Connect with us

Profil

Wawancara Jayakartanews dengan Roso Daras (2)

Published

on

Roso Daras saat diundang dan menjadi narasumber di CNN Indonesia. Foto: Ist

Sukarno itu Kiri, Tengah, Kanan Sekaligus

PERBINCANGAN dengan Roso Daras semakin jauh, menelusuri belantara Sukarno. Bagi saya, penulis buku-buku Sukarno ini sebenarnya bukanlah orang asing. Dia saya kenal sejak tahun 80-an. Ibarat pepatah, semut di ujung lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.

Sosok yang banyak menyebarkan ajaran Sukarno melalui buku-buku, serta penuturannya di berbagai ajang diskusi dan seminar, tidak juga menyadarkan saya, betapa Roso Daras adalah sumber pengetahuan bagi sosok Proklamator.

Acara talk show sekaliber Mata Najwa di Metro TV, bahkan tercatat sudah tiga kali mengundangnya menjadi narasumber. Dan Nana, panggilan akrab Najwa Shihab, menggali tentang ke-Sukarno-an dari Roso Daras. Tak terbilang, acara televisi lain seperti Three in One di Kompas TV, DAAI TV, bahkan CNN Indonesia menggali informasi seputar Sukarno kepada pria kelahiran Kebumen, 5 Desember 1963 itu.

Saya, yang mengenalnya begitu lama, bahkan cukup lama bekerja di institusi media yang sama dengan dia, justru abai. Rasanya, saya masih akan terus menggali informasi seputar Sukarno dari seorang Roso Daras.

Sekarang Anda menulis apa lagi tentang Sukarno, setelah Agustus lalu berkolaborasi dengan pelukis Sohieb Toyaroja menerbitkan buku “Perjuangan Menjadi Indonesia – Bukan Darah Sia-sia” setebal 950 halaman?

Saya lagi getol menafsir tentang ajaran Sukarno. Itu untuk mengisi ruang yang kosong tadi (kesenjangan/terpenggalnya sejarah). Yang sudah saya garap menafsir buku Sarinah tentang femininisme Indonesia. Saya juga punya ide  menafsir buku Bung Karno Di bawah Bendera Revolusi (DBR). Juga ajaran-ajaran Sukarno lain seperti Marhaenisme, Indonesia Menggugat, dan masih banyak kitab Bung Karno yang perlu ditafsir.

Sebuah ide besar.

Cukup besar untuk sebuah pekerjaan intelektual. Tetapi sama sekali bukan pekerjaan dan ide besar, demi mengingat betapa penting kita mengenang Bung Karno, tidak saja orangnya, tetapi juga pemikiran-pemikirannya.

Banyak sejarawan mengatakan, jangan ngomong tentang Indonesia kalau tidak mengenal (ajaran) Sukarno. Saya bisa tambahkan, jangan ngomong tentang Sukarno kalau tidak membaca DBR.

Itu karena semua pemikiran Sukarno termaktub dalam DBR, walaupun itu mungkin hanya 30 persen dari manuskrip yang dibuat Sukarno. Masih sangat banyak manuskrip Bung Karno yang tercecer. Setidaknya, DBR menggambarkan proses berpiki Sukarno di banyak aspek. Tidak hanya di bidang ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, tapi di buku itu juga memuat pidato-pidato Bung Karno dari 1945 hingga 1966. Kita tahu, semua pidato 17 Agustus, dia tulis dengan tangannya sendiri. Sesekali, Guntur Soekarnoputra menjadi asistennya.

Apa yang penting dari muatan buku Di bawah Bendera Revolusi?

Roso Daras bersama Ratna Sari Dewi Soekarno, di Tokyo. Foto: Ist

Kalau kita baca DBR 1 dan DBR 2 kita akan tahu rangkaian pemikiran Bung Karno. Kalau memahami ini, orang tidak akan terjebak pada satu stigma bahwa Sukarno itu kiri, Sukarno tengah, atau Sukarno kanan. Sebab Sukarno bisa sangat kiri, sangat tengah, dan sangat kanan. Ketika dia mahasiswa membaca  tentang maxisme, leninisme, sampai  nglontok di luar kepala. Dari situlah lahir marhaenisme, yang kemudian diterjemahkan oleh para sukarnois sebagai sosialisme-Indonesia.

Apa itu sosialisme Indonesia? Bung Karno mengatakan, sosialisme yang berketuhanan. Karena itu, mengupas marhaenisme saja bisa sangat panjang.

Ketika dia dibuang ke Ende, dia mendalami Islam, dan menulis buku biografi Ibnu Saud. Dia juga belajar tentang mazhab Islam. Bahkan, ia membaca kitab Ahmadiyah, sampai-sampai dia pernah diberitakan sebagai agen propaganda Ahmadiyah. Ini konyol, dan Bung Karno sudah membantah.

Tentang Islam, banyak sekali pemikiran Sukarno. Sikap dia juga sangat tegas lewat tulisan berjudul Islam Sontoloyo. Semua itu ada di DBR.

Lalu dia tampak sangat tengah yang kemudian pada 1 Juni menyatakan dalam pidatonya mengenai Pancasila. Jadi Sukarno tahu (memahami)  tentang paham kiri, kanan, dan tengah sekaligus.

Seiring situasi politik, orang kemudian terprovokasi stigma orde kepada Sukarno sebagai orang kiri dan pro komunis. Tapi kalau orang baca DBR, tidak akan mengecap Sukarno sesederhana itu.

Kalau soal kiri, kanan, atau tengah, hanya tentang pemahaman, lantas menurut Anda, Sukarno sendiri apa?

Di awal sudah saya katakan, Sukarnoisme ya nasionalisme. Manifestasinya dalam bentuk Pancasila. Dan semua pemikirannya ada di DBR. Karena itu saya berkepentingan untuk menafsir buku itu. (BERSAMBUNG)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *