Connect with us

Feature

Bersepuluh, Doni Monardo Shalat Ied di Lantai 15

Published

on

Jayakarta News – Minggu (24/5/2020), suasana Ruang Serba Guna Dr. Sutopo Purwo Nugroho di  lantai 15 Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Timur lengang. Aula seluas kurang lebih 400 meter persegi itu, berubah wajah.

Mereka menjalankan shalat Ied “di kediaman”, karena sudah 10 minggu Kantor BNPB menjadi rumahnya: sesuai anjuran untuk shalat di rumah saja.

Yang sudah-sudah, Ruang Serba Guna Sutopo yang diresmikan Kepala BNPB Doni Monardo, 1 Agustus 2019 itu, digunakan untuk berbagai acara skala besar. Hari ini, untuk pertama kalinya, ruang dengan ciri lantai dan dinding berlapis ornamen kayu itu, digunakan untuk shalat Idul Fitri 1441 Hijriyah/2020 Masehi.

Pesertanya adalah Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo, dan para staf yang sudah dua bulan lebih mukim di kantor.

Panitia kecil Shalat Idul Fitri di Graha BNPB hanya mengizinkan sepuluh (10) orang saja. Alhasil, ruang berkapasitas ratusan orang itu pun terlihat sangat longgar. Jarak jemaah satu dan lainnya sekitar dua meter.

“Peserta shalat Idul Fitri antara lain Pak Doni, Koorspri Kepala BNPB Kolonel Budi Irawan, Kolonel Hasyim Lalhakim, Jarwansah Direktur Darurat BNPB, dan 5 staf lainnya,” ujar Egy Massadiah Tenaga Ahli BNPB yang juga mengikuti shalat Ied.

Jalannya shalat Idul Fitri menjadi sangat khidmad. Jemaah bersama-sama memanjatkan doa. Bermunajat dari ketinggian 75 meter dari permukaan tanah, berharap virus corona segera sirna.

Sholat Idul Fitri bersepuluh di Ruang Serba Guna Sutopo, lantai 15 Graha BNPB, Jakarta Timur. (foto: BNPB)
Dr. H. Nadjamuddin Ramly, M.Si, Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, bertindak selaku khatib. (foto: BNPB)

Kehidupan Normal Baru

Shalat Idul Fitri “kategori kecil-kecilan” pun berlangsung dengan bobot dan kekhidmatan yang dalam. Terlebih, panitia Karo Umum BNPB Andi Eviana menghadirkan khatib Dr. H. Nadjamuddin Ramly, M.Si, Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia.

Nadjamudin yang juga pengajar di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah itu membawakan topik aktual dalam khotbahnya: “Kehidupan Normal Baru dalam menggapai Keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala”.

“Saat ini Allah Jallajalalu menguji ummatnya dengan wabah pandemik yang sangat berbahaya dan mematikan (Virus Corona Disease 2019/Covid-19), sebagaimana FirmanNya dalam surah Al-Baqarah pada ayat 155-156,” ujar Nadjamudin dari mimbar. Mimbar yang secara khusus diangkut dari mushola di lantai basement ke lantai 15.

Pengkhotbah menambahkan, ke depan kita harus memulai Kehidupan Normal Baru (new normal) dengan membudayakan Protokol Kesehatan sebagai karakter pribadi. Dari karakter pribadi, nantinya begulir menjadi Gerakan Budaya Baru di kalangan umat Islam dan Bangsa Indonesia.

Gerakan Budaya Baru ini akan bermuara pada lahirnya peradaban tinggi dimana umat manusia hidup pada tatanan yang melekat pada kehidupan sehat dan merekonstruksi masa depannya secara sistemik dan berkelanjutan. “Protokol Kesehatan ini adalah gagasan cerdas, bernas dan mencerahkan dalam menghadap wabah virus corona,” tambahnya.

Tak lupa, Nadjamudin menyitir jargon “4 Sehat 5 Sempurna Baru” versi masa kini. Pola hidup sehat di era pandemi ini juga diharapkan menjadi tradisi yang melekat di kehidupan pasca pandemi nanti.

Pertama, senantiasa menggunakan masker; kedua, jaga jarak sehat; tiga, selalu mencuci tangan; empat, olahraga yang teratur/Istirahat yang cukup/tidak panik; dan lima, makan makananan bergizi, halal, dan baik. “Jika protokol kesehatan ini telah menjadi gerakan masif dan membudaya maka dengan sendirinya akan memutus matarantai berjangkit dan menularnya virus corona,” ujarnya.

Inilah protokol kesehatan yang menjadi peradaban baru umat manusia tentunya dengan senantiasa mengharapkan keridhaan Allah dan memohon perlindunganNya sehingga virus corona yang membahayakan ini lenyap dari negeri tercinta.

“Mari kita berdo’a kiranya Allah mengampuni dosa-dosa kita dan senantiasa melimpahkan ampunan dan keridhaanNya kepada kita sekalian,” pungkas Nadjamudin dalam khotbahnya.

Jalannya shalat Idul Fitri sendiri tak lebih dari satu jam. Usai shalat, ada yang melanjutkan sarapan di Ruang Multimedia, Lantai 10. Menu sama pula sebelumnya disantap para pemukim Graha BNPB sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri, sebagai salah satu yang disunahkan sebelum sholat Ied.

Menu utama yang tersaji, apalagi kalau bukan ketupat dan opor ayam. Pelengkapnya sambal goreng ati, dengan dua pilihan kriuk: Emping melinjo dan kerupuk rambak. Jika ada yang tampak beda, adalah hadirnya dua makanan tradisional Bugis-Makassar yakni buras atau lapat, dan barongko.

Buras atau lapat, adalah lontong bersantan. Buras merupakan makanan wajib bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada hari Lebaran yang sangat klop di lidah, jika disantap bersama coto makassar ataupun opor ayam.

Sedangkan, barongko terbuat dari pisang yang dihaluskan lalu dikukus dengan daun pisang. Rasa pisang dalam barongko menjadi sangat khas, berkat adonan telur, santan, gula pasir, dan garam. Dahulu, barongko disajikan sebagai hidangan penutup bagi para raja Bugis.

Selain dua penganan tradisional tadi, tampak beberapa kue dan kudapan lain.

Opor ayam, ketupat, barongko, buras, dan sejumlah menu lain. (foto: BNPB)

Sedih Ditinggal Ramadhan

Sedikit mengilas balik, ke moment buka puasa terakhir Sabtu (23/5/2020). Seperti biasa, Doni Monardo bersama sejumlah staf dan kolega, melakukan buka puasa bersama di Ruang Multimedia, lantai 10 tak jauh dari ruang kerjanya.

Hampir bisa dipastikan, semua yang hadir sore itu, merasakan ada nuansa yang berbeda. Tidak seperti biasa. Hari-hari sebelumnya, kesempatan berbuka puasa selalu mengalir pembicaraan yang sangat produktif, terkait penanganan Covid-19. Meski topiknya sekilas serius, tetapi Doni Monardo mampu membawakannya dalam suasana yang lebih rileks, sambil berbuka puasa.

Tak bisa disembunyikan, tampak kesedihan Doni Monardo saat menyantap buka puasa terakhir di Ramadhan tahun ini. Apalagi, demi tugas, ia tak berkumpul bersama keluarga.

Sungguh mengingatkan kita, umat Islam, akan kisah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menunjukkan kesedihan mendalam saat akan berpisah dengan bulan penuh ampunan ini. Hal itu juga yang dirasakan oleh para sahabatnya.

Suatu ketika bahkan Rasulullah pernah berkata, “Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat.”

Ketika para sahabat bertanya makna kalimat tersebut, Rasulullah SAW menjawab, “Perginya bulan Ramadhan, karena di bulan Ramadhan itu semua doa diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan siksa ditolak (dihentikan).” (Diriwayatkan dari Jabir).

Ramadhan tahun ini telah pergi. Idul Fitri tahun ini pun, menjadi istimewa. Bangsa sedang prihatin lantaran Covid-19. (egy massadiah)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *