Connect with us

Feature

Umi Waheeda Mendobrak Dominasi Laki-laki

Published

on

Umi Waheeda Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Kab. Bogor.

 

PONDOK Pesantren adalah dunia laki-laki. Di sana selalu ada kyai yang jadi panutan seluruh santri. Sementara perempuan di pondok pesantren, umumnya berperan hanya mengurus dapur, memasak untuk semua penghuni pondok.

Namun, dominasi laki-laki di pondok pesanten itu berhasil didobrak seorang perempuan cantik, tinggi dan langsing. Ya, Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman dipimpin oleh seorang perempuan. Namanya Umi Waheeda. Usianya baru 51 dan telah memimpin pondok tersebut selama 8 tahun.

Tak tanggung-tanggung. Jumlah santrinya sekarang ada 15.000 orang dan semuanya gratis. Tak ada donasi pula. Inilah satu-satunya dari 17 pondok pesantren terbesar di Pulau Jawa yang dipimpin seorang perempuan.

Lalu bagaimana pondok pesantren yang berlokasi di Desa Waru Jaya, Parung, Bogor ini bisa eksis? Ceritanya cukup panjang dan sangat menegangkan. Betapa tidak, Umi Waheeda yang nota bene hanya seorang ibu rumah tangga dengan 7 anak dan tak pernah mencari uang itu tiba-tiba dihadapkan pada beban yang maha berat. Sang suami, Habib Saggaf, pendiri dan pemilik pondok meninggal dunia pada 2010. Umi mendapat warisan santri berjumlah 23.000 orang yang harus diberi makan tiap hari. “Dulu semasa ada Habib, saya ini cuma tukang masak. Sehari saya masak 7 ton beras. Sekarang karena jumlah santrinya berkurang jadi 15.000, kami merebus singkong 3 ton setiap pagi,” kata Umi.

 

Umi Waheeda berbincang tentang bisnis untuk menghidupkan pesantren yang dikelolanya secara gratis. (foto: sumarno)

Umi Waheeda adalah isteri ketiga Habib Saggaf. Begitu Habib Saggaf meninggal, Umi sangat tertekan. Tiga hari dia mengurung diri di kamar, menangis berkepanjangan. Orang yang sangat dia cintai pergi untuk selamanya. “Umur 20 tahun saya menikah dengan Habib Saggaf, tapi saya tidak pernah mencari uang,” ujarnya.

Umi Waheeda bingung dan sedih. Beban yang harus ditanggungnya berat sekali. Memang ada warisan asset, tetapi sang suami juga mewariskan hutang sebesar Rp1 miliar. Juga tagihan listrik tiga bulan belum dibayar. Yang paling berat adalah dia dikeroyok 6 anak dari isteri pertama dan 6 anak dari isteri kedua. Dari fitnah-fitnah yang dilancarkan mengakibatkan semua donasi dihentikan. Tak ada lagi donatur yang mau menyumbang pondoknya, karena tersiar fitnah bahwa Umi mau menjual semua asset Habib Saggaf.

Umi Waheeda adalah orang Melayu warga negara Singapura. Karena itu bahasa yang digunakannya sehari-hari campur-campur antara bahasa Indonesia, bahasa Melayu dan bahasa Inggris. “Saya masuk Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia 19 tahun yang lalu karena menikah dengan Habib Saggaf. Habib sendiri berasal dari Dompu, NTB. Pondok ini dibangun tahun 1998,” kata Umi saat mulai bercerita.

Sepeninggal habib, Umi Waheeda benar-benar harus mengurus semuanya. Tak hanya santri yang jumlahnya 23.000 orang waktu itu (2010), tetapi juga ia harus mengirim nafkah ke dua madunya. Perempuan cantik ini juga harus merelakan barang-barang mewah miliknya pribadi untuk dijual. Diantaranya, mobil jaguar, jam rolex 2 buah, juga berlian 4 karat untuk menutupi kekurangan biaya. Setelah itu, mulailah Umi menyeleksi santri-santrinya yang hanya benar-benar membutuhkan. Dari 23.000 orang dipangkas menjadi 15.000 orang. Memang banyak protes, tapi tak ada pilihan bagi Umi.

Umi Waheeda bersama Krishna Soejitno Soeprapto saat menerima Jayakartanews.com. [Foto: sumarno]

Beruntung, pada pertengahan 2011 Umi ketemu dengan Krishna Soejitno Soeprapto, seorang pebisnis profesional. Umi meminta Krishna bergabung membantu pondok, karena ada banyak unit usaha yang harus dikelola agar pondok tetap eksis. “Awalnya berat sekali, boleh dibilang horor, hahaha,” kata Krishna yang dipercaya menjadi CEO 33 unit usaha milik Nurul Iman.

Dalam mengelola pondok pesantren, Umi Waheeda dikenal dengan pola manajemen diktator. Kepada Krishna, Umi Waheeda meminta agar pondok tetap gratis, tetapi juga harus berkualitas. Tentu dua standar itu lumayan berat dijalankan. “Saya tersesat di jalan yang benar,” ujar Krishna berseloroh.

Untuk menekan pengeluaran, Umi punya strategi dengan memproduksi sendiri segala kebutuhan santrinya. Karena itu, unit-unit bisnis Nurul Iman mengutamakan produksi pangan, energi dan air minum. Dalam bahasanya Umi Waheeda dinamakan strategi FEW (Food, Energy and Water).

Produk Nurul Iman diantaranya beras campur jagung dengan merk Berni (Beras Nurul Iman). Ada juga air minum dalam kemasan, roti, bawang hitam, sabun, lampu hemat energi, biogas dll. Selain itu ada beberapa usaha jasa seperti salon dan spa. Unit-unit usaha tersebut sekaligus menjadi tempat bagi santri untuk belajar menjadi pengusaha. Umi menginginkan santri-santrinya kelak menjadi pengusaha, guru atau pemimpin.

Swa sembada di tiga bidang itu menarik perhatian Bank Indonesia karena bisa menjadi contoh penguatan ekonomi pondok pesantren. Melalui program CSR, Bank Indonesia membantu Nurul Iman di bidang energi. Dana yang dikucurkan sebesar Rp300 juta sangat bermanfaat bagi Nurul Iman.

Dana itu dipakai untuk membangun industri biogas dari kotoran santri. “Karena jumlah sapi kami sedikit dan kotoran santri itu menjadi masalah tersendiri yang harus dicarikan solusi,” kata Umi Waheeda menjelaskan.

Banyak sekali manfaat yang didapat dalam industri biogas ini. Setidaknya, Umi Waheeda bisa menghemat pengeluaran biaya menyedot WC sebesar Rp 13 juta setiap bulannya. Lalu, lahan 2 hektar yang selama ini dipakai untuk pembuangan kotoran santri bisa dimanfaatkan untuk yang lain. Biogas yang dihasilkan bisa dipakai sendiri untuk memasak, sehingga pengeluaran untuk membeli gas bisa dihemat setidaknya 3 hingga 4 tabung kecil yang biasa disebut tabung gas melon per hari.

Manfaat lain adalah meluasnya silaturahmi antar pondok pesantren. Makin sering Nurul Iman didatangi para pengelola pondok pesantren dari seluruh Indonesia untuk berbagi ilmu, baik manajemen, teknologi maupun pemasaran. “Mereka menemukan row model kemandirian ekonomi syariah di Nurul Iman,” ujar Krishna.***

(Laksmi Wuryaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *