Feature

Megawati Soekarnoputri Bertanya tentang Pacar Bapaknya

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Suatu hari, Megawati Soekarnoputri bertanya kepada bapaknya, “Apa benar Bapak pernah punya pacar noni Belanda?” Sambil tertawa lebar Bung Karno menjawab, “Iya, betul itu! Tapi bapak tidak pernah punya maksud menjadikannya sebagai istri.”

Mien Hessels, itulah nama noni Belanda yang pernah dipacari Bung Karno, ketika remaja. Peristiwa itu terjadi saat Bung Karno menuntut ilmu di HBS Surabaya, dan mondok di kediaman HOS Cokroaminoto. Barangkali Bung Karno tidak sepenuhnya bicara jujur kepada putri kesayangannya.

Dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams), Sukarno muda begitu mencintai gadis berambut jagung itu. Suatu sore, ia dandan necis lengkap dengan beskap dan blangkon, mendatangi kediaman keluarga Hessels.

“Goedenavond!… Goedenavond!…,” Bung Karno uluk salam “selamat sore” dalam bahasa Belanda. Tak lama kemudian, Tuan Hessels keluar diiringi Mien Hessels di belakangnya.

Tanpa dipersilakan masuk, apalagi duduk, Tuan Hessels menghardik Sukarno dengan pertanyaan, kurang lebih begini, “Mau apa kowe orang inlander datang kesini?!”

Diceritakan dalam buku Cindy Adams, dengan lutut gemetar, suara tercekat di tenggorokan, keluar juga kalimat niat melamar Mien Hessels menjadi istrinya. Drama selanjutnya bisa Anda bayangkan. Tuan Hessels terperanjat, muka pucat mendadak merah, lalu menghardik Sukarno dan mengusir dari halaman rumahnya dengan sangat kasar.

Tidak kapok dengan kejadian itu, Sukarno muda dikisahkan memacari noni-noni Belanda yang lain. Jumlahnya genap empat orang. Lepas dari motif memperistri bule, Bung Karno sejatinya punya maksud memperlancar bahasa Belanda. Menurutnya, itulah satu-satunya cara paling mudah –lagi menyenangkan—belajar dan memperlancar bahasa Belandanya.

“Banyak kisah lain tentang Bung Karno, ayah saya, yang belum diungkap. Ini semua terjadi karena adanya kebijakan politik desukarnoisasi,” ujar Megawati.

Mega berbicara hampir satu jam, sebagai keynote speaker Pembukaan Pameran Daring “Bung Karno dan Buku-bukunya” yang diselenggarakan Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, bekerjasama dengan Historia.id, Selasa (24/11/2020) sore.

Acara ini juga dihadiri Mendikbud Nadiem Makarim, pejabat Kemendikbud, dan undangan lain. Di antaranya Sekjen DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto, Anggota DPR RI, Puti Guntur Soekarno, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, Dewi Murwaningrum, dan lain-lain.

Megawati Soekarnoputri

Imbas Desukarnoisasi

Dalam konteks lain, Mega meminta Mendikbud Nadiem Makarim yang ada dalam acara live streaming via YouTube dan Facebook itu, untuk lebih memperhatikan budaya literasi di kalangan generasi muda. Termasuk menindaklanjuti acara hari itu, tentang Bung Karno dan Buku-bukunya.

Era “desukarnoisasi” sudah berlalu, tidak perlu ada ketakutan lagi, apalagi larangan untuk menggali hal-hal baik dari Proklamator Kemeredekaan kita, Ir Sukarno. “Jangan seperti dulu. Saya ini termasuk yang kena getah desukarnoisasi, sampai-sampai tidak bisa melanjutkan kuliah,” ujar Mega.

Kita, kata Mega, harus menjadi bangsa yang kokoh berdiri di atas sejarah bangsa. Tanpa itu, kita akan diombang-ambingkan oleh keadan itu sendiri. “Dulu sempat seperti ada upaya untuk menghapus sejarah yang terkait dengan Sukarno, lalu tiba-tiba akan sejarah itu seperti dipenggal dan disambung dengan sejarah masa kini. Tidak bisa. Karena itu pula, banyak generasi sekarang seperti lupa sejarah,” papar Mega.

Jika Sukarno dikatakan Mega sebagai orang hebat, orang yang sangat cerdas, bukan karena ia adalah bapaknya. “Anugerah gelar doktor honoris causa dari berbagai negara hingga berjumlah 26, adalah bukti nyata. Saya saja sampai hari ini baru punya 9 gelar doktor HC,” imbuh mega disusul tawanya.

Terkait kegemarannya membaca, Mega menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sebagai orang yang pernah kuliah psikologi, Mega mengatakan bapaknya memiliki memori fotografi yang kuat terkait buku-bukunya yang berjumlah antara 20.000 sampai 30.000 judul dalam berbagai bahasa: Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan lain-lain.

Bung Karno memiliki kemampuan mengingat detail, termasuk judul buku, letak buku, dan isi buku. “Jangan coba-coba memindahkan, atau meletakkan buku serampangan, beliau akan tahu, dan kalau itu terjadi pasti marah. Makanya, kami semua anak-anaknya tidak berani menyentuh buku-buku beliau tanpa seizinnya, atau tanpa disuruh olehnya,” ujar Mega.

Kamar tidurnya di Istana Merdeka begitu besar, karena bekas kamar tidur gubernur jenderal Hindia Belanda. Dari kamar yang begitu besar, praktis hanya menyisakan sedikit ruang di atas tempat tidur. Sisa space itulah yang digunakan Bung Karno tidur. Kiri kanannya buku. Lemari penuh buku. Bahkan, sampai di lantai pun terdapat tumpukan buku-buku Bung Karno.

“Di kamar mandi, ada satu rak buku dua susun. Saya tahu, buku-buku yang ada di rak atas itu adalah buku-buku yang sudah dibaca dan sudah diberi catatan-catatan. Sedangkan buku-buku yang ada di rak bawahnya, adalah buku-buku yang belum dan akan dibaca,” tutur Mega tentang kebiasaan ayahnya.

Sukarno tidak hanya sekadar membaca. Ia masuk dan menyelami jauh ke dalam isi buku. Baginya, itu semacam pengembaraan intelektual. Pengembaraan pengetahuan yang bebas dan merdeka. Dari buku-buku yang dibaca, Sukarno seperti “berkenalan dan berdiskusi” dengan para tokoh dunia dari berbagai aliran politik dan disiplin keilmuan.

Setelah diendapkan, kemudian dijadikan bahan tulisan yang menggugah kesadaran nasionalisme bangsa. Tradisi menulis terus dilakukan bahkan ketika ia sudah menjabat Presiden Pertama Republik Indonesia (18 Agustus 1965 –  12 Maret 1967). “Coba mas Menteri, bisa nggak ada kurikulum tentang gagasan-gagasan Bung Karno yang sudah tertuang dalam banyak buku itu,” kata Mega ditujukan kepada mas Menteri Nadiem Makarim.

Kita harus bangga punya sosok seperti Sukarno, yang reputasinya sudah diakui dunia. Prestasi Konferensi Asia Afrika adalah prestasi yang belum pernah ditandingi oleh pemimpin dunia mana pun. Dua-per-tiga pemimpin dunia hadir, dan menjadi ancaman serius bagi hegemoni blok Barat dan Timur ketika itu. KAA juga menginspirasi gerakan kemerdekaan di banyak negara.

Sementara di dalam negeri, rakyat juga tidak bisa dibelokkan dari fakta sejarah bahwa Sukarno seorang proklamator, juga pahlawan yang hidupnya selalu didedikasikan bagi perjuangan mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia, meski dengan risiko dipenjara dan dibuang selama delapan tahun lamanya.

“Kapan lagi kita bisa punya orang sekaliber beliau? Mungkin 25 tahun lagi, genap 100 tahun setelah Indonesia merdeka,” kata Mega.

Kembali kepada Menteri Nadiem Makarim Mega berpesan agar potensi generasi muda harus diberi tempat. Banyak pemuda Indonesia yang cerdas. Tidak saja di kota-kota besar, bahkan sampai ke pelosok-pelosok negeri. “Pak Nadiem, please kasih kesempatan kepada mereka,” pintanya.

Untuk mengangkat potensi generasi muda, tidak perlu melalui simposium dan seminar. “Jangan hanya ngomong, tapi buktikan. Di desa-desa banyak anak pintar. Nah, posisi negara di mana? Apakah perlu digalakkan lagi semacam pola orang tua asuh agar menjamin pendidikan mereka ke depan? Percayalah, tidak perlu simposium dan seminar untuk berbuat. Lakukan saja,” tegas Mega. (roso daras)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version