Connect with us

Kolom

Mutiara Pancasila dalam Serpihan Tanah Surga

Published

on

Catatan Iswati

Peringatan kelahiran Pancasila setiap 1 Juni tak semeriah hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan RI, 17 Agustus. Tak soal tentunya dengan seremonial HUT, asal kita sejenak mengenang dan terpekur mensyukuri  di hari yang bersejarah itu. Mengetahui proses kelahirannya yang kemudian menjadi dasar negara.

Butir-butir isinya boleh kita pandang sebagai ”mutiara ideologi bangsa”, melampaui ideologi lain di jagat buana. Ini bukan karena infeksi eksepsionalisme, namun rangkuman sila-silanya memang pengejahwantahan esensi fitrah anak manusia yang selalu rindu akan hidup yang damai dan sejahtera.

Pancasila tidak semata hasil buah pikiran, saringan budi luhur peradaban yang digali dari bumi Nusantara, tapi perwujudannya juga terinspirasi lewat bersitan nurani, gerak hati, atau suara-suara halus dalam renungan panjang seorang Sukarno.

Setting waktunya di era perjuangan dulu,  ketika Indonesia belum merdeka. Namun ikhwal dasar negara telah mengaduk-aduk pikiran Sukarno. Bukan hanya di masa pembuangannya di Ende – di bawah pohon sukun- melainkan jauh sebelum itu tatkala cita-cita Indonesia merdeka menggedor-gedor jiwa mudanya. Ketika pergulatan intelektualnya telah mengenal ”isme-isme” dan terolah dalam konseptualnya yang senantiasa berpijak pada nilai-nilai kesejatian bangsa.

Adalah hal lumrah tentunya jika kali ini peringatan hari lahirnya Pancasila kita rayakan dengan penuh rasa syukur. Karena keberadaannya kian tampak seperti pilar penyangga yang kokoh menopang payung besar yang bernama Indonesia. Nilai-nilai ajarannya menjadi pedoman arah hidup bagi segenap anak bangsa. Dan hingga kini pula seperti mantera ampuh dan jadi pandangan hidup kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila adalah dasar filsafat negara, ideologi, pandangan hidup, kepribadian, dan jiwa bangsa Indonesia. Dan hakikat atau inti ajaran Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. (Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila-Pendekatan Melalui Etika Pancasila, Hanindita Yogyakarta,1986 )

Aman-aman Saja

Tengok sejenak beberapa bulan silam. Pemilu Legislatif dan Pilpres 14 Februari tahun 2024 ini bisa dibilang aman-aman saja. Sebelum dan sesudah pencoblosan, aktivitas masyarakat berlangsung seperti sediakala. Biasa-biasa saja. Pasar tetap ramai, pertokoan pun sama. Kegiatan sekolah tak terganggu. Begitu pun perkantoran, kesibukan karyawan tak berubah, dan pabrik-pabrik pun tetap beroperasi.

Keamanan secara nasional cukup kondusif. Kalau pun ada riak-riak protes di beberapa TPS tak menimbulkan keributan, apalagi dibilang kerusuhan yang menimbulkan hati miris atau ketakutan. Sungguh,  itu tiada ! Habis nyoblos kita bisa ngopi-ngopi pinggir jalan, atau makan dimanapun kita suka.

Gawe nasional itu sukses. Dalam arti keamanan masyarakat tetap terjamin. Di sini saya tidak menyoroti nilai demokrasi yang konon, sesuai pemberitaan yang tercanang, ternodai karena adanya intervensi aparat dan pihak yang berkuasa. Namun di sinilah justru fokus saya, bagaimana pun proses yang berlangsung dan kurang memuaskan bagi pihak  tertentu, tapi situasinya baik-baik saja.

Pasangan calon yang unggul segera diketahui lewat hitung cepat, yakni nomor urut 2, Prabowo Subiyanto dan Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan suara lebih dari 58,582 %, lalu disusul Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sekitar 24,95 %, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 16,47 %.

