Connect with us

Traveling

Yang Mengecewakan dari Objek Wisata Sumut

Published

on

Huta (desa) Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir. Foto : Monang Sitohang

DARI pantaun Jayakartanews di sejumlah objek wisata Sumatera Utara, setidaknya ada dua sisi pembuat kecewa para wisatawan. Pertama kualitas pelayanan (service) dan kedua sisi pemberlakuan harga melampui standar kewajaran.

Sejumlah pengunjung yang kecewa karena pelayanan minim, antara lain objek wisata sejarah Istana Maimon di Medan, dimana petugas parkir berprilaku kurang ramah, dan pemandu (guide) kurang begitu merespon ketika para wisatawan bertanya tentang kisah sejarah Istana Maimon.

Selain itu, di tempat objek wisata alam sekitar Danau Toba seperti di Tomok, Ambarita, Prapat dan objek alam Brastagi di Kabupaten Karo, tak sedikit pedagang cendramata, buah-buahan dan makanan-minuman yang marah ketika dagangannya ditawar. Bahkan masih ada pedagang yang menjajakan jualannya bernada memaksa.

Kus Endro, Ketua HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) Sumatera Utara (Sumut) mengatakan hal yang sama mengenai sikap pelayanan sebagian penjaja dagangan atau penggiat wisata terhadap wisatawan di tempat-tempat objek wisata tersebut. “Di daerah kualitas SDM-nya sangat kurang, akhirnya mempengaruhi cara pelayanan dan standarnya masih lokal,” ungkap Endro.

Endro mencotohkan, di Prapat standar pelayanan masih belum cukup walaupun sudah ada beberapa hotel yang memadai. Sebenarnya, harga-harga di objek wisata itu masih stabil. Ia menyarankan, perlu ditingkatkan tampilan dan pelayanan. Karenanya, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan terhadap pelaku wisata mengenai standar pelayanan.

Sementara itu, H. Omar Jayono MA, staf pengajar Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut), Dosen Akademi Pariwisata Medan berpendapat bahwa dunia pariwisata tak terpisahkan dari pelayanan, dan pelayanan adalah jasa. Sedangkan tujuan dunia jasa adalah pelayanan prima, dan untuk mencapai pelayanan prima harus bersikap senang dan ikhlas melayani.

Para pelaku wisata haruslah menanamkan semangat jiwa melayani sehingga para wisatawan baik wisatawan mancanegara (Wisman) maupun wisatawan lokal mau berlama-lama menghabiskan waktu dan uang di tempat tujuan wisata.

Jika para pelaku wisata tidak memiliki sikap dan semangat jiwa melayani bisa menimbulkan kekecewaan bagi para wisatawan. Dampaknya, jangan berharap banyak kalau para wisatawan akan datang kembali, dan bahkan bisa berdampak luas atau merembet kepada para calon wisatawan yang mengurungkan niat untuk berkunjung.

Kunci pelayanan prima yang sesuai nilai-nilai sapta pesona utamanya adalah para pelaku pariwisata harus memiliki semangat jiwa melayani yang ikhlas. “Melayani dengan ikhlas akan membuat para wisatawan puas, dan hikmah melayani dengan ikhlas adalah ibadah dan bagian dari beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa,” Omar berpendapat.

Menurut Endro, di samping kualitas pelayanan yang masih perlu ditingkatkan, fasilitas umum sebagai prasarana pendukung menuju dan di tempat tujuan wisata juga perlu diperbaiki. Seperti penunjuk arah yang mudah terlihat dan setidaknya harus dibuat dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).

Restoran halal di Samosir masih sangat langka sehingga perlu diperbanyak, dan kebersihan di tempat objek wisata Brastagi masih jauh dari harapan pengunjung. Sementara toilet umum di Prapat cukup terjaga kebersihannya.

Di jalur jalan dari Brastagi menuju Prapat tampak kotor, masih banyak tumpukkan sampah dan bahkan tak jarang terlihat truk sampah Pemerintah Kabupaten Karo membuang sampah di jurang sepanjang jalan Kabupaten Simalungun dekat Simarjarunjung. Harapan Endro, ke depan ada perubahan baik di pihak pemerintah, industri pariwisata, maupun masyarakat untuk memperbaiki di semua lingkup sektor wisata.

“Sudah sepatutnya diperbanyak pelatihan dan sosialisasi, juga perlu dibentuk lembaga atau CSR yang khusus untuk pengembangan pariwisata yang sifatnya berbuat langsung ke objek. Selama ini kita hanya sibuk mempromosikkan objek wisata dan  meraup keuntungan untuk pribadi-pribadi. Dalam hal ini HPI siap membantu,” tegas Endro.

Menurut salah seorang anggota Assosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Tengku Feria Aznita, mengenai harga-harga yang ada di sekitar destinasi wisata memang di atas rata-rata. Sedangkan  mengenai pelayanan tentu masih ada yang kurang, tetapi belakangan tampak sudah terjadi peningkatan walaupun belum signifikan.

Dan keluhan lain bagi sebagian wisatawan yang beragama Islam adalah masih sulit menemukan tempat sholat di tempat-tempat wisata. “Kalaupun belum tersedia tempat sholat, tetapi paling tidak dibuatkan petunjuk arah sholat, karena bagi kami yang melaksanakan sholat terkadang bingung arah kiblat,” Lusi menimpali salah seorang pengunjung wisata di Tomok.

Omar menambahkan, mengenai harga-harga di tempat wisata boleh dibilang belum stabil atau belum memiliki standar. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu terjadi komplain harga dari pengunjung di Malioboro, Yogyakarta. Pedagang Kakilima memasang harga nasi goreng, dan minuman di atas standar harga atau tidak sesuai Perda (Peraturan Daerah).

“Setahu saya, pedagang yang bersangkutan ditindak tegas oleh pemerintah setempat. Pemprovsu juga harus demikian, menindak tegas dan memberikan sanksi kepada pelaku pariwisata yang bermain-main dengan harga terhadap wisatawan, sehingga wisatawan merasa nyaman,” imbau Omar.

Menjadi perhatian, dalam tahun 2017, Pemprov Sumatera Utara melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) telah memetakan 100 destinasi wisata meliputi objek wisata alam, sejarah, budaya, seni dan kuliner. Masing-masing objek wisata punya nilai jual yang cukup menjanjikan dan patut diperhitungkan untuk menjadi sumber PAD (pendapatan asli daerah) bagi kabupaten/kota pemilik objek wisata di wilayah masing-masing. ***

Huta (desa) Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir. Foto : Monang Sitohang