Connect with us

Drama & Teater

Calonarang Menyihir Taman Budaya Yogyakarta

Published

on

Pementasan teater dengan lakon "Calonarang" memukau penonton yang memadai Taman Budaya Yogyakarta. (foto: rakhmat supriiyono)
Oleh Rakhmat Supriyono

JAYAKARTA NEWS – Jika kesuksesan sebuah pertunjukan teater diukur dari banyaknya penonton maka pementasan “Calonarang” di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) boleh dibilang sukses besar. Concert Hall TBY berkapasitas 800 kursi dipadati penonton sesaat setelah open gate pada 16 Mei 2024 pukul 19.00 WIB.

Tak kurang dari seratus penonton rela duduk di lantai depan kursi VIP. Di bagian belakang dan samping auditorium berjubel penonton yang rela berdiri selama dua jam.

Naskah Calonarang ditulis oleh Oka Swastika Mahendra, sastrawa dan pemain teater. Menurut versi Oka, Calonarang adalah perempuan muda cantik jelita yang punya nama asli Dyah Nateng Girah.

Ia tinggal di desa Girah, satu wilayah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Airlangga. Selain parasnya yang cantik dan perilakunya santun, Dyah juga dikenal sebagai penari. Tak ayal banyak pemuda jatuh cinta. Sebaliknya, banyak gadis yang iri kepada Dyah.

Suatu hari pada acara Bersih Desa, datanglah seorang tamu terhormat dari Kerajaan Daha bernama Mpu Kuturan, didampingi Ki Demang. Kebetulan malam itu ada pementasan tari yang salah satu penarinya adalah Dyah Nateng.

Usai menari, atas perintah Mpu Kuturan, Ki Demang memanggil Dyah dan memperkenalkan dengan pemuda tampan di sampingnya. Dengan bujuk rayu manis, Ki Demang menyampaikan niatnya untuk menyunting Dyah Nateng sebagai istri Mpu Kuturan, pemuda tampan dan sakti kepercayaan Prabu Airlangga.

Dyah hanya bisa menjawab, “sendika dhawuh kanjeng, kami tidak akan berani menolak….” Kabar pernikahan Dyah Nateng dengan Mpu Kuturan segera tersebar di seluruh sudut desa. Banyak pemuda runtuh harapan untuk mendapatkan kembang desa itu. Di sisi lain, gadis-gadis bersukaria lantaran tidak ada lagi rival berat.

Empat tahun berlalu kemesraan Dyah dengan Mpu Kuturan telah membuahkan putri cantik, dinamai Ratna Manggali. Saat mereka bercengkerama di kebun, disaksikan dedaunan dan sejuk udara desa, Mpu Kuturan tiba-tiba berkata pada istrinya: Besok pekan depan aku diutus kerajaan untuk pergi ke seberang Timur, ke tanah Bali untuk menyebarkan ajaran kebaikan kepada orang-orang di sana.

Dyah Nateng: Berapa lama Kakang?

Mpu Kuturan: Agak lama, duapuluh pekan, mungkin lebih. Besok kalau aku harus di sana terlalu lama, kalian aku jemput, kita pindah ke tanah baru.

Dyah Nateng: Baik Kakang, aku dan Ratna Manggali pasti akan sangat merindukan Kakang.

Mpu Kuturan menyampaikan rencananya pergi ke Bali untuk mengajarkan kebaikan. (Foto: Rakhmat Supriyono)

***

Beberapa bulan purnama berlalu, pada pagi yang cerah Dyah Nateng menerima selembar daun lontar berisi surat dari suaminya. Dengan ceria Dyah memanggil Ratna Manggali putri semata wayang. “Bapak pasti akan segera pulang, atau mengabarkan kalau kita akan dijemput. Kita harus mempersiapkan diri nak, ayo ibu bacakan suratnya….”

Dyah Nateng istriku dan cintaku
Ratna Manggali putri buah hatiku yang cantik
Kembang puspa wangi di Bali
Kini telah mengikat hamba
Tidak lagi aku mampu pulang
Engkau Dyah Nateng adalah kenangan masa laluku
Ratna Manggali putriku jagai ibumu
Ini mengikuti takdir
Benar atau salah aku tak berdaya
Masa lalu lupakan saja
Selamat tinggal Jawa
Dyah Nateng kembang desa Girah
Mungkin dengan kabar di daun lontar ini
Engkau resah dan marah
Namun memang hanya ini kata terakhirku 
Maafkan aku, 
Selamat tinggal

Semua warga menghina dan melecehkan Dyah Nateng usai ditinggal suaminya. (Foto: Rakhmat Supriyono)
Ejekan dan hinaan terus dilakukan tetangga Dyah Nateng. (Foto: Rakhmat Supriyono)

Serasa disambar petir, Dyah Nateng menangis sejadinya. Teriakan histeris meluncur dari tenggorokan. Mengapa kakang tertarik pada perempuan Bali? Mengapa kakang? Apa salah kami?

Rasa dendam kepada suami yang tega meninggalkan dirinya dan putri kecilnya makin terbakar. Ia makin rajin bertapa di hutan memuja Batari Durga. Di tengah mantranya Dyah bersumpah ingin memerangi hidup suci, ingin semua orang menderita. Dyah Nateng benar-benar murka.

Setiap perempuan cantik dia persembahkan kepada Dewi Durga. Hinaan dan cemooh para tetangga membuat dia murka sepenuhnya murka.

Persembahannya kepada Dewi Durga menjadikan Dyah Nateng semakin sakti sekaligus jahat, bengis, dan sangat ditakuti. Dia mampu menghentikan hujan untuk membuat desa kekeringan dan mendatangkan berbagai wabah penyakit. Banyak hewan ternak mati, tanaman palawija kering dan mati. Penduduk kelaparan. Dyah Nateng mengganti namanya menjadi Calonarang, murid terdepan Batari Durga, Dewi Kejahatan.

Dyah Nateng murka, menangis dan berteriak. (Foto: Rakhmat Supriyono)
Dyah Nateng beralih nama Calonarang. (foto: Rakhmat Supriyono)
Ratna Manggali melindungi suaminya saat dihujat Calonarang, ibunya. (Foto: Rakhmat Supriyono)

Mengetahui kekacauan akibat ulah Calonarang ini, Raja Airlangga segera meminta penasihatnya Mpu Baradah mengatasi ontran-ontran di wilayahnya. Dengan siasat asmara Mpu Baradah mengutus Mpu Bahula yang tampan untuk merayu dan menikahi Ratna Manggali putri Calonarang yang cantik.

Harapannya, Mpu Bahula akan dapat mengetahui kelemahan Calonarang. Namun tak disangka, Calonarang mencium siasat jahat Mpu Baradah. Calonarang marah besar dan mengusir Mpu Bahula. Namun Ratna Manggali meronta membela suaminya.

Hanya karena rasa cinta Calonarang kepada putri satu-satunya, maka dia tidak tega merusak kebahagiaan putrinya yang telah hidup bahagia bersama Mpu Bahula. Ia rela mempersembahkan hidupnya untuk Ratna Manggali.

Calonarang yang diperankan Anastasia mengakhiri cerita dengan pekikan histeris, “Wahai kematian…! Jangan datang menjemputku… Aku sendiri yang akan datang menghadangmu… Wahai alam semesta, leburlah, aku menyatu dengan dirimu…!!! Calonarang moksa. Hanya tertinggal tongkat dan kalungnya.

Kiri: Cinthya Dharma, gadis Bali kuliah jurusan Teater ISI Yogyakarta pemeran Dyah Nateng, dan kanan: Anastasia, pemerang Calonarang. (foto: Rakhmat Supriyono)

***

Sebagai tontonan, drama “Calonarang” cukup menghibur. Penampilan pemain-pemain muda yang penuh energi merupakan potensi yang bisa dikelola menjadi aktor-aktor besar. Pertunjukan teater berdurasi sekitar dua jam ini cukup memukau penonton sejak awal hingga akhir.

Chintya Dharma, gadis asal Bali yang sedang menyelesaikan program S2 jurusan Teater ISI Yogyakarta, mampu memerankan Dyah Nateng Girah dengan cukup baik. Stamina terjaga sejak awal hingga akhir pertunjukan.

Selain didukung postur tubuh yang lebih tinggi dari pemain lainnya, Chintya bermain total. Kemampuan akting dan kualitas vokalnya mampu memukau audiens. Perubahan gestur dan mimik dari gadis desa yang santun mendadak jadi perempuan murka paling bengis, mampu diperankan Chintya dengan baik.

Transisi akting dari protagonis ke antagonis ia lakukan secara natural. Sebagaimana diungkapkan Charles Cooley, pemain harus mampu tampil sebagai orang lain yang ia perankan. Bukan lagi sebagai dirinya.

Tak kalah memikatnya kemampuan akting Anastasia dalam memerankan Calonarang. Pemain senior yang sejak belia digembleng di Teater Alam asuhan Azwar AN ini tampak menikmati peran-peran antagonis semacam Mak Lampir, nenek penyihir yang suka bikin onar. Tak ayal tokoh Calonarang diperankan Anastasia dengan cukup natural karena terbiasa melakoni peran itu.

Tanpa mengesampingkan pemain-pemain lainnya, penampilan Chintya dan Anastasia berhasil mendominasi pertunjukan. Dan memang begitulah semestinya. Tokoh utama harus mampu menjadi “centre of interest”, harus bisa menjadi magnet sebuah pertunjukan. Namun sebaliknya, pemain pendukung yang tidak memiliki kemampuan akting secara memadai, bisa seketika “merusak” atau menurunkan pamor pertunjukan secara keseluruhan.

Selain Chintya Dharma dan Anastasia, lakon Calonarang juga diperkuat oleh beberapa pemain senior seperti Jedink Alexander, Oka Swastika Mahendra, Amat Kartelo, dan pemain-pemain muda dari jurusan Teater ISI Yogyakarta, SMKI, UIN, dan lain-lain.

Kekuatan akting yang tidak merata kerapkali merusak harmonisasi pertunjukan. Tidak sedikit pemain yang masih sekadar memainkan peran, menghafal naskah di atas pentas.

Aspek pendukung lainnya yang masih perlu dicermati adalah tata cahaya (lighting), dekorasi panggung yang “over decorated”, dan ilustrasi musik gamelan Jawa yang terkadang kurang matching.

Pimpinan produksi Firmansyah menuturkan, lakon “Calonarang” ini rencana akan dipentaskan di Indramayu, Solo, dan Kediri. Hal ini dibenarkan oleh Irawan, pimpinan Royal House yang telah memfasilitasi proses pementasan “Calonarang”. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *