Kabar

Derita Masyarakat Afghanistan tak Berkesudahan, Ranjau dan Mortir Sisa Perang Bertebaran di Seluruh Negeri

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Situasi kemanusiaan di Afghanistan masih jauh dari baik. Negeri yang mengalami 40 tahun perang dan masih mungkin konflik kembali akan merebak di masa depan. Bisa dibilang, seluruh wilayah negeri ini berserakan segala benda-benda berbahaya sisa perang berupa ranjau, mortir, peluru meriam, bahkan bom-bom yang belum meledak. Semua ini harus dibersihkan. Sebelum Taliban berkuasa, pemerintah sudah punya sebuah lembaga nasional yang mengkoordinasi upaya pembersihan. Namun semua upaya ini terhambat setelah Taliban berkuasa.

Akibatnya, seperti laporan Reuters ini. Anak-anak Afghanistan di desa Bolak Wandi, Propinsi Helamand, menemukan tonjolan besi yang terkubur di tanah. Mereka berkumpul dan sedikit bertengkar mengenai siapa yang akan menggalinya dan menjual besi itu ke pengepul. Mendadak tonjolan besi (sebuah mortir) meledak dan membunuh satu anak. Belakangan tiga anak lain meninggal akibat luka-lukanya  dalam perjalanan ke rumah sakit. Kemudian, satu anak lagi meninggal saat baru sampai di rumah sakit.

Berita seperti ini hampir tidak ditemukan pada pemberitaan arus utama media massa kita. Namun penderitaan rakyat Afghanistan masih terus terjadi dan makin lama makin sayup terdengar.

“Saya tidak menyalahkan siapapun,” ujar Haji Abdul Salam, ayah dari dua anak yang jadi korban. Dia terlihat sedang berupa keras menenangkan isterinya, yang menangis tersedu-sedu.

“Mortir ini bisa saja peninggalan Amerika atau Uni Soviet. Tapi ini bukan hanya ada di daerah kami, Afghanistan harus membersihkannya.”

Idris (8 th) kehilangan kakinya akibat ranjau darat di Rumah Sakit Palang Merah, Kabul, Afghanistan 9 April 2022 (Foto Reuters)

Anak-anak Afghanistan masih setiap hari menghadapi bahaya ledakan ranjau dan berbagai bahan peledak lain. Sementara misi perbersihan sisa-sisa bahan peledak dalam berbagai bentuk tidaklah mudah. Malah makin sukar.

Tadinya, ketika Taliban kembali berkuasa dan artinya juga perang berakhir, diharapkan usaha penjinakan bahan peledak di wilayah-wilayah pertempuran akhirnya bisa dilakukan. Namun banyak negara telah membekukan bantuan kepada pemerintah Afghanistan. Alasannya, mereka tidak ingin memperkuat pemerintahan Taliban yang dipandang kurang menghormati hak azasi manusia serta menggekang hak-hak perempuan.

Akibat, yang tidak diperkirakan sebelumnya, lembaga pemerintah yang bertugas membersihkan ranjau dan bahan peledak lain kehilangan dana sekitar 3 juta dolar. Mereka juga terpaksa memberhentikan 120 stafnya — artinya: sebagian besar pegawai. Karena, tidak bisa membayar gaji mereka.

Sayed Danish, wakil ketua Direktorat Koordinasi Aksi (Penghapusan) Ranjau (DMAC) mengatakan, “Semua sanksi itu sangat berpengaruh. Kami tidak bisa melakukan tugas strategis yang jadi tanggung jawab utama.”

Lenyapnya dana bantuan pembersihan ranjau ini punya konsekuensi besar. PBB memperkirakan 80% korban bahan peledak sisa-sisa perang adalah anak-anak. Karena mereka biasanya mengumpulkan besi sisa-sisa perang untuk dijual — komoditi yang laku dipasaran dan bisa membantu orang tua mereka.

Dalam tujuh bulan terakhir ini, sudah 300 anak-anak terbunuh akibat ranjau dan berbagai peluru dan bom, yang tidak meledak saat ditembakkan.

Saat ini, bantuan internasional sudah mengalir kembali ke Afghanistan. Tetapi hanya untuk bantuan kemanusiaan saja dan tidak melalui pemerintah Taliban. Sudah ratusan juga dolar dikucurkan untuk menolong 40 juta warga Afghanistan, yang membutuhkan bantuan pangan dan obat-obatan. Namun sebenarnya sangatlah dibutuhkan menumbuhkan kemampuan pemerintah dalam pelayanan public dan juga perbankkan.

Direktorat Koordinasi Aksi (Penghapusan) Ranjau (DMAC) membutuhkan dana 9 juta dolar setahun. Dana berasal dari lembaga bantuan internasional. Bank Dunia mengumumkan dana ini dibekukan setelah Taliban meraih kekuasaan.

Upaya pembersihan ranjau dan bahan peledak lain sebagian besar dikerjakan oleh lembaga bantuan internasional. Namun DMAC memberi arahan strategis untuk memprioritaskan wilayah yang sangat berbahaya. Selain itu, lembaga ini juga menyediakan peta seluruh negeri, yang ada ranjau dan bahan peledak lainnya. Peta ini sangat berguna agar tidak ada tumpang tindih dalam upaya pembersihan ranjau.

Soren Sorensen, ketua Humanitarian Disarmament and Peace Building dari Dewan Pengungsi Denmark mengungkapkan “Upaya pembersihan ranjau akan berjalan baik jika ada koordinasi di tingkat nasional dan pemantauan terus-menerus. Pada saat ini, semua upaya (pembersihan ranjau dan bahan peledak lain) dilakukan di wilayah-wilayah tertentu, yang penunjukkannya sudah lama dilakukan. Ini tidak efektif dan tidak memberi solusi di kawasan paling rawan.”

Sorensen memberi contoh di jalan menuju Kabul ada desa kecil di sebelah timur distrik Khaki Jabbar. Wilayah ini digunakan oleh Soviet sebagai pangkalan garis depan. Tahun lalu, tempat ini juga jadi kawasan pertempuran hebat antara pasukan pemerintah dengan Taliban. Ratusan peluru dan mortir sudah diledakkan atau dijinakkan. Tapi ada lebih dari 45.000 kilometer persegi wilayah yang belum tersentuh dan perlu dibersihkan. Ribuan berbagai jenis bahan peledak dan ranjau terhampar di seluruh negeri.

“Sebenarnya ada kesempatan bagus, saat ini, untuk benar-benar membersihkan negeri ini. Begitu banyak pekerjaan harus dilakukan, “imbuh Sorensen.

Sementara di perbukitan di luar Qafas Kalay, sekitar 25 kilometer timur Kabul, tim pembersihan ranjau, yang dilengkapi rompi dan kaca mata pelindung serta memakai alat deteksi metal sedang bekerja.

Mereka menempatkan bendera kecil di dekat ranjau, yang terkubur dan hampir tidak terlihat. Kemudian, ranjau era Soviet itu dilekatkan bahan peledak kecil dan ada kabel panjang (ratusan meter) ke sebuah pusat control lapangan. Ranjau diledakkan dan para pekerja kembali mengamati tanah jengkal demi jengkal mencari bahan peledak lainnya.

Hanya berjarak beberapa kilomter, anak-anak melihat poster yang menunjukkan berbagai jenis alat-alat peledak dan tempat-tempat yang mungkin bahan itu ada. Pendamping desa kemudian meminta mereka untuk tidak memegang atau mencongkelnya dari tanah. “Kita tidak pergi ke tempat-tempat seperti itu dan harus melapor kepada orang tua jika menemukannya.” Anak-anak mengulang kata-kata ini dengan antusias.

Penduduk sekitar sudah mulai menanami lahan, yang bebas ranjau dan berbagai alat peledak lain, dengan tanaman pangan, mulai dari gandum dan buah-buahan. Mereka juga bekerja di proyek irigasi, yang bisa membantu negeri yang sedang terancam kelaparan.

Sementara Kementerian Luar Negeri AS menegaskan mereka terus mendukung upaya pembersihan ranjau di Afghanistan dengan memberi dana kepada mitra LSM. Disebutkan, sudah dikucurkan dana sebanyak 720 juta dolar AS untuk bantuan kemanusiaan kepada Afghanistan sejak Agustus tahun lalu.

Akhir Juni lalu, pemerintah Afghanistan (DMAC) menyetujui PBB membuka kantor di Kabul. Namun karena pendanaan tidak ada, saat ini DMAC hanya memperkerjakan 30 staf dari 120, jelas Paul Heslop, ketua Program Aksi Ranjau dari PBB.

Dia menambahkan untuk program jangka panjang tanggung jawab koordinasi pembersihan ranjau harus berada di pemerintah dan bukan di lembaga kemanusiaan seperti PBB. “Kami ada dalam situasi, dimana pemerintah tidak diakui (internasional) dan kekurangan dana juga sangat menyulitkan. Bahkan jika anda bisa membayar seseorang, uang itu tidak bisa keluar dari bank. Kondisi sangat sukar bagi rakyat Afghanistan saat ini. Merekalah yang menderita.” (leo)

Sumber: Reuters  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version