Connect with us

Kolom

Untung Ada Monolog Sengkuni

Published

on

Joko Kamto memerankan Sengkuni, dalam pementasan “Sengkuni 2019”, 12 – 13 Januari 2018 di Taman Budaya Yogyakarta. (foto: yudiaryani)

Oleh Yudiaryani

 

Ini bukan kritik teater. Bukan pula resensi pementasan teater. Akan tetapi, sah-sah saja kalau kemudian dianggap sebagai kritik sekaligus resensi pementasan “Sengkuni 2019”, pada 12 Januari 2019, di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.

Sebagai catatan, tentu saja tulisan ini berakhir koma, karena yang saya saksikan adalah pementasan hari pertama. Sedangkan, malam ini (13/1/2019), pada pementasan hari kedua –dari dua malam pementasan—bisa jadi berbeda. Meski saya yakin, tidak akan substansial.

Syahdan, panggung dibagi dua dengan area permainan depan dan belakang, dibelah tirai pembatas di antara keduanya. Kepulan dry ice menyesaki panggung, yang lekas ditingkah puisi tentang sosok Sengkuni. Puisi sengkuni pun merambah setiap sisi dan relung politik yang pekat. Lalu, gelombang alun musik rancak berirama, berkelindan dengan tata cahaya warna-warni, laiknya sebuah perayaan, yang entah apa maknanya.

Setting pementasan malam itu juga menampilkan tumpukan kursi dan stand partitur berukuran jumbo. Tata panggung semi-seni-instalasi menyiratkan pesan tak langsung, bahwa lakon “Sengkuni 2019” menjanjikan kelebihan-kelebihan di anasir-anasir lain. Saya menebak, naskah yang ditulis Emha Ainun Nadjib tentulah sebuah naskah yang berbobot.

Penulis bersama Emha Ainun Nadjib, penulis naskah “Sengkuni 2019”. (foto: yudiaryani)

Menyimak naskah “Sengkuni 2019”, tampak jelas menggunakan teknik dramatika Alienasi Brecht dengan prinsip menghilangkan kedalaman psikologi tokoh. Bahkan penonton dilarang terseret terlalu dalam dengan permainan seni peran. Akibatnya struktur cerita tersaji menjadi penggalan-penggalan peristiwa. Efeknya, penonton menjadi lebih rileks.

“Sengkuni 2019” adalah naskah dengan alur melingkar, multi plot. Karenanya, banyak peristiwa dalam cerita yang berjalan tidak saling terhubung, dan bertemu di bagian akhir.

Pertunjukan Brecht di Indonesia menjadi suatu perkawinan antara konsep teater modern dan teater tradisi. Di Yogyakarta dikenal sebagai gaya Gandrik. Tahun 80-an gaya ini dikembangkan oleh Teater Jeprik, kemudian Teater Dinasti.

Pembagian panggung dengan dua area permainan tinggi rendah sebenarnya mampu menjadi area permainan dinamis. Garis horizontal dan garis diagonal dapat menghadirkan komposisi para aktor di area panggung bagian depan dan belakang. Namun sutradara Jujuk Prabowo tampaknya tidak menggunakannya sebagai penyampai pesan yang efektif.

Sebaliknya, adegan narator dan khatib banyak dimainkan di bagian depan secara horizontal terus-menerus. Demikian juga adegan keluarga Bagus yang selalu berada di bagian kiri panggung yang lagi-lagi, secara terus-menerus.

Komposisi di atas, akhirnya harus disadari sebagai sebuah keberanian menabrak prinsip estetika panggung. Adegan pembunuhan, misalnya, dianggap pas jika diletakkan di area panggung permainan bagian belakang. Sementara, adegan lucu atau kasih-sayang, diletakkan di area depan panggung.

Kiranya, adegan pembunuhan oleh Sengkuni terhadap keluarganya di adegan awal, akan lebih baik jika di lakukan di area belakang panggung permainan. Sementara, dengan sorotan lampu dari atas dan samping panggung, dengan posisi di level yang lebih tinggi, penonton akan merasakan nasib tragis Sengkuni yang dari lahir pun sudah membawa dosa asal.

Sutradara tidak mengolah dan memainkan level atas dan level bawah pangggung permainan secara optimal. Bahkan, level bawah depan penonton, kiranya bisa dijadikan arena permainan.

Beralih ke naskah, nyata bahwa “Sengkuini 2019” adalah naskah serius, tercermin dari dialog-dialog yang ada. Aroma politik begitu kental. Bukan panggung politik biasa, tetapi politik masa kini. Pilihan tokoh Sengkuni, seolah menyiratkan keinginan penulis mengangkat karakter Sengkuni yang sudah ada sejak zaman dulu, bahkan sejak manusia belum diciptakan.

Tampak, paradigma Sengkuni belum mampu ditafsir sutradara dengan tepat. Sutradara kemudian mengalihkan keseriusan naskah ini dengan mengambil format dan gaya Gandrik. Terasa pada kecenderungan melucu untuk dialog dan suasana yang sebenarnya tepat jika disampaikan dengan elegan dan cerdas. Sutradara Jujuk ingin meraih gelak tawa penonton.

Alhasil, terjadi jarak yang lebar antara kehendak penulis dan tafsir sutradara. Entah mengapa, penyutradaraan Jujuk terasa tidak optimal. Atau, jangan-jangan karena faktor kesibukan pemeran utama yang relatif jarang latihan. Atau kemungkinan lain, ada kekhawatiran warna penyutradaraan sama dengan Gandrik yang menjadi ciri khs penyutradaraannya.

Toh harus diakui, Jujuk Prabowo cukup handal memainkan pergantian adegan dengan tari yang dikemas apik. Di sini justru sutradara menunjukkan pemahamannya terhadap bentuk-bentuk tari tradisi. Brecht pun dengan efek alienasinya mengambil bentuk tradisi untuk menyempurnakan struktur dramatiknya.

Adegan yang mengganggu dan tampak kurang tergarap dengan baik adalah adegan anak-anak milenial. Kostum kurang terancang baik, akting  tidak jelas maksudnya. Akting genit, centil, cuwek campur aduk tanpa memberi porsi kepada setiap pemain untuk membangun perannya. Bukankah, sekalipun bermain grup, karakter harus tetap diwujudkan? Kalau saja bagian itu dimainkan seperti drama musical, oh… pastilah menarik dan menyegarkan, alih-alih menjadi tempelan.

Lalu, adegan sholat di atas panggung. Entah penonton lain, tapi saya merasa tidak nyaman. Terbayang, alangkah lebih baik jika digarap dengan gerak tari. Lebih mengena, dan lebih indah mestinya.

Makin dalam memasuki “Sengkuni 2019” makin terasa adanya pemaksaan “gaya Gandrik” untuk naskah seriusnya Cak Nun. Excuse paling sederhana adalah, “maklum, sutradara dan pemain-pemain utamanya adalah alumnus Dinasti dan Gandrik.” Hanya saja, tetap terasa aneh melihat padu-padan kata dan akting yang tidak pas. Kesan pun muncul, inilah permainan yang menggabungkan akting teatrikal dengan naskah realis.

(Maaf cak Nun, menurut saya naskah ini jauh lebih baik jika dijadikan naskah pidato politik berbasis seni pertunjukan….)

Monolog akhir adalah kunci dari substansi cerita Sengkuni. Seni peran Joko Kamto sebagai Sengkuni patut diacungi jempol. Monolog terakhir Sengkuni adalah yang terbaik dari semua adegàn malam itu.

Di sini, Sengkuni menggugat nasibnya yang jahanam sejak lahir. Dia menggugat Kresna yang dianggap sama buruk dengan dirinya. Namun Kresna mendapatkan hidup yang bermartabat. Mungkinkah ini semacam Bhagawad Gita Sengkuni?

***

Emha Ainun Nadjib dan para pemeran lakon “Sengkuni 2019”. (foto: yudiaryani)

Naskah pementasan “Sengkuni 2019” ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, dan berperan sebagai sutradara adalah Jujuk Prabowo. Sementara itu, para pelakon utama yang memainkan tokoh-tokoh dalam naskah ini adalah nama-nama yang telah puluhan tahun berdedikasi seperti Joko Kamto, Novi Budianto, Eko Winardi, Margono W, Agus Istijanto, dan Kumbo Adiguno.

Adapun penggarapan musik dikreasi oleh Azied Dewa, SP Joko, Doni, dan Widi; tata lampu oleh Wardono; stage manager oleh MZ Fadil. Bertindak sebagai pimpinan produksi adalah Toto Rahardjo dan penyelenggara oleh Progress Management. *** 

Prof. Dr. Hj. Yudiaryani, MA, Guru Besar Teater ISI Yogyakarta

“Sengkuni 2019” oleh Teater Perdikan, Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 12 – 13 Januari 2019. (foto: yudiaryani)

Sejumlah adegan dalam “Sengkuni 2019”. (foto: yudiaryani)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *