Feature

Kupanggil Dia “Jendral”

Published

on

In Memoriam Poniman

Eddy Koko

TIBA-TIBA ada pegawai baru di meja Sekretariat Redaksi Harian Jayakarta sore itu, ketika saya datang hari Sabtu. Ruang redaksi sepi karena Sabtu memang libur sebab esok koran tidak terbit.

Atok (T. Pramugiarto, staf sekretariat redaksi) lalu memperkenalkan, tapi Poniman sendiri yang menyebut namanya seraya bersalaman. Atok Sabtu itu menemani Poniman mengarahkan tugas yang harus ditangani.

“Nah, kalau orang ini tiap hari minta film. Kasih aja,“ kata Atok pada kesempatan berkenalan. “Iya, sehari lima roll. Asa 1600,” kata saya. Film ASA 1600 mahal dan langka. Atok langsung teriak, “Nggak. Jangan. Satu aja. Kasih ASA 400!” Poniman bingung.

Itu waktu pertama kali saya bertemu Poniman. Lupa tahun berapa. Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 21 Desember 2020 Poniman kontak saya, mengabarkan ada buku baru tentang HAM. Kemudian saya ambil menggunakan jasa GoSend ke Kantor Komnas HAM. Karena Poniman tidak di kantor jadi saya tidak datang sendiri. Selain juga kondisi pandemic corona seperti ini. Jumat (15/1/2021) lalu Poniman dipanggil Tuhan. Berpulang. Kaget dan sedih mendengarnya.

Oleh sebab saya tiap hari butuh film untuk tugas sebagai wartawan foto, maka setiap hari saya berinteraksi dengan Poniman sebagai juri kunci loker penyimpan film. Sampai sekarang rasanya saya masih ingat bagaimana gaya Poniman menarik laci loker, ambil film dan kasih saya, mencatat di buku kecil panjang dan dorong laci lagi. Jebret! Cepat. Berbeda dengan Ato yang nariknya pelan nutupnya juga pelan. Bisa jadi saya bersama Mahmud dan Hedi merupakan wartawan Jayakarta yang berinteraksi dengan Poniman setiap hari.

Foto kenangan “Jendral” Poniman.

Keakraban saya dengan Poniman membuat saya panggil dia Jendral. Namanya mengingatkan saya kepada jendral militer terkenal era Orde Baru, Jendral Poniman. Lama kelamaan teman-teman juga memanggilnya jendral. Poniman hanya ketawa. Tapi wajahnya memang selalu ketawa. Dia tidak punya musuh.

Keakraban dengan Poniman juga memperlancar urusan uang pengganti jika tugas luar kota atau pembelian sesuatu terkait liputan. Karena Poniman selalu pulang larut membuat dia juga akrab dengan awak pengelola Jayakarta Minggu. Hal ini juga mempermudah urusan honor penulisan mereka yang membantu mengisi Mingguan Jayakarta, seperti Ivan Nestor, sekarang musisi terkenal. Penulis lepas yang menulisnya di ruang redaksi Jayakarta malam hari tidak harus ke bagian keuangan ambil honor tulisan siang hari. Merepotkan harus mondar-mandir. Poniman sudah mengurus bersama Atok dan malamnya dibayarkan.

Koran Jayakarta bubar 1999. Sejak itu saya tidak pernah bertemu Poniman lagi. Sekitar 15 tahun kemudian melalui grup WA Koran Jayakarta saya bertemu lagi dengan Poniman. Tentu juga dengan teman-teman Jayakarta lainnya. Seakan tidak pernah berpisah lama, kami masih saling teriak memanggil. Poniman berceritera kerja di Komnas HAM dan kebetulan beberapa komisionernya saya kenal baik. Poniman pun menyampaikan salam saya.

Poniman janji akan mampir ke rumah saya di Pamulang karena dia sering ke Pamulang katanya. Rupanya sering ke rumah Nana. Saya sering jumpa Nana karena anaknya dan anak saya satu les Bahasa Inggris di Pamulang. Tapi rencana Poniman mampir ke rumah saya belum sempat terlaksana.

Banyak kenangan saya dengan Poniman. Kecil-kecil tetapi banyak. Rasa haru muncul ketika mengingat peritistiwa kebersamaan kami, terutama saat deadline Mingguan Jayakarta. Ruang redaksi sering tinggal Poniman membereskan laporan hari itu dan kami teman-teman Mingguan Jayakarta pimpinan mBak Iswati.

Sesekali Mawi (lay out) lewat, mampir ke meja Poniman, sambal kasih kode rokok. Teman-teman bisa membayangkan sendiri bagaimana wajah Poniman, khas tertawanya, mengusir Mawi, juga dengan khas nyengirnya, pergi karena gagal “malak” Poniman. “Namanya juga usaha,” kata Mawi.

Ketika selesai kerja Poniman selalu pamit pulang duluan kepada kami yang lembur deadline Mingguan Jayakarta. Saya ingat, selalu Poniman pastikan loker terkunci, pakai jaket dulu, sudah rapi diretsleting barulah keluar kantor menuju parkir vespanya. Haru saya ingat hal itu. Membekas sekali dalam ingatan saya.

Sahabat baikku, orang baik, Poniman, kemarin pulang duluan. Doaku untuk Poniman. Semoga Poniman tidur dalam mimpi indah di rumah Tuhan. Suatu hari kita bertemu di sana. “Tolong siapin film ASA 1600, ya, Jend. Pasti ada banyak di Rumah Tuhan. Selamat tidur, Jend!  (eddy koko)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version