Feature

Cermati Tarif, Fungsi Tol akan Efektif

Published

on

Jayakarta News – Agresif dan masif. Itulah kesan masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur sejak pemerintahan Joko Widodo. Fokus pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur terus berlanjut di periode kedua kepemimpinannya.

Totalitas itu bisa dilihat dari besarnya anggaran yang dialokasikan. Pada kurun 2015-2019 senilai USD 400 miliar. Sedangkan, periode 2019 – 2024 dialokasikan anggaran yang lebih besar lagi, yaikni US$ 412 miliar.

Infrastruktur yang dibangun menunjang pelbagai sektor kehidupan, sehingga meningkatkan produktivitas, mengembangkan perekonomian, yang ujung muaranya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur tersebut antara lain bandara, pelabuhan, jalan dan jembatan, bendungan, saluran irigasi, dan lainnya.

Concern pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur berulangkali disampaikan Presiden. Komitmennya pada infrastruktur dipertegas saat menyampaikan pidato tentang Visi Indonesia di Sentul, Bogor, pada Juli 2019.

“Pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan. Infrastruktur yang besar sudah kita bangun, ke depan akan kita bangun lebih cepat. Infrastruktur seperti jalan tol, jalur kereta api, kita sambungkan dengan kawasan industri rakyat, ekonomi khusus, pariwisata, persawahan, perkebunan, perikanan. Arahnya harus ke sana, fokusnya harus ke sana,“ papar Jokowi, ketika itu.

Meski masif, pembangunan infrastruktur Indonesia bukan yang terdepan. Menurut World Economic Forum, posisi daya infrastruktur Indonesia terhadap negara-negara Asia menduduki peringkat 72 dari 140 negara. Di wilayah Asean dan Cina berada di peringkat 5 setelah Singapura, Malaysia, Cina, dan Thailand.

Pembangunan infrastruktur yang cukup viral terutama di media sosial, ketika mulai beroperasi adalah Jalan Tol Trans Jawa (JTTJ). Anda tentu ingat, bagaimana para pemudik acap mengunggah kesan-kesannya terkait efisiensi waktu tempuh, juga keelokan view di beberapa ruas jalan tol yang dilalui. Satu-dua, terselip juga kabar tak mengenakkan saat terjadi kemacetan parah di Brebes Timur akibat bottle neck.

Itu bagian dari sejarah perjalanan infrastruktur kita, utamanya di Jalan Tol Trans Jawa. Hari ini, tersisa beberapa ruas jalan tol lagi sehingga genaplah jalan tol membentang dari ujung barat Merak sampai ujung timur Banyuwangi. Yang digunjing masyarakat menjadi kalimat-kalimat seperti ini, “Saya ke Surabaya hanya delapan jam!”

Dalam Wikipedia disebutkan, JTTJ merupakan jaringan jalan tol yang menghubungkan kota-kota di pulau Jawa. JTTJ membentang mulai Merak, Cilegon, di Provinsi Banten hingga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur. Jaringan jalan tol ini tersebut melanjutkan jalan-jalan tol yang sekarang sudah ada. Pada 20 Desember 2018, Jakarta-Surabaya resmi tersambung.

Jaringan JTTJ yang berujung hingga Banyuwangi sepanjang 1.350 km, kini sudah sampai Probolinggo. Sedangkan ruas Probolinggo-Banyuangi (Probowangi) sepanjang 194 km, masih dalam tahap penyelesaian.

Sementara jalan tol trans Sumatera (JTTS) masih dalam tahap pembangunan. JTTS membentang sejauh 2.878 km mulai Bakauheni Lampung hingga Banda Aceh. Jalan tol yang menghubungkan kota-kota ke jalan tol utama sepanjang 1.970 km. Karena tidak semua kota besar di Sumatera dilalui jalan tol utama.

Hingga kini JTTS yang sudah beroperasi di antaranya ruas Bakauhenii-Terbanggi Besar, Terbanggi Besar-Pematang Panggang, Pematang Panggang – Kayu Agung, Palembang-Indralaya, Medan-Binjai, Pekanbaru-Dumai, juga Aceh Sigil. Total rampung sepanjang sekitar 700 km.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR menargekan tahun 2024 semua ruas jalan tol yang menghubungkan kota-kota di Sumatera dengan investasi Rp 460 triliun bisa beroperasi. Saat ini, proses pembangunannya terus digenjot.

Di Pulau Sulawesi, terbentang pula jalan tol. Bahkan ruas Tol Manado-Bitung sudah beroperasi pada Juli tahun ini.

Banyak Manfaat

Muhammad Fauzan, Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya (Persero).

Dalam suatu acara, Maret lalu, Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya (Persero), Muhammad Fauzan, menyebut beberapa manfaat dari percepatan pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS). Keberadaan JTTS diharapkan membuat biaya logistik semakin rendah, percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, kemajuan di sektor pariwisata, peningkatan daya saing produk lokal unggulan, termasuk menambah pemasukan pajak dan aset negara. (Tempo, 14 Maret 2020).

Upaya mewujudkan pemerataan pembangunan mulai terealisasi. Asa keadilan tampak di depan mata. Infrastruktur khususnya jalan tol membuat antarkawasan tidak sekadar menjadi tersambung. Terhubungnya satu daerah dengan daerah yang lain dengan waktu lebih cepat mendongkrak geliat perekonomian makin bergairah.

“Arus distribusi barang dari satu kota ke kota lain jadi lancar,“ kata Dr Nuzul Achjar, MA, PhD. Adanya tol JTTS, menurut Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini membuat waktu tempuh lebih cepat, kapasitas angkut barang pun lebih besar sehingga merangsang peningkatan produksi.

Dr Nuzul Achjar, MA, PhD. (foto: iswati)

Peningkatan produksi out put-nya meningkatkan perekonomian. Efek selanjutnya penyerapan tenaga kerja. Dengan infrastruktur jalan semacam ini akan membuka peluang aglomerasi atau pengelompokan kegiatan, seperti kawasan industri, kawasan perdagangan dan lainnya.

JTTS yang akan terkoneksi ke Danau Toba, diharapkan pula meningkatkan kunjungan wisatawan ke kawasan pariwisata super-prioritas tersebut. Seperti kita ketahui Kaldera Toba elah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark. Hal ini tentunya meningkatkan pengembangan perekonomian budaya dan produk lokal.

Sedangkan, Dr Sutanto Soehodo, pakar transportasi dari Universitas Indonesia juga lebih menyoroti supply-demand antardaerah. Produk yang diperlukan suatu daerah bisa dipenuhi daerah lain, dikonsumsi ataupun dipakai penduduk daerah lain dalam keterhubungan atau transaksi yang lebih cepat.

Misalnya Palembang bisa supply produk tertentu yang tak dimiliki Medan. Pun sebaliknya Medan bisa supply produk yang tak dimiliki Palembang. Tenaga kerja pun merupakan “produk”. Misalnya ada ahli yang tinggal di Lampung yang sangat dibutuhkan Medan, maka seorang ahli tersebut dapat dengan cepat dan mudah, hadir atau dihadirkan.

Dr Sutanto Soehodo

Menurut Sutanto, terbentangnya infrastruktur jalan, terutama tol, ketersambungan supply-demand tadi terwujud dalam kegiatan sehari-hari. Jadi, kata Sutanto, kita saling mengisi, saling memenuhi kebutuhan yang sebelumnya mungkin sama sekali tak dapat dilakukan karena ketiadaan infrastruktur, atau sebelumnya sudah terhubung namun tidak efisien karena infrastrukturnya kurang memadai.

“Itulah, keberadaan infrastruktur khususnya jalan, yang berfungsi menyambung pelbagai keperluan manusia,“ kata Sutanto, guru besar Fakultas Teknik Sipil UI. Dan tentunya hal ini bisa dimaknai pula sebagai menyambung kebaikan. Mempermudah pemenuhan kegiatan lain, baik sosial, budaya pariwisata dan lainnya karena konektivitas.

Sutanto juga menegaskan, infrastruktur seperti jalan tol, dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Hasil produksi dari satu daerah dapat didistribusikan dengan cepat ke daerah lain. Tidak hanya produksi pertanian/perkebunan atau pun barang. “SDM sebagai subjek pembangunan juga bisa dikirim ke daerah atau ke kota dimana skill bersangkutan memang dibutuhkan,” tandas mantan wakil Rektor UI bidang akademik ini.

Diakui, Indonesia tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016, yang disusun World Economic Forum (WEF), Indonesia berada di urutan ke-62 dari 140 negara dalam pembangunan infrastruktur. Karena itu mantan Deputi Gubenur DKI bidang Industri, Perdagangan dan Transportasi ini menilai, langkah pemerintah yang terus menggenjot pembangunan infrastruktur merupakan pilihan tepat karena akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur Hijau

Terhubungnya tol dengan kawasan wisata, seperti ke Danau Toba yang diwarnai pula oleh lansekap hijau nan indah, kian mengukuhkan image infrastruktur hijau (green infrastructure). Proyek infrastruktur yang pada tahap perencanaan dan pembangunannya memperhatikan aspek konsep penataan ruang yang mengaplikasikan infrastruktur ramah lingkungan.

Dan Indonesia memang harus mengarahkan pembangunan ke sana, infrastruktur hijau. Di antaranya menerapkan penggunaan bahan-bahan yang ramah lingkungan, ataupun memproses bahan-bahan terkait infrastruktur guna mengurangi dampak lingkungan.

Sutanto menekankan penerapan atau pemanfaatan fly ash. Limbah dari pengolahan batubara ini bisa dipakai sebagai bahan untuk pengerasan jalan. Singapura banyak memanfaatkan fly ash sebagai bahan campuran yang memperkuat struktur bangunan.

Campuran batu dan semen, kemudian ditambahkan fly ash sebagai unsur pelengkap dapat memperkuat pengerasan jalan. “Ini memperkuat struktur dari bangunan itu,“ Sutanto menegaskan. Jadi debu sampah tersebut bisa di-recycle. Intinya, pemanfaatan sampah limbah pada akhirnya dapat menekan dampak lingkungan.

Di sisi lain, keberadaan tol itu sendiri, sesungguhnya telah menambah kapasitas jalan. Sehingga bisa mengurangi kemacetan, menekan polusi udara, serta mengurangi kebisingan. Dalam mitigasi udara, menurut Sutanto, lansekap jalan tol menunjukkan kondisi yang lebih ramah lingkungan.

Ke depan, transportasi diharapkan menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, yakni dengan energi terbarukan. Misal dari tanaman sawit, seperti biosolar, bukan energi fosil lagi. Jadi ke depan green energi yang harus kita kembangkan akan lebih maksimal lagi, harap Sutanto.

Gerbang tol Pekanbaru. (foto: Hutama Karya)

Terkait Tarif

Menengok ke belakang, setelah beroperasinya tol trans Jawa (JTTJ), tentu ada suatu pelajaran yang bisa dipetik. Bagaimana jika JTTS telah rampung dan beroperasi penuh. Terutama terkait minat dan animo masyarakat untuk memanfaatkannya, karena telah terbukti meningkatkan efisien dan diharapkan memacu bertumbuhnya perekonomian.

Beroperasinya tol trans Jawai sudah dinikmati masyarakat setahun terakhir. Paling banyak dibincangkan ketika “musim” mudik lebaran tahun 2018, juga tahun lalu. Betapa para pengguna jalan diuntungkan oleh efisiensi waktu yang cukup signifikan.

“Dari Jakarta sampai Yogya enam jam,“ kata Dian Kuintiti, karyawati Pegadaian yang kini tinggal di Cikampek. Angkutan umum, bus malam Jakarta-Solo hanya 7 jam. Sebelumnya 10-12 jam. Terlebih di hari puncak mudik, menjadi drama rutin bagi pemudik yang pulang kampung mendekati Lebaran. Tapi itu sudah berlalu.

Hal serupa dialami Hj.Fatrisna, warga Cilebut, Sukaraja, Kabupaten Bogor. Adanya tol trans Sumatera (JTTS), dari Jakarta ke kampungnya, Baturaja kini lebih cepat 3 jam. “Adanya tol trans Jawa dan JTTS kini perjalanan lebih cepat memang. Kita diuntungkan,“ aku Rini, pengusaha ekspedisi di Surabaya yang berdomisili di perumahan Citra Land, Sidoarjo, Jatim.

Ia menambahkan, “Kalau ke Sumatera Selatan (Palembang), paling kendalanya kalau ombaknya besar. Nunggu di penyeberangan saja lamanya karena cuaca. Setelah menyeberang, cusss... lancar sekali,“ kata ibu dua anak ini.

Sementara Moch. Basuki (61), mantan sopir truk dan bus antarkota antarprovinsi yang kini frelance, mengaku kalau bawa barang tidak selalu lewat tol. “Tol mahal. Rugi. Yang di rumah kebagian (uang)kecil,“ kata warga Cibubur, Jakarta asal Genteng, Banyuwangi.

Dia lebih memilih jalan non tol. Umumnya, kata Pak De, demikian sapaan akrabnya, para sopir truk cenderung lewat jalan biasa, istilah mereka. Kecuali jika harus cepat sampai karena ditunggu. Jadi Jakarta Cikampek saja lewat tol. Selanjutnya hanya memilih ruas tertentu.

Demikian pula sebaliknya ketika membawa semangka dari Banyuwangi. Non tol terus. Menurutnya, bos, atau pemakai jasa memberikan ongkos sesuai kesepakatan. Jadi mau naik tol terus atau tidak umumnya pilihan sopir sendiri. “Kalau saya diminta bawa mobil pribadi, umumnya masuk tol terus. Baru-baru ini ia mengemudikan mobil Inova Jakarta-Surabaya pulang pergi dengan 4 penumpang. Untuk tarip tol sekitar Rp 700 ribu, dan BBM sekitar Rp 1juta.

Dalam perjalanan ke Surabaya, di suatu ruas tol yang cukup panjang, tidak satu pun dijumpai truk atau angkutan barang. Sepi. Situasi seperti itu di tol dibenarkan Nuzul Achjar. “Rugi, kata mereka,” papar dosen FE UI ini.

Lho, bukankah lebih efisien? “Benar,“ sahutnya, “ namun jika dirasa tarif tol masih tinggi, ongkos distribusi itu muaranya akan membuat harga jual produk mahal. Jadi ujungnya konsumen atau masyarakat yang rugi.”

Mudik lewat jalan tol. (foto carmudi)

Itulah sebabnya, sebagian orang kadang mempertanyakan, jalan tol untuk siapa. Mungkin bisa diambil jalan tengah. Bagaimana agar tarif tol relatif terjangkau. Atau untuk barang-barang konsumsi terutama bahan pokok/pangan diberi kekhususan agar harga ke konsumen tetap wajar. Para sopir pun menikmati penghasilan pantas sekalipun sering atau banyak melintas di jalan tol.

Bukan selalu berlama-lama di jalan non tol. Karena efisiensi bisa meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhnya perekonomian. Sebab, infrastruktur dibangun untuk kesejahteraan masyarakat.

Karena itu, Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang kelak menjadi jalan tol terpanjang di tanah air dan jadi kebanggaan kita, kita harapkan menentukan kajian lebih cermat, khususnya dalam menentukan tarif. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi ruas-ruas tertentu yang sepi. Ini demi visi mulia, tujuan baik dan juga menghubungkan kepentingan antardaerah atau kota dapat benar-benar menjadi asa nyata yang bermakna. (iswati)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version