Connect with us

Feature

Torres, Si Pelukis Cilik dengan Prestasi Besar

Published

on

Torres, melukis (kiri) dan membuat sketsa (kanan) dengan kedua tangannya. (foto: ist)

JAYAKARTA NEWS – Kanan kiri oke. Seperti itulah Torres memainkan kuas dan spidol di atas kanvas atau kertas.  Ia membuat sketsa lalu mengeksekusinya dengan olesan warna tak hanya dengan tangan kanan saja, atau yang kiri saja selayaknya anak kidal. Kedua tangannya bekerja bareng, bahu membahu, kompak, gesit, saling mengisi seperti sepasang pemain dobel di ajang bulutangkis All England. Jadilah sebuah lukisan. Genre anak-anak. Penuh warna. Bermotif nyeleneh. Begitu hidup. Makhluk yang  menjadi model lukisannya seperti ingin melompat ke dunia nyata.

Pemilik nama lengkap Torres Equen Javas Wistara itu baru kelas dua Sekolah Dasar (SD). Di usia belianya, ia sudah mengantongi sekitar 600 piala kejuaraan melukis dan mewarnai. Tak hanya di tingkat kecamatan Torres juara, menjadi jawara di tingkat kabupaten, kotamadya, sampai provinsi ia sudah biasa. Dua dari ratusan pialanya itu didapatkan dari kejuaraan melukis Jogja-Kyoto. Lukisannya dipamerkan di Jepang.

Ratusan piala yang berhasil disabet Torres dari berbagai ajang lomba melukis dan mewarnai. (foto: ist)

Perjalanan Torres menjadi jagoan menggambar, diawali  pada usia tiga tahun. Seperti anak kecil pada umumnya, ia tertarik pada hal yang dianggapnya memikat. Pikiran si balita Torres lincah memperhatikan sekaligus merekam kegiatan sang ayah melukis. Begitu fokus. Proses itu mengendap kuat di dalam ingatannya. Hingga suatu hari ia merengek meminta kanvas, kuas dan cat. Gunawan, ayahnya, menolak permintaannya. Belum waktunya, buah hatinya itu menggambar di atas media kanvas.

Tak mendapatkan benda impiannya, Torres mulai berulah. Ia tak puas hanya memperhatikan Gunawan melukis. Ia anak yang tak bisa diam. Jiwa kanak-kanaknya mendorong perilakunya untuk ikut-ikutan melukis. “Dari pada mengganggu pekerjaan, akhirnya saya membelikan Torres krayon,” kenang Gunawan.

Torres menggenggam krayon dan menggoreskannya di atas kertas. Tak punya makna, awal coretannya. Gunawan menyodorkan gambar ikan buatannya. Torres mewarnainya. Pada titik inilah Gunawan sadar bahwa buah hatinya itu memiliki bakat menggambar. Selain melukis, Gunawan juga menjadi guru menggambar di SD dan TK. Ia perhatikan, ikan hasil pewarnaan Torres begitu sempurna untuk anak seusianya. Ternyata Torres tak sekedar memperhatikan dirinya melukis, tetapi apa yang dilihatnya itu mengendap jauh dan terpaku di dasar ingatannya. Imajinasinya itu keluar kembali lewat ikan dan gambar-gambar lain yang diwarnai Torres pada waktu-waktu selanjutnya.

Torres usia 3 tahun bersama sang ayah, Gunawan, dan lukisannya. (foto: ist)

Demi mekarnya bakat si yunior kesayangannya itu, Gunawan mengajak Torres mengunjungi pameran seni rupa. Ajang eksposisi seperti itu tak pernah berhenti di kota Yogya. Karena itu berkujung ke eksibisi lukisan adalah sebuah rutinitas bagi Torres. Di tempat itu Torres tak hanya sekedar melihat. Bersama sang ayah, mereka membedah setiap karya yang dipajang. “Lebih mudah membekali ilmu dan menginspirasi Torres lewat karya orang lain,” tutur Gunawan. Walau masih berusia tiga tahun, tampaknya tak sulit bagi Torres untuk menerima semua ihwal tentang ilmu melukis. Otaknya ringan-ringan saja menjaring dan merekam setiap yang dilihat dan didengar di acara nonton pameran itu. Tentu saja sang ayah berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak.

Tak lama kemudian Torres mengikuti lomba mewarnai. Ini pengalaman pertamanya berkompetisi. Di usianya yang masih balita, tiga tahun, ia merebut juara 2. Bukan main senangnya Torres. Semalaman, piala kebanggaannya ia bawa tidur. Pertama lomba dan juara membuat semangat Torres bak kembang api yang melesat ke atas dan mekar di angkasa. Ia rajin mengikuti kejuaraan melukis. Namun, dewi fortuna belum memihaknya. Ia tak serta merta meraih prestasi puncak.

Juara pertama lomba mewarnai Di Masjid Kauman Yogyakarta. (foto: istI

Kegigihannya berlatih tak lantas surut. Tak ada hari yang lowong tanpa melukis. Hari-hari biasa ia membuat sketsa. Sabtu dan Minggu melukis. Inilah fase latihan dimana gerakan motorik tangannya, baik kanan maupun kiri menjadi luwes, selentur tubuh-tubuh penari balet di panggung opera kelas dunia.

Kemudian, ia mengikuti aneka ajang lomba menggambar dan mewarnai. Menang dan menang. Bahkan, rata-rata ia nangkring di posisi pertama. Sejumlah ratusan piala, setumpuk piagam dan tentu saja segepok uang pembinaan yang bernilai jutaan telah ia kumpulkan.

Selain ditabung, uang pembinaan itu ia belanjakan untuk membeli alat gambar. Ketika akan naik ke kelas dua SD, cita-cita Torres menggambar dengan media kanvas dan cat akrilik terkabul. Ia membelinya dengan uang hasil jerih payah sendiri. Gunawan kaget. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya melukis di atas kanvas, Torres langsung bisa. Waktu itu Torres menggambar orang yang cukup rumit untuk ukuran anak-anak. Ia paling suka menggambar tokoh wayang atau penari dan pemain musik jatilan (kuda kepang).

Di kampung tempat tinggalnya, sering ada pertunjukkan wayang dan kesenian rakyat jatilan. “Aku tertarik sama jatilan, lucu banget mereka,” cerita Torres. Rupanya murid kelas 2 SD N Petinggen Yogyakarta ini tidak sekadar menonton jatilan layaknya anak kebanyakan. Begitu kerapnya menonton, ia sampai hafal lanskap pertunjukkan kesenian rakyat itu. Seperti saat menonton pameran lukisan, Torres menjaring, merekam dan mengendapkan sosok penari, pemusik dan seperangkat gamelan di arena pertunjukkan, ke dalam otaknya.

Di atas kanvas, Torres menumpahkan imajinasinya itu. Jatilan dan juga wayang menjadi obyek lukisan favorit Torres. Ia menyukai tokoh Punokawan, Semar-Gareng-Petruk-Bagong. Jatilan lengkap dengan lanskapnya dan tokoh wayang  itu menjadi obyek lukisannya  yang tak pernah kering. Beberapa orang telah mengkoleksi lukisannya. Tak hanya warga Yogya, satu kolektornya berasal dari Swiss. “Sebenarnya tak ada niat menjual, tetapi mereka yang berniat membeli,” tutur Gunawan. Harga lukisan Torres mulai dari Rp 1 juta.

Ekspresif dan hidup. Warna dan bentuknya nyeleneh. Tak jarang wajah manusia ciptaan Torres berwarna hijau. Mata manusia ia buat dalam ukuran besar sampai keluar dari garis paras pemiliknya. Dan Torres melukis tanpa beban. Easy Going. Demikian pengamatan sang ayah terhadap  buah hatinya itu.

Banyak orang tua pusing menghadapi anak-anak mereka yang keranjingan game di gadget. Tidak demikian dengan Gunawan. Torres keranjingan game hanya sampai kelas satu SD. Selebihnya ia memperlakukan gadget untuk kegiatan positif. Torres berselancar dengan hape pintarnya untuk melihat lukisan karya para idolanya. Mereka adalah pelukis Nasirun, Eddie Hara, ‘Klowor’ Waldiono, Joko Pekik, Totok Buchori, Watie Respati, Erica Hestu Wahyuni.

“Saya ingin jadi pelukis top,” kata Torres. Di sekolahnya nilai Torres berada di ukuran rata-rata. Tetapi, ia tak henti mengharumkan nama sekolah lewat prestasi melukis.

Torres dan karya lukisnya. (foto: ist)

Torres beruntung. Ia tahu cita-citanya sejak belia. Lingkungan sekitar mendukungnya. Ia mendapatkan ruang ekspresi yang pas. Di ranah itu ia belajar dan berkarya denan bebas, sebebas-bebasnya. Tanpa beban. Dengan demikian Tores bisa fokus menggapai cita-citanya.

Begitulah Gunawan menemani Torres berproses. Adik Torres, Javier juga mengikuti jejak sang kakak. Sadar atau tidak, Gunawan telah memberikan pendidikan yang berfokus pada anak. Ia mengembangkan bakat dan minat putra-putranya. Di masyarakat kita, banyak anak fokus belajar demi meraih ranking teratas di sekolahnya. Tetapi tak jarang, selepas lulus SMA mereka bingung ingin kuliah di jurusan apa. (Ernaningtyas)

Torres dan pialanya. (foto: ist)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *