Connect with us

Buku & Sastra

Misteri Sang Lazarus

Published

on

Seno Gumira Ajidarma

Lazarus Simon Iskandar atau Sim Kim Tan (1943-2001) dalam dunia komik Indonesia dikenal sebagai SIM. Satu dari Tiga Besar penggubah komik roman tahun 1970-an. Gubahannya berciri cinta-misteri, seperti gubahan awalnya ini.

____________________________________________________________________

© 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

______________________________________________________________________________________________________

Halaman judul atau splash ini tidak memberi petunjuk apa pun tentang misteri dan akhir cerita tak terduga. @1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Dua Mawar

Kadang orang pertama, Aku, kadang orang ketiga, seperti dalam Mawar yang Tak Akan Pernah Layu (1968), dimulai dengan Dia, dan sampai empat panil belum muncul namanya itu. Namun kesunyian suatu misteri segera hadir, ketika komik roman ini tidak dimulai di suatu rumah berarsitektur jengki atau pusat perdagangan di Jakarta, melainkan adegan seseorang memancing di tepi danau.

Empat panil ruang geografis yang menjadi pembuka ini ibarat panggung yang siap menampung naratif berbagai adegan berikutnya. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Setelah itu pembaca akan dibawa untuk mengenali sebuah rumah berdinding warna putih di tepi danau, dan perempuan muda penghuninya, yang kulitnya disebut ‘putih bagaikan batu kumala’, sedang menyulam sebentuk bunga mawar warna merah.

Gambar mawar yang muncul kali pertama tanpa kata ‘mawar’. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Dia pun mendatangi perempuan yang ‘senyumnya seperti fajar di kala menyingsing’ itu, yang menyampaikan kepadanya betapa danau itu tidak ada ikannya. Perempuan itu hanya berdiri di balik jendela, berkata bahwa melalui sulamannya itulah ia mencari nafkah.

Mereka bertukar kejelasan: pemuda itu sedang liburan sekolah; dan perempuan itu mengatakan dirinya tidak tahu apa-apa, karena memang tidak pernah meninggalkan rumah itu. Sudah sepuluh tahun perempuan itu bekerja menyulam. Sejak kecil kedua orangtuanya sudah meninggal, kini ia hidup bersama neneknya yang menjadi buruh cuci. Saat menceritakan itu, disebutkan bahwa ‘di sudut matanya terdapat selapis sinar air mata’.

Menjawab pertanyaan, pemuda itu mengatakan meski dirinya tak punya banyak uang, dia tak perlu mati kelaparan. Menurut perempuan itu, manusia yang belum merasakan kelaparan, belum bisa merasakan kejamnya hidup terhadap manusia.

Sudut pandang ini melengkapi penggambaran atas posisi rumah di tepi danau, yang bisa menimbulkan persoalan bagi adegan terakhir, tapi tidak dibicarakan di sini. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Selanjutnya dapat diketahui betapa perempuan itu bahkan buta huruf, menyulam sejak usia 8 tahun, tanpa cara dan peranti apapun untuk mengenal dunia. Ia terus bercerita tentang hidupnya yang penuh penderitaan: kelaparan sampai kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang, karena neneknya saat itu sakit keras; bahkan baju yang sedang dikenakannya, baru bisa dibeli dari hasil sulaman selama setahun dua bulan. Pukul 4 sore dikatakannya, pemuda itu harus pergi, sebab neneknya tak suka jika dirinya bicara dengan orang tak dikenal.

Pulang ke rumah kawan tempat ia menginap dalam liburannya itu, ternyata pikirannya tak bisa lepas dari perempuan itu, sampai-sampai kembali ke rumah itu pada malam hari, yang rupanya sedang berada di jendela itu pula. Baru saat itulah mereka bertukar nama. Irwan, dan Kenari, yang mengaku berperasaan bahwa Irwan akan datang, bahkan berkata sudah sepuluh tahun selalu menunggu.

Belum terlalu larut ketika mereka berpisah, setelah berbagai adegan cium tangan, karena neneknya seperti akan bangun, dengan pesan Kenari agar Irwan mencarikan bunga mawar asli, yang belum pernah dilihatnya.

Mawar, asli tak asli, perlukah membedakan maknanya? © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Setelah mendapatkan dan membawakan esoknya, Kenari berjanji akan menyulam bunga mawar setangkai sehari untuk Irwan, yang sebelumnya berucap betapa bunga mawar asli bisa layu, tetapi tidak begitu dengan mawar sulaman. 

Kemudian Irwan membayangkan, seandainya bisa berada dan bersama dengan Kenari, seperti misalnya bertamasya, dengan segala perbincangan dan kemesraan yang dimungkinkannya.

Maka, karena tak ada neneknya, Irwan mengajak Kenari keluar rumah. Namun, dengan segala alasan, Kenari menolak, dan semakin keras bertahan, ketika Irwan menawarkan diri untuk masuk dengan membongkar kunci. Juga tetap menolak ketika Irwan menyatakan sanggup melindungi Kenari dari kemarahan neneknya. Alih-alih, juga dengan segala alasan, Kenari lantas meminta Irwan pergi untuk tidak pernah kembali, dan menutup jendela.

Berhari-hari dan bermalam-malam Irwan menunggu di tepi danau, berharap suatu ketika jendela terbuka, sampai bertemu dengan neneknya, yang menghitung bahwa Irwan sudah menunggu selama 17 hari. Menghadapi kemarahan Irwan, nenek itu menyatakan bukan dirinya, melainkan Kenari mengunci diri sendiri.

Kesunyian tetap mencekam setelah peran Nenek muncul. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Irwan tak bisa memahami penolakan Kenari, nenek itu pun mengaku tak mengerti. Setelah nenek itu kembali, dalam hujan dengan setengah gila Irwan berlari menuju rumah itu, karena merasa sangat mencintai Kenari.

Ia memaksa masuk, nenek itu menahan pintunya, tetapi kalah tenaga. Nenek pun memohon agar Irwan jangan meneruskan niatnya. Namun terdengar suara Kenari.

“Biarkan dia masuk, ini adalah saat yang terakhir.”

Maka, bersama dengan keredap kilat, berhadapanlah Irwan dengan Kenari, dan terkejutlah dia melihat ternyata Kenari berkaki kiri dari kayu!

Melihat Irwan terkejut, tertawalah Kenari dengan terbahak-bahak, tetapi wajahnya memperlihatkan betapa tawanya adalah tawa getir.

Belum sempat bereaksi, hanya mengucap, “Kenari!”, Irwan melihat Kenari melompat keluar jendela, dan semakin terlihat kaki kayunya. Irwan mengejar ke jendela, tetapi tak mampu menatap yang dilihatnya: seikat bunga mawar terapung di danau. Dia hanya bisa bersimpuh, dengan sulaman bunga mawar yang tidak bisa layu di pangkuannya.

Kaki kayu, jendela, seikat mawar asli, dan sulaman mawar artifisial: penanda fungsional dengan beban metafor. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Nuansa-Nuansa Misteri

Misteri dalam Mawar yang Tak Akan Layu ini benarkah hanya masalah kaki kayu Kenari, yang segera memudar sebagai pesona setelah kenyataan terungkap, karena misteri terbentuk selama Kenari berada di balik jendela?

Kaki kayu Kenari menjadi kejutan, karena tidak pernah menjadi misteri sama sekali sepanjang alur. Pertanyaan yang muncul atas keterkungkungannya di dalam rumah di tepi danau, memang mengapa Kenari tidak bisa keluar rumah, tetapi tidak terhubungkan dengan difabilitas.

Pertanyaan yang menjadi misteri semula adalah penyebab si nenek menyekap Kenari. Begitu nenek itu berhasil menyanggahnya dengan meyakinkan, misteri beralih kepada sesuatu yang belum jelas–memang dengan cara itulah misteri terbentuk.

Masalahnya, setelah kejutan kaki kayu itu berlalu, dan Irwan tercenung menghadapi sulaman mawar, mengapa nuansa misterinya tak hilang?

Misteri dalam Mawar ini memang tidak sekadar terandalkan dari faktor penasaran, melainkan faktor suasana, dan ini sudah dimulai sejak pembukaan naratifnya: tak kurang dari empat panil Irwan memancing diberikan untuk membangun geografi tempat sepi, dalam kerincian kerja memancing ikan yang tidak memperlihatkan ikan.

Pada tempat memancing itulah terdapat rumah, dari mana semenjak Kenari muncul alur bergulir.                

Begitulah, sebuah rumah di tepi danau, tanpa manusia lain selain perempuan berkulit putih bagai batu kumala. Mengapa harus begitu? Tiada pula rumah lain. Seolah dunia hanya terdiri dari rumah di tepi danau itu. Sesuatu yang menimbulkan pertanyaan, tetapi yang tidak tercerita maupun terucapkan. Bersama Irwan, perhatian terarah kepada misteri Kenari, sehingga ketika terungkap, pertanyaan-pertanyaan itu masih termukimkan di bawah-kesadaran, yang membuat nuansa misteri, sebagaimana tergambarkan sejak awal, menetap.

© 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA
Nuansa misteri dihadirkan tanpa kengerian dan kejahatan, melainkan misteri cinta dalam kehidupan manusia yang penuh drama. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Misteri demi misteri, seberapapun tipisnya, membentuk nuansa misteri yang mengada dalam dunia cerita, yang tetap saja terhayati ketika alur menggelindingkan wacana kritis: antara mawar alami (tapi dicabut dan diikat, alias yang liar dibudayakan) dan budaya mawar (mawar sulaman), sementara yang alami layu dan sulaman tetap bertahan, bagaimanakah makna bekerja? Judul cerita gambar ini pun Mawar yang Tak Pernah Layu.

© 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA
Antara alam dan kebudayaan: mawar asli yang bisa layu, atau mawar sulaman abadi ? © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Seni mimetik tentu tidak mesti berarti kepalsuan, tetapi makna tidak datang sekadar dari fungsi, melainkan konteksnya sebagai subjek dalam cerita. Superioritas mawar asli bagi Irwan kehilangan arti, ketika sulaman mawar lebih berdaya mengganti kehadiran Kenari.

Selain mawar, padan-lawan lain adalah kaki kayu dan kaki asli, tetapi jika kaki kayu adalah kenyataan di dunia, kaki asli Kenari hanya muncul dalam pembayangan Irwan, sebelum mengetahui kenyataannya–menjadi ironis karena karena ketergambaran kaki utuh itu begitu wajarnya; konteks kaki kayu belum ada saat itu.

Perbandingan antara kaki asli = khayal / kaki kayu = nyata menjadi pusat drama, apabila terandaikan Irwan bisa menerimanya, tetapi Kenari tidak bisa menerimanya demi Irwan, sementara dirinya telah lama hidup dengan itu. Hidup menjadi misteri ketika gagalnya hubungan mereka sungguh tidak perlu terjadi, meski mawar sulaman itu sebagai metafor justru mengabadikannya–tanpa dapat diketahui pasti bagaimana cinta itu mengada. Itulah misterinya.

Berpadan dengan perbandingan dua mawar, terkelompokkan padan baru: mawar asli layu / kaki asli khayal >< mawar sulaman abadi / kaki kayu nyata. Kebudayaan mengatasi ketentuan alam, walau kenyataannya cinta abadi masih terus dibayangi kegetiran terpahit. Mengapa harus begini jadinya? Misteri yang satu berlapis misteri lain, tanpa kepastian apakah akan dan harus berakhir.

© 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA
Antara khayalan dan kenyataan: kaki asli  khayal atau kaki kayu nyata ? © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

Cerita gambar tak hanya menggambarkan, tapi juga menuliskan. Dalam hal ini deskripsi prosaik Sim Kim Tan yang puitik dan tidak mendayu-dayu, berperan menentukan dalam pembentukan dunia penuh misteri, karena bahasanya lebih merupakan penggambaran suasana. Bukan dalam arti deskripsi alam itu sendiri, melainkan sebagai penggambaran suasana hati. Jadi bukan misteri seperti teka-teki, melainkan kejelasan dunia berkabut, bahwa kehidupan manusia, juga dalam cinta, adalah suatu misteri.

Penggambaran liris adegan Irwan berlari ke rumah Kenari, dengan teks prosaik ala Kawabata. © 1968 SIM KIM TAN / SAPTA KARJA

SENO GUMIRA AJIDARMA,
partikelir di Jakarta.

Continue Reading
Advertisement
1 Comment

1 Comment

  1. Alfonzo

    August 8, 2024 at 4:50 pm

    Roman yang tidak biasa..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *