, mandiri, dan pengelolaan secara demokratis.

Namun soal kolaborasi atau bermitra belum banyak diterapkan pelaku koperasi. Menurut Kartiko Adi Wibowo, pakar ekonomi syariah yang juga asesor, dalam seminar perkoperasian syariah September lalu di Bogor, kita umumnya bisa melakukan bagi hasil atau sharing profit, tapi enggan atau sulit untuk bisa menanggung kerugian bersama-sama.  Inilah yang menghambat kolaborasi.

Optimis pada Koperasi

Untuk meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, Mustika tetap optimis yakni melalui pengembangan koperasi. Dari survei dan kajian-kajiannya terhadap koperasi, lalu menulis dan mengikuti jurnal-jurnal internasional sehingga dalam akses literasi global itu Mustika yakin akan perkembangan koperasi. Di beberapa negara Eropa yang koperasinya dikelola secara profesional terbukti berkembang pesat.

Untuk berkembang, menurut Kartiko lagi, hanya dua syarat, yakni profesional dan integritas. Banyak yang profesional namun integritas masih sering dipertanyakan. Benar. Kita ingat adagium: when you lose wealth, you lose nothing. When you lose health, you lose something. When you lose integrity, you lose everything.

Ini tentunya bisa jadi pengingat pengelola koperasi. Jika Anda kehilangan barang, Anda tidak kehilangan apa-apa. Jika Anda kehilangan kesehatan, Anda kehilangan sesuatu, Tapi jika Anda kehilangan integritas, Anda kehilangan segalanya.

Koperasi dan UKM yang selalu berkait, baik dalam pembiayaan maupun pemasaran akan sama-sama tumbuh jika persoalan, misal pasokan  kebutuhan bahan produksi, juga pasarnya, atau teknologinya bisa terpapar dalam jaringan. Lalu sarana, dan prasarana termasuk regulasinya harus pula disesuaikan misalnya yang terkait perdagangan.

Menurut Mustika, di ranah ini masih banyak kekurangan, baik pengetahuan, permodalan, kurang akses/ networking, kurang mutu, pengembangan teknologi, termasuk aturan–aturan hukumnya. “Banyak hal yang harus dipahami atau dipenuhi, misalnya yang terkait dengan WTO, MEA, pembangunan yang berkelanjutan, dan lainnya,“ ujar Mustika. 

Dalam pengelolaan yang bagus, dan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi, tak sedikit koperasi yang maju pesat dan dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Lalu beberapa start up berkolaborasi untuk membuat ekosistem atau platform bersama. Dan kelak diharapkan koperasi menjadi crowdfunding bagi para start up yang berhimpuan dalam start up coop. Inilah harapan Hafizh. 

Ditambahkan Hafizh, sebagai birokrat Kemenkop dan UKM, unicorn perkoperasian kelak bisa seperti traveloka, grab, bukalapak, dll. Namun diakui terkait sarana dan prasarana serta aplikasi yang dapat dikembangkan dan berlaku dalam lembaga koperasi, pihaknya belum memiliki instrumen untuk mengatur perkembangan koperasi digital ini. “Jadi belum bisa bicara banyak tentang bagaimana instrumen yang berhubungan dengan koperasi digital,“ akunya terus terang. (iswati)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version