Eloknya, yang tereliminasi dan pendukungnya seperti bersikap nrimo (menerima), meski belum tampak aura legowonya. Jalur hukum ditempuhnya lewat Mahkamah Kontitusi terkait temuan-temuan pelanggaran yang dilakukan pemenang yang  dihimpun penggugat. Namun putusan MK tak menggugurkan sang pemenang. Sehingga KPU pun segera mengesahkan keputusannya bahwa Prabowo Subiyanto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029.

Sungguh itu hajatan demokrasi besar yang damai ! Meski riuh dan hingar-bingar, tapi tak menyulut konflik dari kubu yang tersisih. Karena kita mengedepankan kerukunan. Persatuan ! Butir ketiga Pancasila itu benar-benar telah menjiwai dan diterapkan.

Nilai persatuan ini telah diteladankan para tokoh bangsa. Bung Karno, Presiden pertama dalam suatu pidatonya pernah mengatakan; Tetaplah bersatu padu membangun negeri ini tanpa pertumpahan darah.

Di kala posisinya dalam kemelut pun, di akhir kekuasaannya, pidatonya masih menggemakan wejangan yang menunjukkan betapa besar cintanya pada rakyatnya, ”Hei anakku…., simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan berita sakitku kepada rakyat. Biarkan aku jadi korban asal rakyat tetap bersatu.”

Gus Dur, Presiden RI ke-4  pun bersikap  serupa. Saat dilengserkan, ia tampak legowo meski para pendukung dan simpatisannya siap “membentengi istana”. Ia lebih mementingkan keselamatan rakyat dan perdamaian ketimbang mempertahankan kekuasaan.  

Sebagai anak bangsa sewajarnya kita bersyukur, dan bangga atas mantra Pancasila. Dan kebanggaan saya kali ini tersorong pula kata-kata Coach Timo, bule Jerman yang tampak begitu menganggumi Pancasila. Di YouTube lewat chanel Uncak TV Kapuas Hulu, Timo maupun kakaknya sama-sama mengagumi Pancasila. “Luar biasa Pancasila ini”,  katanya.  

Seorang remaja asal Malaysia, Dharsine Suresh Kumar yang pernah kuliah di Universitas Udayana, Bali, dalam suatu diskusi tahun 2020 lalu yang diunggah di YouTube, juga menyatakan kekagumannya.

Ia kagum atas kepercayaan masyarakat Indonesia khususnya anak muda terhadap Pancasila. Hidup mereka berlandaskan Pancasila, the way of life, kata Dharsine yang ketika itu sebagai   ahli majelis tertinggi persatuan kebangsaan pelajar Malaysia di Indonesia.

Ia amati pula, orangtua di Indonesia mengajarkan Pancasila sebelum anak bersekolah. Sementara Rukun Negara, atau dasar negaranya hanya terdapat di kulit buku. Karena itu ia ingin Rukun Negara itu dipahamkan kepada anak-anak khususnya generasi muda Malaysia agar mengerti dan menerapkan isi Rukun Negara yang terdiri lima baris.

Sementara dalam pandangan Timo, yang membuat Indonesia spesial adalah  kemajemukannya. Penyatuan dari begitu banyak bahasa, suku, agama. Itu yang membuat Indoesia spesial. Dan itu harus dijaga, harapnya pula.

Yang dimaksud tentu penjagaan atas penerapan sila-silanya dalam kehidupan, dan hal itu tidak akan datang dengan sendirinya. Harus di-push, katanya. Sebagaimana teknologi, juga tidak datang dengan sendirinya. Menyitir perkataan Elon Musk, teknologi itu tidak datang dengan sendirinya, harus di-push.

Sudah kodratinya tentu, tanah air kita yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau memiliki keberagaman suku, bahasa dan agama dengan adat istiadat yang berbeda pula. Menurut data BPS tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, sekitar 1.340 suku bangsa. Sementara berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terdapat 718 bahasa yang tersebar di tanah air. Agama yang diakui ada 6; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Bule Jerman itu juga memuji pilihan kata dalam sila-sila Pancasila yang dinilainya bagus.  Termasuk runut  sila-silanya. Nilai rasa bahasanya dipahami apik, seakan itu bahasa ibunya. Inilah Analisa pandangannya.

  1. Ketuhanan Yang Mahaesa. Kenapa ini di awal ? Karena Tuhan itu dasar dari segalanya. Dasar dari moralitas, dasar dari tujuan hidup. Apa artinya hidup ini kalau tidak bertuhan.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.  Manusia kalau mau adil dan beradab harus percaya pada Tuhan. Makanya kemanusiaan itu harus dekat dengan Tuhan. Supaya bisa adil dan beradab harus dekat dengan Tuhan. Kalau merasa dekat dengan Tuhan tapi tidak adil dan tidak beradab, (pasti) ada yang salah.
  3. Persatuan Indonesia. Kalau tidak adil dan beradab, sulit menyatukan kepentingan masing-masing agama, suku, bahasa yang begitu banyak di Indonesia. Kalau tidak ada persatuan Indonesia,  tidak ada Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Ini tentang demokrasi ala Indonesia yang tidak mengesampingkan nilai-nilai leluhurnya.

Menurutnya, leluhur Indonesia itu welcome pada semua bangsa. Monggo, silakan datang tapi jangan sampai mengganggu. Kesimpulannya, ujar Timo, sebenarnya hanya ada dua (tipe) orang  di Indonesia. Pertama, orang-orang yang membantu Indonesia, membangun (Indonesia), dan kedua, orang-orang yang merusak Indonesia, mengganggu Indonesia.

  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenapa ditaruh di posisi kelima, karena ini tujuan dari berbangsa dan bertanah air, supaya kita merasa keadilan sosial yang merata. Itulah tujuan dari adanya Indonesia.

Tanah Surga

Dua tipe orang di Indonesia yang dimaksud Timo,  khususnya yang merusak, inilah yang  ingin kita tahu. Karena negeri yang subur, kekayaan laut melimpah, tambang nikel terbaik, serta emas yang menggunung, namun masih banyak rakyatnya yang miskin.

Kelompok yang merusak Indonesia, yang paling tampak di permukaan/pemberitaan adalah para penjarah negeri atau koruptor. Narasi ini tersirat dalam lagu lama, Balada Sekeping Taman Surga yang dinyanyikan Bimbo.

Sekeping taman surga yang dimaksud tentu tanah air Indonesia ini. Ada pula yang menyebutnya serpihan tanah surga, karena pelbagai kekayaan bumi dan lautnya dan hamparan kenikmatan lain yang tak ada di belahan bumi lain, seperti cahaya matahari yang menerangi  saban hari.

Inilah petikan syair Balada Sekeping Taman Surga:

/Pesona hamparan penuh warna/ Indahnya tiada terkira/

/Bukit, lembah, sungai, dan lautan/ Bagai untaian permata,

hingga mereka menyebutnya sekeping taman surga/

 ………

 Namun pada bait selanjutnya, realitasnya juga mirip fenomena Indonesia kini;

/Sekeping taman surga telah berubah menjadi neraka dunia/

/Banyak anak bangsa menjadi durhaka/ Menjarah segalanya

/Bumi pun telah hilang barokahnya/

/Bahkan membunuh masa depannya, dirinya,

anaknya, dan bangsanya/…

Jika lagu lama tersebut adalah suara-suara nyata zaman kini, dimana laju dan cara korupsi kian tak terbendung dan disebut makin ugal-ugalan, kiranya butir-butir Pancasila yang indah dan bermakna itu sangat tak dihiraukan. Telah membutakan mata hatinya, lalu menjarah negerinya, sehingga membunuh masa depan dirinya dan membunuh masa depan bangsanya. (*)

*) Iswati, jurnalis senior, peraih Adinegoro 2018

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *