Connect with us

Feature

Mimpi Sigit Suntoro Menjadikan Purworejo Barometer Seni Budaya

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Kampung Kledungkradenan tak seperti kompleks perkampungan biasa.  Ada yang istimewa di wilayah yang berjarak sekitar 5 km dari alun-alun Kota Purworejo Jawa Tengah itu.  Di tengah kampung yang berada di Kecamatan Banyuurip ini ada Sanggar Republik Sepur.  Di sinilah para seniman bebas mengekspresikan diri, utamanya, seniman lukis dan musik.    

Sigit Suntoro, biasa disapa Pak Pres (Presiden) adalah sosok yang tidak bisa dipisahkan dari Republik Sepur.  Ia penggagas, eksekutor sekaligus figur yang membuat Republik Sepur tumbuh dan berkembang menjadi komunitas seni yang mumpuni. 

“Sepur berarti lokomotif yang membawa serangkaian gerbong, tidak hanya seni lukis tetapi juga seni musik,” tuturnya saat menjelaskan arti nama Sepur yang ia pilih.  Namun, tak hanya arti harafiah, Sepur juga merupakan kepanjangan dari Seniman Purworejo.  Sementara kata Republik dipungut dengan alasan merupakan kepanjangan dari Ruang Ekspresi Publik.  Jadilah Republik Sepur merupakan singkatan dari Ruang Ekspresi Publik Seniman Purworejo. 

Teras Republik Sepur yang menjadi ruang pamer karya juga tempat berkarya dan berdiskusi. Perabotan dan dinding menjadi media lukisan/ foto: Ernaningtyas

Tempat serta aktivitas di dalamnya terasa klop dengan nama yang disandang.  Sebab di  Sanggar Republik Sepur yang sekaligus merupakan kediaman Sigit Suntoro ini, kehidupan berkesenian terasa kental. 

Rumah Sigit Suntoro seluas 6 x 9 meter persegi menjadi semacam pusat,  mulai dari  teras dan hampir seluruh ruangan di kediaman Pak Presiden Republik Sepur ini penuh dengan lukisan. Teras rumah tak hanya ruang pamer karya lukis dengan media kanvas. Di bagian depan ini, perabotan seperti meja,  kursi sekaligus dinding rumah yang berbahan kayu juga menjadi  media lukisan.  Lebih lengkap lagi, teras seluas sekitar 3 x 5 meter itu juga tempat  berkarya dan berdiskusi soal apa saja, utamanya seni.       

Rumah Sigit Suntoro yang juga markas Republik Sepur/ foto: Ernaningtyas

Sekitaran rumah menjadi areal pendukung. Di depan rumah yang sekaligus markas Republik Sepur itu, ada tanah lapang.  Lapangan ini, setiap tahunnya menjadi saksi bisu perayaan  Ulang Tahun Republik Sepur, entah berupa OTS (on the spot) sebuah aktivitas melukis bersama-sama  secara langsung, juga pentas musik.  Di tempat ini pula   even lomba melukis digelar. Bertempat di lapangan itu pula, ada  bangunan fasilitas umum untuk ruang pamer lukisan, tempat latihan bermusik juga menabuh gamelan dan penyimpanan barang-barang.  Rapat-rapat  RW atau RT juga dilaksanakan di rumah ini. 

Sebuah gazebo menjadi bangunan paling depan yang menohok mata pengunjung saat menuju kediaman Presiden Republik Sepur.  Bangunan terbuka  ini menjadi salah satu tempat Sigit mendampingi generasi muda atau siapa saja yang berniat mengasah kemampuan melukis. 

Kap lampu dari galon mineral/ foto: Ernaningtyas

Karya lukis abadi yang ada di tempat ini adalah kap lampu, tiga buah jumlahnya, galon bekas air mineral medianya, bunga-bunga cantik  gambarnya.   Tudung lampu cantik hasil karya Sigit dan kawan-kawannya itu menjadikan sepak terjang Sigit dan koleganya kian lengkap.  Sebab, tak hanya berkesenian, isu lingkungan pun mereka garap.  Bukankah kemasan berbahan plastik selama ini menjadi sumber sampah yang tak pernah ada habisnya?

Tak hanya seni lukis, pada waktu-waktu khusus yang telah dijadwalkan, dari arah tempat seniman Republik Sepur berkegiatan, terdengar alunan musik, baik keyboard maupun gamelan.  Pada saat itulah para seniman musik sedang berlatih. Begitulah, kesan sederhana tapi manis mengemuka di salah satu sudut wilayah yang menjadi bagian dari kampung Kledungkradenan, Banyuurip, Purworejo, tempat keseharian seniman Republik Sepur meniti hari-harinya.          

Termotivasi FKY

Mengalir seperti air melewati sungai,  panjang, berkelok, terjal berbatu, kadang juga datar dan suatu kali mendapati kejutan.  Begitulah ibaratnya perjalanan Sigit hingga saat ini berlabuh di Republik Sepur. 

“Dulu saya bekerja di Perum Semen Cibinong Bogor menjadi sekuriti, juga membuka warung bakso,” kata Pak Pres.  Setelah ontran-ontran reformasi tahun 1999, ia memilih pulang kampung.  Di kampungnya Kledungkradenan itu ia mengisi waktu dengan belajar melukis secara otodidak.  “Saya belajar melukis hanya berbekal melihat saja,” tambahnya. 

foto: Ernaningtyas
foto: Ernaningtyas

Seandainya Sigit tak memiliki minat dan bakat alam, mungkin belajar melukis dengan melihat itu bukan perkara mudah.  Untungnya, hobi melukis itu sudah ia tekuni sejak kecil walau belum pernah sekalipun ia masuk ke sekolah formal khusus untuk mengasah ketrampilannya melukis.  Ia berkisah, dulu sewaktu kecil  ia banyak berada di Yogyakarta. 

Geliat pelukis jalanan Malioboro mengisi hari-harinya di kota budaya itu.  “Sepulang dari Malioboro, saya praktek melukis dengan media seadanya seperti kaleng, karton, tripleks bekas.  Apa saja saya corat-coret karena ingin sekali melukis,” paparnya.   

Sewaktu kembali ke Purworejo dari Bogor pada tahun 1999, Sigit melihat bahwa di kota asalnya itu tak ada geliat seni.  “Tahun 99 itu juga saya menggelar on the spot, melukis bareng-bareng di alun-alun Purworejo.  Hanya ada sepuluh pelukis yang bergabung,” tambahnya sambil menyeruput kopi tubruk. 

Tahun 2001, ada progres dalam proses Sigit menapaki hidup berkesenian.  Ia mulai melukis dengan menggunakan cat  minyak.  Seorang pegawai museum menawarinya ikut meramaikan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).  Selain memajang lukisan, Sigit memanfaatkan momentum itu untuk berjualan bakso.  

Sampai dengan even FKY tahun 2003, Sigit mengambil bagian dengan peran yang sama, memamerkan lukisan sekaligus berjualan bakso.  Salah satunya adalah  FKY yang berlangsung di Benteng Vredeburg dengan ketua panitia pelukis senior Godod Sutedjo.  “Saya sangat termotivasi oleh FKY, waktu itu gempar sebab lukisan karya tukang bakso laku,” kata Pak Pres sambil tersenyum lebar. 

foto: Ernaningtyas

Perjalanan selanjutnya membawa Sigit untuk melebarkan sayap.  Tahun 2003, ia menggelar  pameran tunggal di Salaman, Magelang.  “Saya menyewa stand di sebuah ruko, dan saat itu yang membuka pameran Bupati Magelang,” tuturnya.  Seorang pengusaha setempat, Darwanti, membeli empat buah.  Kolektor lain, membeli sebanyak tiga buah.  Masih ada lagi peminat yang memborong lukisannya.  Kala itu sejumlah sembilan lukisan laku terjual dengan nilai total 25 juta. 

Uang sebesar itu dipergunakan Sigit untuk modal usaha. Kebetulan pula, pada tahun 2004 pecah tragedi bom Bali yang berimbas pada melemahnya geliat kehidupan seni rupa khusunya pasar lukisan.   Lantas Sigit membuka konter hape.  Tempatnya ia sewa di pinggir jalan yang ramai di Purworejo. 

“Selama tiga tahun saya berhenti melukis dan celakanya konter hape bangkrut,” tuturnya.  Kehidupan yang mengalir selanjutnya adalah Sigit menjadi disributor rokok.  Namun bisnis ini pun tak mampu berlanjut.  Atas saran istri dan keluarganya, Sigit menghentikan semua aktivitas bisnisnya.  “Sudah nggak usah bisnis lagi,” saran sang Istri seperti yang dituturkan Sigit.

Selama menjalankan bisnis, Sigit berhenti melukis.  Atau sesekali melukis tapi sama sekali tidak fokus. Tahun 2005, seperti mendapatkan energi baru, Sigit kembali fokus melukis.  Genre lukisan Sigit dekoratif, sebab, di sinilah ia menemukan pasarnya.  “Saya mengikuti selera pasar karena butuh hidup,” tegas Sigit. Order mendekor dinding atau populer dengan sebutan lukisan mural pun acapkali ia kerjakan.  Cukup murah Sigit memasang tarif.  Untuk luas 1 m2 ia mematok harga Rp 200 – Rp 250 ribu.  “Semua cat saya yang menyediakan,” imbuhnya.  

Tahun 2009 Sigit menang Lomba Sampoerna Hijau.  Kala itu ia membuat miniatur gapura yang mewujudkan mimpi bersama.  Tahun 2010 kembali ia menyabet juara pertama pada ajang yang sama dengan tema Sembilan Bintang.  Uang hadiah senilai Rp 7,5 juta ia sumbangkan untuk membangun pos ronda dan gapura. 

Republik Sepur

Sigit bukan tipe pribadi yang memikirkan diri sendiri.  Sebab, jika itu yang terjadi maka dengan melukis dan laku terjual dengan nominal sekitar Rp 2,5 juta per bulan pun ia bisa hidup tenang bersama keluarga.  Jumlah itu masih ditambah honor mengajar di beberapa sekolah Rp 50 ribu per dua jam dan sesekali melukis mural.  

Uswa Jasmadi/foto: Ernaningtyas

Tetapi, lebih dari itu, Sigit ingin kehidupan berkesenian ini menyebar di seluruh pelosok  Purworejo.  Karena itu pada tahun 2011 ia mendirikan Republik Sepur, sebuah tempat untuk menghidupkan kegiatan berkesenian yang lebih luas, tidak hanya sekadar melukis tapi juga bermusik.  

Banyak anak berbakat memekarkan potensi mereka di Republik Sepur.  Saat ini Sigit mendampingi 20-an anak-anak dan remaja belajar melukis.  Soal tarif tak pernah menjadi perhitungan Sigit.  Yang mampu diharapkan mengisi kas Rp 50 ribu per bulan.   Saat JayakartaNews menyambangi Republik Sepur pekan silam, di rumah Sigit sedang ada pemuda bernama Uswa Jasmadi.  Ia berasal dari Darmasraya, enam jam perjalanan dari Padang Sumatra Barat ke arah Jambi. 

Sejatinya ia memiliki skill di bidang seni patung.  Tetapi karena   tidak cocok, ia memilih mekar di bidang seni lukis.  “Saya memfasilitasi dia melukis di sini,” kata Sigit.  Ia menambahkan bahwa Uswa Jasmadi adalah kawan lama yang sempat hilang kontak, kemudian muncul lagi.  Kala itu baru satu minggu ia berada di Republik Sepur.

Tahun 2013, Sigit direngkuh Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA)  Kutoarjo untuk  mendampingi anak-anak binaan belajar melukis.  Sebelum Pandemi Covid 19, dua kali seminggu  ia menyambangi LPA itu.  Posisi sekarang sedang vakum.  Di tempat itu Sigit menyadari bahwa kegiatan menggambar adalah sebuah terapi.  Melukis membantu keseimbangan motorik, membuat senang sekaligus mengendalikan mental anak-anak binaan.  Sigit melakukan semua itu dengan gembira walapun keberadaannya sebatas pengabdian.  “Tidak ada anggaran, tetapi saya merasa terpanggil,” tuturnya. 

Pada tahun 2014, di LPA kutoarjo sedang ada seorang peneliti dari Jepang, Yoko namanya.  Wanita negeri Sakura itu mendapatkan rekomendasi dari Universitas Diponegoro untuk melakukan penelitian S3-nya di LPA Kutoarjo. 

Yoko, karya Sigit Suntoro/foto: Ernaningtyas

“Akhirnya saya berteman dengan Yoko, kemana-mana saya antar, bahkan ia memilih menginap di Republik Sepur,” tutur Sigit.  Berkat Yoko, lukisan Sigit bisa sampai ke Jepang dan Hong Kong.  Paling mahal lukisannya ada di angka Rp 20 juta.  Yoko pun telah lama kembali ke negerinya.  Tetapi persahabatan dengan Yoko masih berlanjut.  “Yoko masih suka mengirim uang untuk kami,” imbuhnya.

Salah satu murid Sigit bernama Sion Yugo Prakoso asal Gombong.  Awalnya ia melukis di atas kertas, lalu kanvas dan akhirnya menjadi pelukis kaos.  “Dari kegiatan ini dia bisa punya duit, bangga melihat anak berprestasi dan akhirnya bisa mandiri,” katanya.  Masih banyak anak-anak yang mekar bakat melukis maupun bermusiknya bersama Republik Sepur.   

Tak hanya anak-anak atau pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia seni lukis atau musik yang bertandang ke Republik Sepur.  Tahun 2016 Ganjar Pranowo yang sekarang menjabat Gubernur Jawa Tengah pernah menemuinya.  Gubernur yang merakyat itu membantu pembangunan toilet.

Sigit Suntoro memiliki semboyan  bahwa hidup itu berhasil jika bisa bermanfaat bagi orang banyak.  Menurutnya ketika banyak orang merasakan manfaat maka saat ia melangkah ke mana pun ada banyak teman, bahagia rasanya. 

“Saya ingin membangun Purworejo melalui bidang kesenian.  Semoga ke depan  Purworejo akan menjadi barometer seni budaya dan menjadi kota wisata kedua setelah Yogya,” pungkasnya.  Saat ini ia sedang berproses meraih impian itu.  Pada tanggal 10 Agustus silam, pemda setempat melantik pengurus Dewan Kesenian Purworejo.  Sigit berada di Komite Seni Budaya. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *