Kabar

Mafia Tanah adalah Mafia Hukum

Published

on

JAYAKARTANEWS— Mafia tanah adalah mafia hukum. Orang yang bisa merebut hak kepemilikan tanah pihak lain, pasti tidak bekerja sendirian. Dalam urusan perkara perdata, orang itu harus bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain. Bukan mustahil, sambil menjalankan perkara perdata, orang itu juga melakukan gempuran melalui media dan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana.

Irjen. Pol. (Purn) Ronny F. Sompie menegaskan hal itu Sabtu (2/7) pada forum diskusi terbatas (focus group discussion atau FGD) di Bintaro, Jakarta Selatan. “Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerjasama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat,” ujar Sompie. “Jadi memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum.”

Diskusi terbatas bertajuk ‘Konflik Pertanahan’ tersebut digagas oleh advokat Dr Ir Albert Kuhon MS SH. Antara lain dihadiri gurubesar ilmu hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono SH MH, Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang sekaligus Ketua Pengurus Daerah Ikaatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang Mumu Mugaera Djohar SH MKn, akademisi dari Universitas Nahdatul Ulama Indonesia Amsar Dulmanan dan Hasan Muaziz SH MH.

ilustrasi foto: diskusi pertanahan Sabtu 2 Juli 2022

Tidak Konsisten

Menurut Mugaera Djohar, sengkarut masalah pertanahan di Indonesia antara lain disebabkan sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsisten dalam menegakkan aturan. UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA mencabut Agrarische Wet sebagai yang diterbitkan Belanda tahun 1870. 

Sesuai dengan aturan, segala bentuk hak-hak tanah yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987. Nyatanya masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti Leter C atau girik, Leter D atau petok, verponding dan lain-lain.

Tragisnya, dalam  banyak kasus perdata tanah, Leter C atau Leter D masih juga diterima sebagai alat bukti. Padahal sudah pernah ditegaskan bahwa keabsahan hak-hak lama maupun Leger C dan Leter D sudah tidak berlaku lagi.

Kepastian Keadilan

Leter C adalah catatan mengenai pajak tanah, bukan bukti kepemilikan tanah. Menurut notaris itu, tidak ada lagi Leter C yang asli, sudah digantikan dengan catatan Leter C. “Hal-hal seperti ini mestinya dipahami oleh para aparat penegak hukum, termasuk para hakim,” ujar Mugaera.

Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan, sering mengakibatkan putusan perkara pertanahan menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan. Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok. “Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi Leter C yang asli,” ujar Mugaera.

Sompie menegaskan, hakim perkara perdata sering bergeming tidak memeriksa perkara secara materiil. Pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan. “Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin,” kata Sompie, ”Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan.”  Albert Kuhon mengungkapkan, diskusi itu digagasnya karena keprihatinan akan maraknya perkara perdata tanah. Setiap tahun rata-rata ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di seluruh pengadilan di Indonesia. “Para peserta diskusi menyarankan agar hasil diskusi disampaikan kepada pihak yang berkompeten,” tutur advokat yang juga wartawan senior itu.***din

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version