Kabar

Bakar Tenda, Dibilang Mushola

Published

on

PERKEMBANGAN konflik pembangunan pabrik semen di Rembang, milik BUMN PT Semen Indonesia, nyaris beres. Kelompok kontra yang selama ini menentang dengan dalih-dalih ngawur, dan bukti-bukti bohong, makin kehilangan akal sehat dalam membela maunya asing.

Sepulang dari Singapura, gerakan Gunretno makin membahayakan persatuan dan kesatuan umat. Rupanya, itulah agenda aktivis pro asing yang di KTP-nya “tidak beragama” itu. Dengan bantuan ide dan dana segar dari pihak asing yang berkepentingan untuk menghambat bahkan menggagalkan beroperasinya pabrik semen di Rembang, Gunretno pun makin nekad.

Jumat (10/2), di hari besar umat Islam, alih-alih mengajak massa yang digalangnya beribadah, dari pagi jam 07.00  ia malah mengagendakan unjuk rasa di jalan masuk area pabrik semen Rembang, di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Rembang. Sekitar 100 massa yang sebagian dari Rembang, dan sebagian lainnya dari luar Rembang itu, tidak hanya berfoto-foto lalu pergi –seperti biasanya– tetapi

Akibat blokade jalan, karuan saja, para pekerja pabrik yang notabene dari bagian administrasi ringan, petugas satpam, dan petugas perawatan mesin itu, tidak bisa masuk lokasi pabrik. Menjelang pukul 10.00, Wakapolres Rembang Kompol Pranandya dan jajaran tiba di lokasi, dan meminta aksi bisa diselesaikan dengan baik, apalagi aksi mereka tidak didukung pemberitahuan ke aparat, agar bisa diamankan. Sepertinya ada tendensi sengaja tidak melapor dan memancing kerusuhan.

Beruntung, massa pro yang berjumlah hampir 200, tidak terprovokasi. Menyadari bahwa sebagian kecil di antara yang kontra adalah tetangganya sendiri, mereka memilih dialog. Sumarno, tokoh yang dijadikan wayang oleh Gunretno sudah hafal dengan kalimat pembangkangan dan “waton suloyo”, kalau orang Jawa bilang.

Ketika disoal izin demo yang memang ada aturannya, dibantah dengan mempertanyakan izin pabrik. Di tengah jalan –bukan di gubernuran– mereka bahkan menyoal somasi yang ditujukan ke gubernur. Seperti sebuah kaset, penutusan Sumarno merembet ke soal wilayah CAT (cadangan air tanah), bahkan menyuruh membangun pabrik semen di Papua saja. Lupa, bahwa pabrik semen di Pati, di Tuban, dan daerah-daerah lain tidak pernah mereka usik, karena umum pun tahu, pemilik saham mayoritasnya adalah perusahaan asing.

Penjelasan dari Sugiyanto (bagian CSR PT Semen Indonesia) tentang sudah tidak adanya kegiatan di pabrik, tentang kepatuhan PT Semen Indonesia terhadap proses hukum, tak digubris. Sumarno makin ngawur saja mengatakan, apa pun kegiatannya, baik administrasi ringan, perawatan mesin, tidak boleh. Bahkan, sebatas bersih-bersih pabrik pun tidak boleh.

Sumarno tentu saja bicara atas apa yang dipesankan Gunretno kepadanya. Sebab, sejujurnya dia tahu, bahwa pabrik itu sudah merumahkan 3.000 karyawannya, yang sebagian besar juga tetangganya sendiri.

Pihak kepolisian mencoba membujuk massa tolak semen. Dia mengatakan, aspirasi dari massa kontra maupun dari pihak PT Semen Indonesia sudah didengar. Ia mencatat dengan baik, dan meminta semua pihak saling menghormati. Di akhir dialognya karena jam sudah menunjuk angka 11 siang, warga diminta membubarkan aksi dan bersiap-siap melaksanakan sholat Jumat.

Entah bisikan dari mana yang mereka dengar, imbauan sholat Jumat sama sekali tidak digubris. Mereka bahkan lebih mementingkan menjaga blokade jalan agar tidak dibongkar.

Lepas sholat Jumat, perangkat desa Ridwan (Kades Kadiwono) datang. Massa pro pabrik semen yang usai sholat Jumat pun hadir di situ. Disampaikanlah kepada massa kontra, bahwa apa yang dilakukan pabrik pada prinsipnya hanya menjaga aset. Massa kedua pihak diminta sama-sama mematuhi proses hukum, dan diimbau menghindari cara-cara kekerasan. Kades Ridwan bahkan mengatakan, aksi itu dilakukan di Desa Kadiwono, desa yang dipimpinnya. Ia mengimbau semua pihak menghormati perbedaan, mengingat falsafah Pancasila, dan mencintai negara Indonesia. Kades bahkan memohon pihak kontra membongkar blokade.

Semua tidak mempan, karena rupanya Gunretno di mata mereka jauh lebih penting dibanding imbauan Polres maupun Kades. Indikasi mereka “cari masalah” makin tampak ketika pukul 14.00, Awan Nugroho dari pihak perusahaan menawarkan kepada warga kontra pabrik semen untuk masuk ke area pabrik dan membuktikan sendiri, bahwa tidak ada kegiatan apa pun di dalam, kecuali administrasi ringan, perawatan mesin, dan petugas jaga (Satpam).

Tawaran itu pun dimentahkan, dengan sikap “pokoke”. Mereka menolak membuktikan ke dalam. Kata-katanya seperti kaset diputar, “Pokoknya tidak boleh ada aktivitas apa pun di lokasi pabrik, termasuk tidak boleh ada pengamanan Satpam, sampai tukang sapu pun tidak boleh.”

Hingga sejauh itu, aparat kepolisian maupun perangkat desa masih menunggu dengan sabar. Jam sudah menunjuk pukul 17.00. Hingga massa membubarkan diri, blokade jalan masih terpasang.

Usai sholat isya, massa pro semen dari desa Ring-1 kembali ke lokasi. Sebab, selama ini mereka pun memiliki tenda aspirasi yang berdiri tak jauh dari tenda yang kontra. Sekira pukul 19.40, massa kontra hampir semua sudah pulang. Apalagi, sebagian dari mereka memang bukan warga Rembang.

Massa pro pun membongkar blokade. Setelah itu, disusul membongkar tenda pro. Terakhir, barulah membongkar tenda kontra. Tentu saja tidak ada perlawanan dari pihak kontra, karena target mereka hari itu sudah terpenuhi. Jadi, mereka sebenarnya tidak peduli lagi dengan blokade itu. Karenanya, proses pembongkaran blokade, sampai pembongkaran kedua tenda, dan pesholatan, berlangsung dengan baik-baik saja.

Agar sama-sama tidak membangun tenda lagi di area sekitar pabrik, massa kemudian membakar puing-puing tenda. Apa yang terjadi? Gunretno yang masih “menanam” lima orang di situ, langsung mengedarkan berita dusta dan sangat berbahaya. Mereka membuat kronologi jam demi jam. Sebagian benar, sebagian ngawur. Dan yang paling ngawur adalah kronologi pembakaran mushola oleh massa pro semen.

Agar lebih dramatis, ditulis dan disebar di media sosial serta menyebarpress release ke media-media massa, dengan dramatisasi khas Gunretno. Dikatakan, bahwa massa pro membakar mushola lengkap dengan isinya, antara lain mukena, peci, dan kitab suci Al-Quran.

Itulah Gunretno. Setelah “konflik” dengan Emha Ainun Nadjib, disusul tindakan provokatif yang bisa mengancam kerukunan NU dan Keuskupan Agung Semarang (KAS), kini ia bermain api dengan memantik isu pembakaran mushola. Bagaimana mungkin orang Islam percaya provokator antek asing yang di KTP-nya bahkan “tidak beragama” (hanya tanda strip di kolom Agama)? ***

Sumber: Kaskus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version